Pekerja Migran di Malaysia Memenangkan Gugatan Buruh Rp17,2 M Melawan Goodyear
Pekerja asing di Malaysia memenangkan gugatan melawan Goodyear. Mereka mengklaim 5 juta ringgit atau Rp17,2 miliar atas gaji yang tidak dibayar
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Gigih
TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan Malaysia pada hari Kamis (10/6/2021) memutuskan mendukung 65 pekerja migran yang menggugat perusahaan ban AS Goodyear atas pemberian upah yang lebih rendah daripada seharusnya, Independent melaporkan.
Pengacara Chandrasegaran Rajandran mengatakan Pengadilan Industri setuju bahwa pekerja dari Nepal, India dan Myanmar berhak atas tunjangan berdasarkan perjanjian kerja bersama yang mencakup tunjangan shift, bonus tahunan, dan kenaikan gaji.
Tidak diberikannya upah tersebut, Goodyear beralasan bahwa orang asing tersebut tidak diwakili oleh serikat pekerja.
Secara total, para pekerja mengklaim lebih dari 5 juta ringgit (Rp17,2 miliar) dalam upah yang belum dibayar.
"Ini adalah kemenangan bagi pekerja migran. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap mereka," kata Chandrasegaran.
Baca juga: Alasan Donald Trump Serukan Boikot Pakai Ban Goodyear di Kampanye Presiden
Baca juga: Donald Trump Ajak Rakyatnya Jangan Beli Ban Goodyear
Chandrasegaran menilai kasus terhadap Goodyear hanyalah puncak gunung es dan berharap kemenangan tersebut akan mendorong perusahaan lain untuk memperlakukan pekerja asing mereka secara adil.
Ia mengatakan para penggugat itu adalah kelompok pekerja asing ketiga yang memenangkan kasus melawan Goodyear di Pengadilan Industrial.
Goodyear Malaysia Berhad telah mengajukan banding atas putusan dalam kasus sebelumnya yang melibatkan 119 pekerja migran, dengan keputusan yang jatuh tempo pada 26 Juli, katanya.
Respons Salah Satu Penggugat
Anil Kumar, salah satu penggugat, mengatakan kepada The Associated Press bahwa dia bersyukur atas keputusan pengadilan itu.
Warga negara Myanmar itu berusia 27 tahun.
Ia telah bekerja di pabrik Goodyear di negara bagian Selangor tengah selama lebih dari dua tahun.
Kumar mengatakan staf asing mendapat kesulitan selama bekerja di sana.
Tenaga kerja asing hanya mendapatkan gaji pokok dengan lembur.
Sedangkan tenaga kerja lokal memiliki banyak renumerasi lainnya seperti voucher makan dan tunjangan tambahan, katanya.
"Kami bahagia. Sebelumnya kami merasa hukum Malaysia memihak sebelah, tetapi sekarang kami merasa adil," tambahnya.
Perusahaan Sarung Tangan Karet Malaysia Top Glove Juga Dituding Melakukan Kerja Paksa
Pembuat sarung tangan karet Malaysia, Top Glove, juga mendapat sorotan atas tuduhan "kerja paksa."
Bahkan tahun lalu, Amerika Serikat telah melarang impor produk dari Top Glove Malaysia, karena masalah ketenagakerjaan para buruhnya.
Diberitakan Tribunnews Juli 2020, Investigasi Channel 4 News mengungkapkan kondisi para pekerja migran yang mengejutkan di pabrik-pabrik Top Glove Malaysia.
Para buruh dipaksa untuk memenuhi target produksi yang intens untuk menghasilkan banyak produk Alat Pelindung Diri (APD) yang permintaannya meningkat selama pandemi Covid-19.
Menurut Channel 4 News, pekerja Top Glove diduga bekerja 12 jam, enam hari seminggu dan dibayar kurang dari RM6 (Rp21 ribu) per jam.
Jika mereka bekerja lembur, mereka hanya dibayar RM8 (Rp27 ribu) per jam.
Setelah diselidiki lebih lanjut, diketahui slip gaji beberapa pekerja mencatat hingga 111 jam lembur.
Jam kerja tersebut melanggar batas maksimum lembur yang diizinkan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan Malaysia.
US Customs and Border Protection mengatakan mereka memutuskan untuk memberlakukan larangan Top Glove "berdasarkan bukti yang mengarah pada kerja paksa dalam proses pembuatannya", menurut laporan dari Yahoo News.
Dalam video Channel 4 News Investigation, para pekerja migran itu juga mengalami kondisi yang sepenuhnya mengesampingkan aturan social distancing.
Asrama dihuni hingga 24 pekerja dalam satu ruangan.
Para pekerja terus-menerus bekerja dengan rasa was-was akan adanya penularan virus.
Video itu juga menunjukkan para pekerja yang mengklaim mereka tidak dibayar saat harus hadir 30 menit lebih awal.
Waktu 30 menit itu dihabiskan untuk mengantre pemeriksaan suhu.
"Jika seandainya ada satu orang saja yang terinfeksi Covid-19, maka seluruh kelompok pekerja akan berada dalam situasi yang rentan seperti yang terjadi di Singapura," kata mantan Sekretaris Jenderal Kongres Serikat Buruh Perdagangan Malaysia, Gopal Krishnam.
Namun, Top Glove menyangkal semua tuduhan yang dibuat terhadap mereka.
"Top Glove mematuhi hukum perburuhan dan persyaratan kepatuhan sosial & berkomitmen untuk terus meningkatkan praktik perburuhan kami," kata Channel 4 News.
Namun, ini bukan pertama kalinya Top Glove diteliti untuk klaim mereka mengeksploitasi tenaga kerjanya.
Perusahaan mengatakan pihaknya mencakup biaya rekrutmen untuk pekerja sejak Januari 2019 tetapi beberapa pekerja masih menunggu biaya pengembalian, kata laporan dari The Hill.
"Selama beberapa bulan terakhir, kami telah mengerjakan masalah yang melibatkan penelusuran ekstensif, untuk menetapkan jumlah yang benar untuk dibayarkan kembali kepada pekerja kami," kata Top Glove, dalam sebuah pernyataan.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Berita lainnya dari Malaysia