Laporan Intelijen AS Sebut Rusia Coba Mempengaruhi Hasil Pemilu AS 2020 yang Dimenangkan Biden
Pejabat Intelijen AS sebut Rusia mencoba mempengaruhi hasil Pemilu AS 2020 dengan tuduhan menyesatkan dan tak berdasar terhadap Joe Biden.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Pejabat Intelijen Amerika Serikat (AS) menyebut pemerintah Rusia mencoba mempengaruhi hasil Pemilu AS 2020 dengan tuduhan menyesatkan atau tidak berdasar terhadap kemenangan Joe Biden.
Laporan setebal 15 halaman itu berisi tentang campur tangan Rusia atas Pemilu AS 2020 yang diterbitkan oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional pada Selasa (16/3/2021).
Munculnya laporan ini menggarisbawahi tuduhan bahwa sekutu Trump bermain-main dengan Moskow, serta memperkuat klaim yang dibuat terhadap Biden oleh tokoh-tokoh Ukraina yang terkait dengan Rusia menjelang Pemilu AS 3 November 2020 kemarin.
Mengutip Al Jazeera, pada Pemilu AS 2020, Biden mengalahkan Trump dan menjabat pada 20 Januari 2021.
Baca juga: Rusia-AS Memanas, Presiden Joe Biden Sebut Vladimir Putin sebagai Pembunuh
Baca juga: Besok PM Jepang Divaksinasi Pertama Kali Sebelum Bertemu Biden 9 April 2021
Badan Intelijen AS menemukan upaya lain untuk mempengaruhi Pemilu, termasuk "kampanye pengaruh rahasia multi-cabang" oleh Iran yang dimaksudkan untuk melemahkan dukungan Trump.
Pernyataan Kontra-Narasi
Laporan itu juga menulis pernyataan kontra-narasi yang didorong oleh sekutu Trump bahwa China ikut campur atas nama Biden, yang menyimpulkan bahwa Beijing "tidak mengerahkan upaya gangguan".
"China mencari stabilitas dalam hubungannya dengan Amerika Serikat dan tidak melihat hasil pemilihan cukup menguntungkan bagi China untuk mengambil risiko pukulan balik jika tertangkap," kata laporan itu.
Mike Hanna dari Al Jazeera, melaporkan dari Washington DC bahwa laporan itu juga mengatakan secara khusus bahwa tidak ada "gangguan teknis" dengan pendaftaran pemilih, proses pemungutan suara atau penghitungan suara dalam kontes November.
"Juga ditemukan secara khusus bahwa tidak seperti 2016, tidak ada upaya Rusia untuk meretas infrastruktur Pemilu. Ini adalah perbedaan yang sangat penting," kata Hanna.
Baca juga: Kaleidoskop Internasional Juli 2020: Longsor di Pertambangan Myanmar, Hagia Sophia Dijadikan Masjid
Baca juga: Kaleidoskop Internasional Juni 2020: SpaceX Luncurkan 60 Satelit, Covid-19 hingga Gempa Meksiko
Para pejabat AS mengatakan mereka juga melihat upaya Kuba, Venezuela, dan kelompok Hizbullah Lebanon untuk mempengaruhi Pemilu AS 2020.
"Meski pun secara umum, kami menilai bahwa skala mereka lebih kecil daripada yang dilakukan oleh Rusia dan Iran," tuturnya.
"Kami menilai bahwa Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah mendukung upaya untuk melemahkan mantan Presiden Trump dalam pemilu AS 2020," kata laporan itu.
"Nasrallah mungkin melihat ini sebagai cara berbiaya rendah untuk mengurangi risiko konflik regional sementara Lebanon menghadapi krisis politik, keuangan, dan kesehatan masyarakat," kata dokumen itu.
Baca juga: Trump Desak Warga Amerika Dapatkan Vaksinasi Covid-19: Saya akan Merekomendasikannya
Hubungan Permusuhan dengan Trump
Laporan itu juga menyebutkan pemerintahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro, yang memiliki "hubungan permusuhan dengan pemerintahan Trump", memiliki "niat, meskipun mungkin bukan kemampuan" untuk mempengaruhi opini publik.
Laporan itu menambahkan bahwa "tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa rezim Venezuela saat ini atau sebelumnya terlibat dalam upaya untuk mengkompromikan infrastruktur pemilu AS".
Badan Intelijen AS dan mantan Penasihat Khusus Robert Mueller sebelumnya menyimpulkan Rusia juga ikut campur dalam pemilihan AS 2016 untuk meningkatkan pencalonan Trump dengan kampanye propaganda yang bertujuan merugikan lawan Demokratnya Hillary Clinton.
Baca juga: Ekonomi Indonesia Sulit Membaik Jika Trump Memenangkan Pilpres Amerika Serikat?
Baca juga: Kemenangan Joe Biden atau Donald Trump Ditentukan oleh Electoral College, Apa Itu?
Pemilu AS 2020: Trump Merasa Dicurangi Demokrat
Sebelumnya dilaporkan, Donald Trump menemui para pendukungnya melalui Ruang Timur Gedung Putih pada Rabu (4/11/2020) pukul 02.21 waktu setempat.
Ia berbicara kepada lebih dari 100 pendukung yang telah berkumpul di sana.
"Ini adalah konferensi pers terbaru yang saya lakukan," katanya.
Baca juga: Nasib Trump dan Biden Ditentukan Negara Bagian Utama, Tapi Pemilihan Belum Tentu Selesai Cepat
Pada pertemuan itu, Donald Trump menyatakan keyakinannya untuk kembali menjadi presiden pada Pilpres Amerika Serikat 2020.
Namun, dia menunjukkan rasa frustrasinya atas berjalanannya perhitungan suara Pilpres.
Pasalnya, pertarungan melawan capres Demokrat, Joe Biden, lebih ketat dari perkiraan jajak pendapat yang beredar.
"Kami memenangkan segalanya, dan tiba-tiba itu tidak jadi," ucap Trump.
Baca juga: Unggul Sementara Atas Trump, Biden Peroleh 238 Suara Elektoral dan 67.674.347 Popular Vote
Meskipun begitu, ketatnya perolehan suara tidak membuat dirinya pesimis.
Trump tetap yakin bahwa dirinyalah yang telah memenangkan pemilihan hingga dia meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari 2021.
Trump juga mengatakan tuduhan serupa melalui akun Twitter-nya, Rabu (4/11/2020) lalu.
Twit tersebut kemudian dilabeli oleh Twitter sebagai informasi yang 'menyesatkan' dan 'diperdebatkan'.
"Kami naik BESAR, tetapi mereka mencoba MENCURI Pemilu.
Kamu tidak akan pernah membiarkan mereka melakukannya.
Suara tidak dapat diberikan setelah Polling ditutup!" tulis akun Twitter @realDonaldTrump.
Diketahui, selama berbulan-bulan belakangan, Donald Trump telah menuduh Demokrat melakukan kecurangan dalam Pilpres, jika Pemilu tidak berjalan sesuai keinginannya.
Ditanya pada bulan September apakah dia yakin hasil pemilu akan sah jika dia menang, Trump menjawab "Kami ingin memastikan pemilu itu jujur, dan saya tidak yakin itu bisa," jawabnya.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Citra)
Berita lain terkait Pemilu AS 2020