Singgung Perjanjian Nuklir dengan AS, Presiden Baru Iran Ebrahim Raisi Menolak Bertemu Joe Biden
Presiden baru Iran, Ebrahim Raisi mengesampingkan pertemuan dengan Presiden AS Joe Biden ketika ditanya soal perjanjian nuklir pada Senin (21/6/2021).
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Presiden baru Iran, Ebrahim Raisi mengesampingkan pertemuan dengan Presiden AS Joe Biden ketika ditanya soal perjanjian nuklir, saat konferensi pers pada Senin (21/6/2021).
Raisi mengatakan tidak akan bertemu Biden meskipun Iran dan AS setuju untuk menerapkan kesepakatan nuklir 2015 lagi.
Dalam kesepakatan itu, Iran harus menghentikan program pengayaan uraniumnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional oleh AS.
Dilansir CNN, Ebrahim Raisi akan resmi menggantikan Hassan Rouhani sebagai presiden ke-8 Iran pada Agustus mendatang.
Saat ini, Iran tengah bernegosiasi tidak langsung dengan AS di Wina mengenai perjanjian nuklir, setelah pemerintahan Trump mundur sepihak pada 2018.
Baca juga: Presiden Terpilih Iran Ebrahim Raisi Tanggapi Tuduhan Terlibat Eksekusi Massal, Bangga Bela HAM
Baca juga: Presiden China Xi Jinping Ucapkan Selamat Atas Terpilihnya Ebrahim Raisi Sebagai Presiden Iran
Ditanya tentang hal ini, Presiden Raisi menuduh AS dan Uni Eropa melanggar kesepakatan.
Dia meminta Biden mencabut semua sanksi kepada Iran, seraya menambahkan bahwa program rudal balistik negaranya "tidak untuk dinegosiasikan."
"Usulan serius saya kepada pemerintah Amerika Serikat adalah agar mereka kembali (ke kesepakatan) dengan cara yang dipercepat, dengan melakukan itu mereka akan membuktikan ketulusan mereka," kata Raisi.
"Rakyat Iran tidak memiliki ingatan yang baik tentang JCPOA," tambah Raisi, merujuk pada nama resmi kesepakatan nuklir itu.
"Amerika menginjak-injak JCPOA dan Eropa gagal memenuhi komitmen mereka. Saya tegaskan kembali kepada AS bahwa Anda berkomitmen untuk mencabut sanksi, kembali dan hidup sesuai komitmen Anda," katanya dalam pernyataan pembukaannya.
Raisi juga membahas soal kebijakan luar negeri mantan Presiden AS, Donald Trump untuk menekan Iran.
"Hingga hari ini, tekanan maksimum tidak berhasil pada rakyat kami, mereka (AS) harus berubah pikiran, dan kembali ke akal sehat. Rakyat kami telah menunjukkan bahwa mereka dapat menahan tekanan," katanya.
Raisi menyambut baik diplomasi dan dialog, tetapi mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Iran tidak akan terbatas pada kesepakatan nuklir 2015.
Trump meninggalkan kesepakatan nuklir pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran.
Sebagai tanggapan, Teheran melanjutkan beberapa kegiatan nuklir.
Pada April lalu, negara Syiah ini mengumumkan niatnya untuk memperkaya uranium hingga kemurnian 60%, mendekati tingkat pengayaan 90% yang dianggap sebagai tingkat senjata.
Kendati demikian Iran berkali-kali menyangkal tuduhan tengah membuat senjata nuklir.
Raisi juga mengatakan dia berharap bisa memulihkan kembali hubungan dengan musuh regional Iran, yakni Arab Saudi.
Riyadh dan Teheran memutuskan hubungan pada 2016 setelah Arab Saudi mengeksekusi seorang ulama Syiah terkemuka, Nimr al-Nimr.
Beberapa jam kemudian, massa Iran menyerbu kedutaan Saudi di Teheran dan membakarnya.
Raisi adalah pemimpin Iran terpilih pertama yang berada di bawah sanksi AS.
Baca juga: Sosok Ebrahim Raisi, Presiden Baru Iran, Dipandang Israel sebagai Ekstremis
Baca juga: Israel Peringatkan Dunia Soal Presiden Baru Iran Ebrahim Raisi: Dia Penjagal Teheran
Raisi sebagai anggota pengadilan tinggi Iran, menurut catatan PBB menyetujui eksekusi kepada 9 anak pada 2018 dan 2019.
Berbagai kelompok HAM juga melaporkan bahwa Raisi terlibat dalam eksekusi massal kepada 5.000 tahanan politik.
Raisi tidak pernah berkomentar terkait laporan ini, namun saat ditanya soal eksekusi, dia justru memuji rekam jejaknya sebagai jaksa dan hakim.
"Saya selalu membela hak-hak rakyat. Hak asasi manusia telah menjadi basis paling mendasar di mana saya bekerja," katanya.
Amnesty International pada Sabtu, menuntut agar Ebrahim Raisi diselidiki atas tuduhan kejahatan kemanusiaan terkait eksekusi massal.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)