Enam Bulan Hilang, Sekeluarga Asal Sudan Ditemukan Tewas di Tengah Gurun Libya
Titik penemuan ini letaknya 400 kilometer barat daya kota Kufra, Libya. Mayat tiga wanita dan lima pria ditemukan tewas di tempat kejadian.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, KUFRA – Sekurangnya 8 orang anggota keluarga asal Sudan, ditemukan tewas berpencaran di sekitar mobilnya di tengah gurun Libya yang kering kerontang.
Terakhir keluarga dari Negara yang dilanda perang ini diketahui keberadaannya enam bulan lalu. Media lokal Libya melaporkan seperti dikutip Libya Review dan Alaraby.co.uk, Sabtu (13/2/2021).
Media lokal di Kufra, kota terdekat dari lokasi penemuan melaporkan sekitar 21 orang, termasuk anak-anak, dalam perjalanan menggunakan mobil Toyota Sequoia putih.
Titik penemuan ini letaknya 400 kilometer barat daya kota Kufra, Libya. Mayat tiga wanita dan lima pria ditemukan tewas di tempat kejadian. Nasib 13 orang lainnya masih belum diketahui.
Investigasi yang diluncurkan polisi Libya menemukan keluarga itu berangkat dari kota El Fasher di Sudan menuju ke kota Kufra di Libya pada Agustus 2019.
Baca juga: Libya Hadapi Potensi Bencana Lebih Dahsyat Ketimbang Ledakan di Beirut
Baca juga: Pengungsi Perang Tigray Bertahan Hidup dalam Pengasingan di Sudan
Baca juga: 5 Negara Paling Tidak Ramah Turis di Dunia, Bajak Laut Jadi Masalah di Somalia
Awal pekan ini, atau enam bulan kemudian, mobil berikut sejumlah penumpangnya ditemukan di tengah gurun Libya.
Sebuah "surat wasiat" bertulis tangan ditemukan di lokasi kejadian oleh tim penolong lokal. Foto-foto yang beredar memperlihatkan situasi menyedihkan.
Jasad manusia setengah terkubur pasir ditemukan di dekat pintu mobil yang terbuka. Beberapa lainnya terkubur bukit pasir di sekitarnya.
"Kepada siapa pun yang menemukan kertas ini, ini adalah nomor saudara laki-laki saya. Saya mempercayakan Anda kepada Tuhan, dan maafkan saya tidak bisa membawa ibu saya kepada Anda," pesan itu tertulis di secarik kertas di lokasi kejadian.
Pihak berwenang Kufra meluncurkan penyelidikan untuk menentukan bagaimana insiden tragis itu terjadi. Tidak disebutkan nama-nama para korban yang ditemukan.
Kisah Muram Pengungsi Afrika di Libya
John Thorne, Peneliti Libya dan Mauritania untuk Human Rights Watch membuat laporan panjang tentang bagaimana kisah-kisah muram para pengungsi di negara yang dicabik peperangan ini.
Tidak hanya warga Libya, banyak pelarian dari Sudan, Mauritania dan negara-negara di Afrika utara menggunakan Libya sebagai titik transit sebelum menyeberang ke Eropa.
Tak hanya diintai kematian akibat perang, para imigran Afrika itu terancam sindikat perdagangan manusia saat berusaha mencari kehidupan lebih baik di mancanegara.
Dikutpi dari laman Human Right Watch (HRW), setiap tahun ribuan migran dan pengungsi mencoba mencapai Eropa dengan perahu melalui Libya.
Thorne mencatat, para pelarian itu kabur dari perang atau penganiayaan, beberapa melarikan diri dari kemiskinan.
Rute Libya ini menghadirkan begitu banyak bahaya dan rintangan. Ada Gurun Sahara yang ganas. Ada penyelundup dan sindikat perdagangan manusia.
Mereka bisa memenjarakan, menyiksa, memperkosa, atau memperbudak korbannya, atau menjadikan mereka kombinasi dari pelanggaran.
Sementara, Eropa memiliki kebijakan tentang migrasi dan suaka. Pemerintah Eropa hanya menerima sejumlah kecil pengungsi dari Libya berdasar pengaturan PBB.
Di saat sama, Uni Eropa membantu melatih, melengkapi, dan mengatur Penjaga Pantai Libya, dan mendukung pembentukan area pencarian dan penyelamatan resmi penjaga pantai.
Penjaga pantai ini berafiliasi ke pemerintah di Tripoli yang diakui PBB dan disokong Turki. Sementara di bagian lain ada kekuatan bersenjata Marsekal Khalifa Haftar.
Perjalanan Dramatis Abdi, Imigran Asal Somalia
Peneliti HRW menggunakan sumber seorang pria Somalia yang diberi nama "Abdi". Ini nama samaran untuk melindungi keselamatannya di pusat penahanan Tajoura, dekat Tripoli.
Pengakuan Abdi konsisten dengan keterangan warga lain tentang nasib yang mereka alami. Ribuan orang seperti Abdi, yang melewati Libya atau tinggal di sana memiliki cerita serupa.
Masalahnya sendiri dimulai dengan masalah di desa asalnya, di Somalia, yang akhirnya ia telusuri hingga ke sebuah warung di desanya.
Abdi dan keluarganya terpaksa kabur karena menerima ancaman pembunuhan dari kelompok Al Shabab, ekstrimis ultra radikal di negaranya.
Abdi pergi ke Ethiopia. Istrinya harus menyusul. Tetapi seorang pria al-Shabab mengancam istrinya itu harus menikah dengan seorang syekh.
Abdi putus asa, sempat berangan-angan bunuh diri sebelum ia akhirnya memutuskan mencoba mencapai benua Eropa.
Pada awal 2017, Abdi lewat penyelundup manusia meninggalkan Ethiopia dan Sudan menuju Sahara. Naik truk, rombongan laki dan perempuan campur bawur itu memasuki Libya.
Perjalanan mereka dikawal orang-orang bersenjata lokal yang disewa penyelundup guna mengamankan rute perjalanan rombongan itu.
Perjalanan tidak mudah. Kekurangan air minum, melewati gurun pasir luas seolah tak bertepi, hingga truk itu mencapai kota Umm El-Araneb, di barat daya Libya.
Pada malam terakhir transit, orang-orang bersenjata itu berkemah di samping truk, dan memasak pasta serta daging untuk rombongan.
Beberapa dari mereka mencoba menggoda para wanita. Kemudian, pada malam hari, tiga pria bersenjata memaksa tiga wanita muda ke gurun.
Berulang kali teriakan didengar rombongan, dan melihat para wanita itu mencoba melarikan diri. Orang-orang bersenjata itu memperingatkan semua orang untuk tidak membuat keributan.
Sseorang wanita yang diseret ke padang pasir kemudian mengatakan dia telah diperkosa. Keesokan paginya, pengawal baru tiba membawa mereka menuju kota Sebha.
Abdi dan warga asal Somalia lain dipindahkan ke kota Brak El-Shati. Pada titik ini, perjalanan mereka terhenti.
Bisnis penyelundup adalah mengangkut orang, dan seperti siapa pun dalam bisnis, dia mengharapkan bayaran.
Mereka mengurung Abdi dan orang Somalia lainnya di dua bangunan mirip gudang di sebuah kompleks pertanian.
Mereka dipaksa bekerja di ladang pertanian, tanpa dibayar sepeserpun. Banyak imigran, seperti dari Eritrea putus asa, lalu bunuh diri.
Impian menyeberang ke Eropa tak kunjung terwujud hingga berbulan-bulan. Abdi dan lain-lain diserahkan ke kelompok penyelundup lain, dan diperas tenaganya.
Terjebak di Tengah Perang Saudara Libya
Pada awal 2018, para penyelundup membawa Abdi dan pelancong lainnya ke pantai, mengambil sepatu mereka, mengemasnya ke dalam perahu karet, dan mengirim mereka berkendara hingga larut malam.
Abdi memperhitungkan mereka berjumlah setidaknya 100 atau lebih. Keesokan paginya, perahu karetnya kemps.
Mereka berdebat tentang apakah akan terus melanjutkan atau menunggu kapal yang mereka lihat di kejauhan.
Jika beruntung, kapal itu adalah orang Eropa - bahkan mungkin salah satu kapal penyelamat yang mencari di perairan antara Libya dan Eropa.
Tetapi jika kapal itu adalah orang Libya, mereka khawatir, mereka mungkin akan lenyap ke dunia penyelundupan dan perdagangan manusia lagi.
Ternyata, kapal itu milik Penjaga Pantai Libya. Rombongan imigran itu diselamatkan dan dikirim ke pusat detensi Tajoura, sebelah timur Tripoli.
Abdi menemukan secercah harapan setelah mendengar pusat penahanan itu dalam pantauan lembaga PBB. Situasi di pusat penahanan lebih baik ketimbang di tangan penyelundup.
Setiap hari pintu terbuka tiga kali untuk makan, selalu sama dan tidak pernah cukup. Roti untuk sarapan, pasta yang diolesi saus tomat encer untuk makan siang dan makan malam, dan air untuk diminum. Untuk mendapatkan makanan lebih banyak atau lebih baik, mereka harus melarikan diri dari bangsal. Hanya sedikit dari mereka yang berhasil.
Ada tahanan yang dipilih penjaga untuk bekerja di kompleks, biasanya orang Sudan yang berbicara bahasa Arab.
Ada yang terpilih untuk pekerjaan yang diidamkan di kantor dan dapur. Mereka yang dipilih atau dipaksa bekerja di luar Tajoura, yang mungkin dibayar dengan makanan atau rokok.
Pada malam hari, Abdi akan mencari tempat di lantai dan membaringkan kasurnya. Udara sangat panas hingga terkadang para pria tidak bisa tidur.
Pada akhir musim panas 2018, berbagai milisi bertempur satu sama lain di Tripoli, dan terjadi peningkatan tajam aktivitas di garasi kendaraabn.
Kadang-kadang milisi membangunkan Abdi dan tahanan lainnya di sana pada larut malam, dan bahkan bekerja bersama mereka, menggosok dan mencuci dan memindahkan senjata dan amunisi.
Senjata-senjata itu sebagian besar adalah senapan mesin berat 14,5 milimeter yang dipasang oleh para milisi di pikap mereka.
Setelah beberapa minggu, pertempuran berakhir. Suatu hari Oktober 2018, pejabat badan pengungsi PBB mengunjungi Tajoura dan mendaftarkan ratusan tahanan.
Kali ini Abdi ada di antara mereka, beberapa bulan setelah kedatangannya. Kemudian, pada April 2019, Jenderal Haftar memulai perang melawan pemerintah Tripoli.
Abdi membantu membersihkan senjata dan tank, seperti sebelumnya. Kali ini, milisi juga membawanya untuk bekerja di garis depan.
Mereka mengirimkan air dan makanan seperti roti, selai, dan madu, dan dia melihat tahanan lain membersihkan ceceran darah dari kendaraan yang habis dipakai bertempur.
Roket berjatuhan di medan tempur Tripoli. Suatu hari, Abdi melarikan diri dari Tajoura karena ketakutan pusat detensi itu akan jadi korban pertempuran.
Enam minggu setelah Abdi melarikan diri dari Tajoura, serangan udara meratakan sebagian besar bangsal tahanan imigran.
Sedikitnya 53 tahanan berbagai Negara yang bertahan di lokasi itu tewas, dan sejumlah lainnya dilaporkan terluka.
Abdi kini sudah keluar dari Libya, di tempat baru yang menjanjikan masa depan lebih baik. Tapi istri dan anak-anaknya dalam penguasaan orang lain.(Tribunnews.com/Alaraby.co.uk/HRW/xna)