Profil Jenderal Min Aung Hlaing, Pemimpin Junta Myanmar yang Hadir di KTT ASEAN
Jenderal Min Aung Hlaing, Pemimpin Junta Myanmar yang dijadwalkan hadir di KTT ASEAN di Jakarta pada hari ini.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Negara-negara di kawasan Asia Tenggara dijadwalkan bertemu untuk membahas krisis di Myanmar pada pertemuan puncak di Jakarta pada Sabtu (24/4/2021) sekitar pukul 14.00 WIB.
Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang berjumlah 10 orang telah berusaha membimbing Myanmar, untuk mencari solusi dari kekacauan berdarah yang dipicu oleh penggulingan militer pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.
Sempat dikritik oleh beberapa pihak, Min Aung Hlaing tetap datang untuk menghadiri ASEAN Leaders' Meeting.
Min Aung Hlaing tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta sekitar jam 11.00 WIB, disambut oleh Duta Besar Myanmar untuk Republik Indonesia Ei Ei Khin Aye dan Kepala Protokol Negara (KPN) Andy Rachmianto.
Baca juga: AS dan Australia Kecam Aksi Kudeta Militer di Myanmar
Baca juga: Fakta-fakta KTT ASEAN, Pemimpin Junta Militer Myanmar Akan Hadir hingga Persiapan Polda Metro Jaya
Lantas, siapa sebenarnya sosok Min Aung Hlaing?
Dilansir TIME, 3 November 2017, berikut profil dari Jenderal Min Aung Hlaing:
Nama Jenderal Min bukan sosok yang baru didengar dunia, mengingat dia adalah otak dari penindakan terhadap etnis Rohingya.
Pada 26 Oktober 2017, Menteri Luar Negeri AS saat itu, Rex Tillerson, menelepon langsung Min dan mendesaknya agar menghentikan kekerasan.
Jenderal berusia 64 tahun itu sempat mengeluhkan dunia sudah menghakiminya secara tidak adil atas "solusi akhir" atas Rohingya.
Baca juga: KTT ASEAN Bahas Kondisi Myanmar Digelar Siang Ini
Baca juga: Besok, PM Singapura Bertolak ke Jakarta untuk Hadiri KTT ASEAN Bahas Krisis Myanmar
Kadet yang Biasa-biasa Saja
Menurut keterangan dari mantan teman sekelasnya seperti dikutip Reuters, Min hanyalah sosok kadet yang biasa saja.
Dia disebut baru bisa menembus Akademi Badan Pertahanan yang dikenal elite di percobaan ketiga dan memulai karier kemiliterannya.
Sebagian besar pengabdiannya dihabiskan memerangi pemberontak di perbatasan timur, di mana dia dikenal karena melecehkan etnis minoritas.
Pada 2009, dia memimpin operasi di perbatasan Myanmar-China untuk memberangus pemimpin setempat, Peng Jiasheng.
Peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Kokang ini memang berlangsung selama satu pekan.
Namun dampak yang ditimbulkan luar biasa.
Di antaranya adalah melanggar gencatan senjata selama 20 tahun, membuat 30.000 orang terpaksa mengungsi ke China.
Dan yang paling penting, mengusir kelompok separatis dari perbatasan yang selama ini memang diposisikan untuk jadi jalur perdagangan utama.
Baca juga: Perjalanan Politik Aung San Suu Kyi, Tokoh yang Ditahan Militer Myanmar
Min Aung Hlaing Jadi Panglima Militer, Dianggap Sosok Negarawan
Pada 30 Maret 2011, Min Aung Hlaing menjadi panglima angkatan bersenjata Myanmar, dikenal sebagai Tatmadaw.
Dia memimpin transisi kekuasaan dari tangan militer yang hampir 50 tahun berkuasa ke tangan sipil. Namun, pengamat menyebut itu semu.
Sebabnya, hubungan itu dianggap sekadar top-down. Militer tidak ingin gerakan rakyat makin meluas sembari mereka memertahankan kekuasaan.
Selain itu, dia juga membuyarkan harapan negara Barat yang menganggap sang panglima sebagai sosok negarawan dan caranya berbicara sangat jelas.
Pada 2015, kepada BBC dia mengungkapkan tidak bisa mengatakan dengan pasti kapan pemerintahan Myanmar akan diserahkan ke sipil seluruhnya.
"Mungkin saja lima tahun. Mungkin juga bisa berlangsung selama 10 tahun. Saya tak bisa mengatakannya dengan jelas," paparnya.
Min, meski hanya memimpin tiga kementerian, pertahanan, urusan perbatasan, dan urusan dalam negeri, pengaruhnya sangat besar.
Sementara pemerintahan sipil bisa menelurkan legislasi, Min dan kroninya memegang kekuasaan dari polisi, pasukan perbatasan, hingga Departemen Administrasi Umum.
Min Aung Hlaing juga mendapat wewenang memilih seperempat anggota parlemen, yang bisa memveto jika ada kebijakan yang tak menguntungkan.
Kemudian mereka sewaktu-waktu bisa melakukan kudeta, dengan klausul "militer berhak mengambil alih dan memimpin negara jika demokrasi dianggap mati".
Berita lain terkait Krisis Myanmar dan KTT ASEAN
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Andri Malau)