Pascaperang 11 Hari Israel-Hamas, Warga Gaza Hadapi Pembangunan Ulang yang Habiskan Biaya Mahal
Konflik terbaru yang berlangsung 11 hari pada Mei 2021 telah memaksa warga Palestina untuk menghadapi pembangunan ulang rumah-rumah mereka yang hancur
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Warga Gaza telah mengalami empat serangan mematikan dari Israel dalam 12 tahun terakhir.
Konflik terbaru yang berlangsung 11 hari pada bulan lalu telah memaksa warga Palestina untuk melakukan pembangunan ulang rumah-rumah mereka yang hancur.
Tercatat 1.149 unit perumahan dan bangunan komersial hancur dalam serangan 11 hari kemarin.
Roket-roket kiriman Israel juga merusak 15.000 bangunan lainnya.
Bahkan 100.000 warga sipil terpaksa mengungsi ke gedung-gedung sekolah yang dikelola PBB dan komunitas lainnya.
Baca juga: HNW Serukan Indonesia Bersama Malaysia Dan Brunei Boikot Produk Israel
Baca juga: PM Israel Naftali Bennett Kirim Peringatan ke Hamas: Kesabaran Kami Sudah Habis
Melansir Al Jazeera, bagi banyak orang yang selamat dari perang Israel-Palestina, ini bukan pertama kalinya mereka terpaksa mencari perlindungan sementara dan harus menghadapi pembangunan ulang yang memakan biaya mahal.
Ramez al-Masri (39) menuturkan dalam sekejap mata ia kehilangan rumah dua lantai untuk kedua kalinya pada Mei kemarin.
Pada 14 Mei sekitar pukul 03.00 waktu setempat, salah satu tetangga al-Masri menerima telepon dari militer Israel yang memerintahkan agar semua orang di sekitarnya mengungsi.
"Pada waktu larut malam itu, tetangga saya menelepon hanya untuk memberi tahu tentang peringatan itu," kata al-Masri.
"Sebelum evakuasi, saya bergegas ke kamar untuk mengambil tas yang menyimpan barang-barang (vital) kami," tuturnya.
"Dengan histeris, kami melarikan diri ke rumah sakit terdekat untuk mencari keselamatan. Kami tinggal di sana sampai subuh."
Baca juga: Sosok Ebrahim Raisi, Presiden Baru Iran, Dipandang Israel sebagai Ekstremis
Semuanya Hancur
Selama 11 hari serangan mematikan Israel, keluarga al-Masri kemudian berlindung di salah satu rumah kerabatnya.
Setelah gencatan senjata mulai berlaku pada tanggal 21 Mei, mereka kembali ke rumah mereka.
Namun, rumah itu berubah menjadi lubang yang dipenuhi puing-puing yang pecah.
"Setelah saya menemukan rumah saya hancur total," ucapnya.
Ia lantas menyewa sebuah apartemen dengan harga $200 untuk ia tinggali bersama keluarganya, istri dan enam orang anaknya.
Apartemen itu hanya memiliki dua kamar tidur, satu baginya dan sang istri dan yang lainnya untuk semua anaknya.
Rumah Al-Masri sebelumnya dirobohkan dalam perang 2014 ketika pasukan Israel menyerbu wilayah paling utara Gaza, secara acak menembaki daerah itu dan menyebabkan 140.000 rumah hancur.
Setelah tiga tahun, Al-Masri mulai membangun rumahnya, lalu pindah bersama keluarganya pada 2017.
"Apakah rumah saya, yang hancur lagi ini, membutuhkan waktu tiga tahun untuk dibangun kembali? Apakah saya akan menjadi tunawisma sampai tahun 2024?"
Al-Masri mengatakan ia takut kembali ke "karavan", gubuk logam kecil tersebar luas di daerah yang rusak, di mana ia tinggal dalam tiga tahun sebelum rumahnya dibangun kembali.
Ia tidak mampu membayar sewa yang mahal sebagai penjual sayur dengan pendapatan yang hampir tidak cukup untuk menghidupi keluarganya di waktu normal.
"Tinggal di karavan di musim panas tidak tertahankan (karena panas)," katanya, seraya menambahkan ia berharap komunitas internasional membantu ia dan tunawisma Palestina lainnya untuk membangun kembali sesegera mungkin.
Baca juga: Peringatan Israel pada Dunia soal Presiden Baru Iran Ebrahim Raisi, Sebut sebagai Penjagal Teheran
Tunawisma untuk keempat kalinya
Penghancuran rumah selama serangan terakhir menyakitkan bagi warga Palestina.
Pada Mei, setidaknya 256 orang, termasuk 66 anak-anak dan 40 wanita, tewas dalam serangan udara dan tembakan artileri Israel.
Hampir 2.000 lainnya terluka, termasuk 600 anak-anak dan 400 wanita, menurut laporan PBB tentang serangan baru-baru ini di Gaza.
Tinggal di dekat garis demarkasi dengan Israel memiliki konsekuensi yang mengerikan.
Mithqal al-Sirsawy (40) membangun rumahnya di tanahnya berukuran 700 meter.
Rumahnya telah dihancurkan empat kali selama 12 tahun terakhir, dimulai dengan perang 2008.
"Rumah saya menjadi sasaran baik oleh tank Israel atau jet mereka dalam semua perang, pada 2008, 2012, 2014 dan yang terakhir, yang terjadi beberapa minggu lalu," katanya.
"Berapa lama saya harus menderita situasi ini?"
Seperti setiap serangan Israel di Gaza, al-Sirsawy tidak punya tempat lain untuk berlindung kecuali sekolah-sekolah yang dioperasikan oleh PBB.
"Tinggal di sekolah tidak bisa ditoleransi karena ruang kelas penuh sesak dengan orang," ungkapnya.
"Lebih dari dua keluarga tinggal dalam satu kelas. Dan yang paling sulit adalah sekolah-sekolah ini kekurangan akses air bersih," katanya.
Al-Sirsawy membutuhkan hampir $50.000 untuk merekonstruksi rumahnya. jumlah yang mustahil bagi seorang penjual rempah-rempah yang berpenghasilan sekitar $300 sebulan.
"Setiap habis perang, saya mendapat bantuan dan tidak cukup untuk dapat membangun kembali rumah. Bantuan itu hanya setara sepertiga dari jumlah yang saya butuhkan," katanya.
"Hidup saya menjadi seperti neraka dan keluarga saya tidak merasa aman di rumah sejak perang 2008," katanya.
"Kapan perang di Gaza akan berhenti sehingga saya bisa hidup aman bersama keluarga saya di rumah kami?"
"Saya pikir tidak ada gunanya membangun kembali rumah karena semua yang kami bangun di sini dihancurkan selama perang berlanjut."
Baca juga: Israel Sebut Ebrahim Raisi Ekstremis, Yakin Presiden Baru Iran Itu akan Tingkatkan Program Nuklir
Baca juga: Analisis Pengamat soal Israel Tuding Indonesia, Malaysia, dan Brunei Bohong Terkait Serangan Gaza
Cicilan Apartement Masih Berlanjut
Alaa Shamaly, jurnalis foto berusia 36 tahun, punya cerita berbeda.
Rumah keduanya hancur dalam perang ini, padahal ia memilih sebuah apartemen di tempat yang menurutnya merupakan tempat teraman di Gaza.
Pengalaman Shamaly dalam perang 2014 membuatnya meninggalkan lingkungan al-Shujayea, mengingat itu salah satu daerah paling berbahaya ketika Israel menyerang Gaza karena kedekatannya dengan zona penyangga.
"Dalam salah satu dari 50 hari perang 2014, jet dan tank Israel mengebom lingkungan kami secara besar-besaran dan acak," kenang Shamaly.
"Di bawah pengeboman gila di segala arah, keluarga saya dan saya keluar dari rumah kami, melarikan diri ke barat.
"Banyak rumah hancur karena penghuninya, dan banyak lainnya dibunuh ketika mencoba melarikan diri. Kami berjalan di atas orang mati mencoba untuk bertahan hidup."
Setelah serangan Israel itu, Shamaly mencari tempat baru untuk keluarganya, termasuk istri dan lima anaknya.
Mereka membeli sebuah apartemen di gedung enam lantai Anas Bin Malek di jantung Gaza, berharap itu akan menjadi salah satu tempat teraman dari serangan Israel lebih lanjut.
Tapi ini terbukti tidak benar selama serangan Mei.
"Pendudukan Israel menyerang pusat Gaza, menghancurkan tujuh menara perumahan besar, membuat ratusan keluarga kehilangan tempat tinggal, dan melakukan pembantaian paling brutal di Jalan al-Wehda, di mana lebih dari 40 orang dibunuh," katanya.
Pada 16 Mei, gedung Anas Bin Malek diratakan dengan tanah, membuat Shamaly putus asa setelah menjadi tunawisma untuk kedua kalinya.
"Menurut saya yang paling sulit adalah terus membayar cicilan apartemen selama dua tahun ke depan," katanya, mencatat banknya secara otomatis mengambil $200 setiap bulan dari rekening.
Setelah kehancuran apartemennya, Shamaly sekarang tinggal bersama keluarga besarnya di al-Shujayea, menghadapi masa depan yang tidak pasti.
"Saya tidak akan bisa membeli apartemen baru sampai cicilan selesai," katanya.
Berita lain terkait Israel Serang Jalur Gaza
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)