Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Warga Myanmar Angkat Senjata Lawan Junta: Sebelum Kudeta Saya Bahkan Tak Bisa Bunuh Binatang

Sejumlah warga sipil di Myanmar mulai angkat senjata untuk melawan pemerintah militer atau junta.

Penulis: Rica Agustina
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in Cerita Warga Myanmar Angkat Senjata Lawan Junta: Sebelum Kudeta Saya Bahkan Tak Bisa Bunuh Binatang
AFP/STR
Demonstran antikudeta militer Myanmar 

TRIBUNNEWS.COM - Seorang warga sipil di Myanmar menceritakan tentang kehidupannya yang berubah sejak kudeta militer 1 Feburari 2021.

Andrew, bukan nama sebenarnya, di minggu-minggu setelah kudeta bergabung dengan jutaan orang dalam demonstrasi menentang pemerintah militer atau junta.

Kurang dari dua bulan kemudian, pria berusia 27 tahun itu berlatih untuk membunuh tentara dengan senapan.

Kepada Al Jazeera, Andrew mengaku melakukan hal itu karena dia merasa sangat sedih saat melihat militer membunuh warga sipil.

Untuk itu, dia bertekad berjuang melawan kediktatoran militer yang jahat.

Baca juga: Junta Myanmar Memulai Persidangan Pertama Aung San Suu Kyi Sejak Kudeta 1 Februari

Diketahui, militer telah menewaskan lebih dari 860 orang sejak penggulingan Aung San Suu Kyi, sebagian besar dalam protes antikudeta, kemudian militer juga menangkap lebih dari 6.000, dan dan menggunakan taktik termasuk penyiksaan dan penghilangan paksa.

"Sebelum kudeta, saya bahkan tidak bisa membunuh seekor binatang. Ketika saya melihat militer membunuh warga sipil, saya merasa sangat sedih dan bermasalah."

BERITA REKOMENDASI

"Saya sampai pada pemikiran bahwa saya berjuang untuk rakyat melawan diktator militer yang jahat," kata Andrew.

Dikatakan Andrew, dia adalah satu di antara warga sipil yang masih muda, yang mengangkat senjata untuk menjatuhkan militer.

Beberapa pejuang telah terdaftar dalam organisasi etnis bersenjata di negara bagian Kayah di perbatasan tenggara Myanmar dengan Thailand.

Di mana etnis minoritas telah berperang selama beberapa dekade melawan militer Myanmar atau Tatmadaw, untuk penentuan nasib dan hak mereka.

Lainnya, seperti Andrew, telah bergabung dengan salah satu dari beberapa lusin pasukan pertahanan sipil yang bermunculan di kota-kota besar dan kecil sejak akhir Maret 2021.


Sementara kelompok etnis bersenjata telah bertahun-tahun mengembangkan sumber daya dan kapasitas, pasukan pertahanan sipil sebagian besar dipersenjatai dengan senapan berburu tunggal dan senjata rakitan lainnya.

Aktivis antikudeta sedang berlatih dengan kelompok etnis bersenjata di perbatasan Myanmar
Aktivis antikudeta sedang berlatih dengan kelompok etnis bersenjata di perbatasan Myanmar (Stringer/AFP)

Banyak di antara pejuang itu yang mendapat pelatihan tempur hanya selama beberapa minggu.

Namun mereka tetap maju menghadapi militer yang telah mengumpulkan lebih dari 3 miliar dolar senjata dan memiliki pengalaman 70 tahun menindak penduduk sipil.

"Kami telah melakukan protes nasional dan meluncurkan gerakan pembangkangan sipil terhadap militer dengan harapan memulihkan demokrasi sipil, tetapi metode itu saja tidak berhasil," kata Neino, mantan dosen universitas yang sekarang memimpin cabang politik perlawanan sipil di Negara Bagian Chin dan wilayah tetangga Sagaing.

"Kami telah melakukan semua yang kami bisa, dan mengangkat senjata adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk memenangkan ini," tambahnya.

Salai Vakok, seorang pekerja pembangunan masyarakat berusia 23 tahun yang berubah menjadi pejuang perlawanan, juga di Negara Bagian Chin, mulai mengumpulkan senapan berburu di kota asalnya Mindat tak lama setelah Tatmadaw mulai menembaki pengunjuk rasa pada pertengahan Februari 2021.

Salai Vakok mengaku, pihaknya sempat berharap orang-orang dariluar negeri akan berjuang dengan mereka.

"Dulu kami berharap orang-orang dari luar negeri akan berjuang untuk kami, tetapi itu tidak pernah terjadi."

"Saya tidak pernah dalam hidup saya berpikir saya akan memegang senjata tetapi saya dengan cepat berubah pikiran setelah mengetahui tentang pembunuhan warga sipil tak bersenjata yang tidak bersalah di seluruh negeri dan terutama di daerah dataran rendah," kata Salai Vakok.

Dikatakan Salai Vakok, dia tak bisa tinggal diam melihat warga sipil meninggal karena aksi kekerasan yang dilakukan militer.

Baca juga: Kekerasan Myanmar Naik, PBB: Demokrasi Rapuh Berubah Jadi Bencana HAM, Warga Jadi Perisai Manusia

Untuk itu, dia bertekad menunjukkan solidaritasnya dengan para pahlawan yang gugur, dengan mengangkat senjata.

"Aku tidak bisa tinggal diam. Untuk membalas para pahlawan yang gugur dan menunjukkan solidaritas saya, saya memutuskan untuk mengangkat senjata," kata Salai Vakok.

Taktik Gerliya

Perlawanan di perkotaan tampak mulai meluas, sebagian besar sebagai akibat dari para pemuda yang telah bersatu dalam jaringan bawah tanah setelah menghadiri kamp pelatihan singkat dengan kelompok etnis bersenjata di hutan.

Sekembalinya ke kota, mereka mengadopsi taktik gerilya termasuk pemboman, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan, termasuk orang-orang yang dicurigai sebagai informan atau orang-orang yang bersekutu dengan militer.

"Tatmadaw menindas kami dengan senjata. Haruskah kita berlutut atau haruskah kita melawan? Jika kami menolak hanya dengan memberi hormat tiga jari, kami tidak akan pernah mendapatkan apa yang kami inginkan," kata Gue Gue, seorang dokter medis berusia 29 tahun dan anggota perlawanan bawah tanah di Yangon.

"Kami tidak dipersenjatai oleh pilihan; itu karena kami tidak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dengan meminta secara damai," sambungnya.

Dikatakan Gue Gue, dirinya saat ini hidup dalam ketakutan karena terus-menerus dibayangi informan.

Bahkan karena itu, dia harus hidup sembunyi-sembunyi agar tidak ditemukan pihak militer lalu dibunuh.

"Kami di perkotaan harus hidup sembunyi-sembunyi atau kami bisa dibunuh. Kami tidak bisa tidur nyenyak."

"Myanmar seperti rumah jagal sekarang. Orang-orang dibunuh setiap hari seperti binatang," kata Gue Gue.

Baca juga: Junta Militer Myanmar Tuntut Aung San Suu Kyi atas Dugaan Korupsi: Dia Dinyatakan Bersalah

Kekhawatiran lain bagi pejuang perlawanan adalah keluarga mereka.

Sejak kudeta, setidaknya 76 orang telah ditahan ketika pasukan keamanan tidak dapat menemukan orang yang mereka ingin tangkap, menurut kelompok dokumentasi hak asasi manusia.

"Saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa jika militer mencari saya, untuk mengatakan bahwa mereka mencoba meyakinkan saya untuk tidak mengangkat senjata, tetapi saya tidak mendengarkan," kata Salai Vakok.

Dia telah memutuskan kontak dengan keluarganya sejak dia bergabung dengan kelompok pertahanan sipil.

Namun, baru-baru ini Salai Vakok mendengar kabar bahwa keluarganya termasuk di antara ribuan orang yang terlantar akibat bentrokan May di Mindat dan sekarang bersembunyi di hutan.

Diketahui, militer telah menanggapi perlawanan bersenjata dengan serangan udara dan darat tanpa pandang bulu.

Sehingga menyebabkan putusnya akses bantuan, makanan dan pasokan untuk penduduk sipil, seperti yang sering terjadi di daerah etnis.

Hampir 230.000 orang telah meninggalkan rumah mereka sejak kudeta, banyak di antara mereka bersembunyi di hutan.

Pada 9 Juni, seorang pakar PBB memperingatkan kematian massal akibat kelaparan, penyakit, dan infeksi di Negara Bagian Kayah setelah militer memutus akses ke makanan, air, dan obat-obatan bagi warga sipil yang terlantar.

Baca juga: Pesawat Militer Myanmar yang Bawa 16 Penumpang Jatuh di Kota Mandalay, 12 Orang Tewas

Berita lain seputar Krisis Myanmar

(Tribunnews.com/Rica Agustina)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas