Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Studi Hasil Otopsi di AS: Otak Pasien Covid-19 yang Parah Mirip Otak Pasien Alzheimer dan Parkinson

Studi hasil otopsi oleh Universitas Stanford menunjukkan otak pasien Covid-19 yang parah mirip dengan otak pasien Alzheimer dan Parkinson

Editor: hasanah samhudi
zoom-in Studi Hasil Otopsi di AS: Otak Pasien Covid-19 yang Parah Mirip Otak Pasien Alzheimer dan Parkinson
net
PENYAKIT Alzheimer ternyata tidak hanya berbahaya bagi penderitanya, melainkan juga bagi caregiver alias pengasuhnya. 

TRIBUNNEWS.COM - Otak orang yang meninggal dengan Covid-19 yang parah tampak mirip dengan otak pasien yang meninggal karena penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer dan Parkinson.

Sejumlah peneliti melaporkan, kondisi otak pasien parah Covid-19 menunjukkan peradangan dan sirkuit yang terganggu. Studi ini diterbitkan Senin (21/6)  di jurnal Nature.

"Otak pasien yang meninggal karena Covid-19 yang parah menunjukkan penanda molekuler peradangan yang mendalam, meskipun pasien tersebut tidak memiliki tanda-tanda klinis gangguan neurologis yang dilaporkan," kata studi bersama Tony Wyss-Coray, seorang profesor neurologi dan ilmu saraf di Universitas Stanford.

Timnya menganalisis jaringan otak dari delapan orang yang meninggal karena Covid-19 dan 14 orang yang meninggal karena sebab lain.

Wyss-Coray  mengatakan, sekitar sepertiga pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit melaporkan gejala neurologis seperti pemikiran kabur, pelupa, kesulitan berkonsentrasi dan depresi.

Baca juga: Studi: Infeksi Covid-19 Kurangi Risiko Infeksi Lanjutan Selama 10 Bulan

Baca juga: Studi Berbasis AI: Covid-19 Sebabkan Perubahan Otak yang Umum Ditemukan pada Penyakit Alzheimer

Masalah-masalah ini dapat bertahan sebagai bagian dari apa yang disebut "Covid-19 panjang (Long Covid-19)", suatu kondisi berlarut-larut yang kadang-kadang memengaruhi pasien setelah mereka pulih dari infeksi awal.

Meskipun ada peradangan yang signifikan pada otak pasien Covid-19 yang meninggal, jaringan otak mereka tidak memiliki tanda-tanda SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.

Berita Rekomendasi

Wyss-Coray menunjukkan bahwa para ilmuwan tidak setuju tentang apakah virus itu ada di otak pasien Covid-19.

“Kami menggunakan alat yang sama yang mereka gunakan dan benar-benar mencari keberadaan virus itu,” katanya dalam rilis berita Stanford. "Dan kami tidak dapat menemukannya,” katanya, seperti dilansir dari UPI.

Wyss-Coray mengatakan, infeksi virus tampaknya memicu respons inflamasi di seluruh tubuh yang dapat menyebabkan sinyal inflamasi melintasi penghalang darah-otak, yang pada gilirannya dapat memicu peradangan saraf di otak.

Baca juga: Studi di AS: Virus Covid-19 Dapat Menyebabkan Diabetes

"Kemungkinan banyak pasien Covid-19, terutama mereka yang melaporkan atau menunjukkan masalah neurologis atau mereka yang dirawat di rumah sakit, memiliki penanda peradangan saraf yang kami lihat pada orang-orang yang kami amati yang telah meninggal karena penyakit ini," katanya.

"Temuan kami dapat membantu menjelaskan kabut otak, kelelahan, dan gejala neurologis dan kejiwaan lainnya dari Covid-19 yang lama," ujar Wyss-Coray menyimpulkan.

Kecemasan

April lalu, sejumlah peneliti melaporkan melalui The Lancet bahwa lebih dari sepertiga penyintas Covid-19 di Amerika Serikat  mengalami pengaruh neurologis (kejiwaan) terkait virus dalam waktu enam bulan setelah terinfeksi.

Data penelitian menunjukkan, di antara mereka yang memiliki gangguan kejiwaan yang terkait dengan virus, kecemasan adalah yang paling umum, yaitu 17 persen pasien, sementara 14 persen menderita depresi. Tujuh persen pasien yang mengalami komplikasi neurologis mengalami stroke saat dalam perawatan intensif dan 2 persen didiagnosis dengan demensia dalam waktu enam bulan setelah terinfeksi.

Para peneliti menyebutkan, diagnosis ini lebih umum pada pasien Covid-19 daripada mereka yang menderita flu atau infeksi saluran pernapasan selama periode waktu yang sama, menunjukkan dampak spesifik dari virus corona pada kesehatan mental dan otak.

Baca juga: Studi Inggris: Vaksin AstraZeneca 92 Persen Efektif Terhadap Varian Delta

"Meskipun risiko individu untuk sebagian besar gangguan kecil, efeknya di seluruh populasi mungkin substansial untuk sistem perawatan kesehatan dan sosial," kata rekan penulis studi Dr Paul Harrison dalam sebuah pernyataan.

Sejak awal pandemi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mereka yang selamat dari virus mungkin berisiko lebih tinggi mengalami gangguan neurologis, serta gangguan mood dan kecemasan.

Untuk penelitian ini, Harrison dan rekan-rekannya meninjau catatan kesehatan elektronik lebih dari 236.000 pasien Covid-19 dari Amerika Serikat berusia 10 tahun ke atas yang terinfeksi setelah 20 Januari 2020, dan masih hidup pada 13 Desember 2020.

Mereka membandingkan tingkat 14 gangguan neurologis dan kejiwaan di antara pasien ini dengan lebih dari 106.000 orang yang didiagnosis dengan influenza dan lebih dari 236.000 orang yang didiagnosis dengan infeksi saluran pernapasan.

Dalam enam bulan setelah infeksi Covid19, 34 persen pasien mengalami gangguan kesehatan neurologis atau mental, katanya.

Selain kecemasan dan depresi, 7 persen dari mereka dengan kondisi kejiwaan didiagnosis dengan gangguan penyalahgunaan zat dan 5 persen mengalami insomnia. (Tribunnews.com/UPI/USNews/Hasanah Samhudi)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas