Erick Prince, Bos Tentara Bayaran Sekutu Donald Trump Jual Senjata ke Libya
Aksi korporasi Erick Prince, tokoh yang jadi sekutu kuat Presiden Donald Trump, dianggap melanggar embargo senjata PBB.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Erik Prince, sosok pendiri perusahaan tentara bayaran Blackwater, terlibat penjualan senjata ke kelompok bersenjata di Libya.
Aksi korporasi Erick Prince, tokoh yang jadi sekutu kuat Presiden Donald Trump, dianggap melanggar embargo senjata PBB.
Dokumen hasil investigasi penyelidik PBB dipublikasikan The New York Times, Washington Post, Sabtu (20/2/2021), dan sebagian data lainnnya diperoleh Al Jazeera.
Laporan rahasia kepada Dewan Keamanan PBB, menyebutkan, Erick Prince mengerahkan tentara bayaran asing dan senjata untuk mendukung pemimpin militer Khalifa Haftar.
Haftar telah berjuang menggulingkan pemerintah Libya yang diakui PBB sejak 2019. Ia menerima sokongan Mesir, sebagian Rusia, dan beberapa negara Arab sekutu AS.
Baca juga: Mendagri Libya Fathi Bashaga yang Diakui PBB Lolos dari Upaya Pembunuhan
Baca juga: Mesir akan Buka Kembali Kedutaan Besar di Libya yang Ditutup Sejak 2014
Baca juga: Libya Hadapi Potensi Bencana Lebih Dahsyat Ketimbang Ledakan di Beirut
Operasi senilai $ 80 juta itu termasuk rencana membentuk regu pembunuh untuk melacak dan membunuh komandan Libya yang menentang Haftar.
Termasuk beberapa target yang sudah terdaftar sebagai warga Uni Eropa. Erick Prince merupakan tentara eks pasukan khusus Navy SEAL.
Ia masih saudara Menteri Pendidikan era Trump, Betsy Devos. Prince mendirikan Blackwaters, yang kontraktornya dituduh membunuhi warga sipil Irak yang tidak bersenjata di Baghdad pada 2007.
Empat orang yang dinyatakan bersalah saat tragedi itu menerima pengampunan Trump, tahun lalu sebelum Trump lengser dikalahkan Joe Biden.
Tuduhan tersebut membuat Prince terkena sanksi PBB, termasuk larangan bepergian. Blackwaters yang mendapat kontrak pengawalan di Irak dan Afghanistan, akhirnya berganti nama sesudah tragedi Baghdad.
Menurut laporan ke DK PBB, Erick Prince menolak bekerja sama terkait penyelidikan PBB. Pengacaranya juga menolak mengomentari pemberitaan The New York Times.
Kristen Saloomey dari Al Jazeera, melaporkan dari Washington, DC, temuan laporan tersebut memuat lebih dalam tak hanya aksi pelanggaran hukum Erick Prince.
"Laporan PBB menimbulkan pertanyaan tidak hanya apakah rekan dekat (mantan) Presiden melanggar embargo senjata internasional atau tidak, tetapi juga apakah Presiden sendiri terlibat menentang kebijakan AS," katanya.
Anas el-Gomati, direktur lembaga pemikir Libya Sadeq Institute, mengatakan kepada Al Jazeera, menggunakan kontraktor militer swasta memungkinkan para pemimpin menyangkal keterlibatan mereka dalam konflik.
Mereka tidak secara jelas dinyatakan terlibat karena alasan diplomatik atau hukum.
“(Dalam situasi ini) orang-orang seperti Erik Prince nilainya naik. Kita juga dapat lihat Rusia dan (firma militer swasta) Wagner Group,” lanjut laporan itu.
Kontraktor swasta itu mampu menawarkan layanan menarik, menakutkan, yang bisa menimbulkan bencana. Pemerintah bisa menyangkal keterlibatan mereka di manapun.
"Anda bisa langsung menolak Anda mengetahui apa yang sedang terjadi," katanya. El-Gomati mengatakan laporan itu menimbulkan dua pertanyaan penting.
“Sampai sejauh mana Trump membantu memfasilitasi perang ini bersama Erik Prince? Lebih penting, apakah Erik Prince berkoordinasi dengan tentara bayaran Grup Wagner Rusia di Libya,” tanyanya.
“Apakah mereka juga membantu Uni Emirat Arab membangun pijakan di Libya,” lanjut El-Gomati.
Libya yang kaya minyak telah terkoyak perang saudara sejak pemberontakan yang didukung NATO menyebabkan penggulingan dan pembunuhan Muammar Gaddafi pada 2011.
Negara ini dalam beberapa tahun terakhir terpecah antara Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) di Tripoli, didukung oleh Turki, dan pemerintahan berbasis timur, yang pasukannya dipimpin Haftar dan didukung oleh Rusia, UEA, dan Mesir.
Presiden Trump saat itu pada 2019 memuji Khalifa Haftar, yang telah menghadapi tuduhan kejahatan perang atas perannya dalam "memerangi terorisme" di Libya.
Seorang pejabat baru yang ditugaskan memimpin negara tersebut dipilih pada 5 Februari 2021 oleh Forum Dialog Politik Libya di Swiss.
Forum ini diikuti 75 peserta yang dipilih oleh PBB untuk mewakili berbagai lapisan masyarakat di negara Afrika Utara itu . Haftar menjanjikan dukungannya untuk inisiatif tersebut.(Tribunnews.com/xna)