10 Negara dengan Utang Luar Negeri Terbesar, Indonesia Urutan Berapa?
Total nilai utang luar negeri dari 120 negara berpendapatan menengah dan rendah mencapai 8,1 triliun dollar AS.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sepekan terakhir utang luar negeri Indonesia kembali jadi sorotan.
Hal itu mencuat setelah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menyatakan kekhawatirannya terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunganya.
Hal tersebut Agung sampaikan dalam pidato pada Rapat Paripurna DPR-RI, Selasa (22/6/2021) lalu.
Lalu berapa sebenarnya utang Indonesia? Bagaimana jika dibandingkan dengan negara lain?
Bank Dunia mencatat hingga akhir 2019, total nilai utang luar negeri dari 120 negara berpendapatan menengah dan rendah mencapai 8,1 triliun dollar AS.
Berdasarkan data dalam laporan yang bertajuk International Debt Statistics 2021 yang dikutip oleh Kompas.com, total nilai utang luar negeri (ULN) negara-negara tersebut meningkat 5,4 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Baca juga: Komisi XI DPR RI Sebut Utang Indonesia dalam Taraf Mengkhawatirkan
Bank Dunia mencatat, peningkatan utang luar negeri terjadi lantaran perubahan nilai tukar mata uang negara terhadap dollar AS dari tahun ke tahun.
Sebab, sekitar separuh dari utang luar negeri negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah berdenominasi mata uang selain dollar AS).
Utang luar negeri jangka panjang tercatat memiliki pertumbuhan yang paling pesat dibanding jenis utang lain, yakni tumbuh 7 persen menjadi sekitar 6 triliun dollar AS.
Jumlah tersebut setara dengan 73 persen dari total utang luar negeri. Sementara, tingkat utang jangka pendek tumbuh moderat, yakni 1,5 persen menjadi sekitar 2,2 triliun dollar AS.
Bank Dunia melaporkan, negara dengan utang luar negeri terbesar, yakni China. Total utang luar negeri China setara dengan sekitar 26 persen dari keseluruhan total utang negara-negara berpendapatan rendah-menengah.
Total ULN China mencapai 2,1 triliun dollar AS. Nilai tersebut meningkat 8 persen bila dobandingkan dengan akhir 2018 lalu.
Sementara itu, utang luar negeri Indonesia tercatat mencapai 402,08 miliar dollar AS pada tahun 2018.
Tingkat utang luar negeri Indonesia tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan Rusia yang mencapai 490,72 miliar dollar AS, Meksiko 469,72 miliar dollar AS dan Tukri 440,78 miliar dollar AS.
Tingkat utang luar negeri Indonesia tersebut juga lebih rendah dari Brasil yang sebesar 569,39 miliar dollar AS, dan India 560,03 miliar dollar AS.
Berikut adalah daftar 10 negara dengan utang luar negeri terbesar:
- China 2,1 triliun dollar AS
- Brasil 569,39 miliar dollar AS
- India 560,03 miliar dollar AS
- Rusia 490,72 miliar dollar AS
- Meksiko 469,72 miliar dollar AS
- Turki 440,78 miliar dollar AS
- Indonesia 402,72 miliar dollar AS
- Argentina 279,3 miliar dollar AS
- Afrika Selatan 188,1 miliar dollar AS
- Thailand 180,23 miliar dollar AS
Kekhawatiran BPK
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna dalam pidato tersebut juga menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).
Sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini betul meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.
Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen.
Begitu juga dengan pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.
Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.
Baca juga: Pimpinan Komisi XI DPR Minta Bappenas Redesain Utang Luar Negeri dan Hibah agar Lebih Produktif
Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen.
Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp 947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB.
Di sisi realisasi pembiayaan Tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun.
Artinya, pengadaan utang Tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.
“Memang pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal, namun sebaiknya BPK juga perlu melihat UU No. 2 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut,” jelas Ketua Kelompok Fraksi Gerindra Komisi XI DPR-RI itu.
Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan, menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu No. 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020.
“Perpres 72 merupakan aturan turunan dari Pasal 12 ayat (2) Perppu No.1/2020. Begitu pula defisit APBN yang semula dibatasi 3% dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3% oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu No.1/2020,” kata dia.
Kemudian, politisi dari Dapil Jabar IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) ini menambahkan, defisit melebihi 3% tersebut dibatasi hanya sampai 2022 saja. Tahun 2023 defisit sudah harus kembali ke maksimal 3% lagi.
Bahkan dalam masa peralihan menuju 3% tersebut angka defisit harus dilakukan secara bertahap. Artinya, defisit pada 2022 harus lebih rendah dari 2020 dan 2021.
“DPR mengapresiasi keberanian BPK menyatakan kekhawatiran tentang penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunganya. Namun, hendaknya secara utuh menjadikan UU No.2 Tahun 2020 sebagai pijakan hukum. Selain itu juga harus berani memberikan penilaian selain WTP,” papar Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI itu.
Hergun menuturkan adanya pembengkakan defisit hingga 6,14 persen dari PDB masih dalam koridor UU No.2/2020 sebagai upaya penanganan dampak pandemic Covid-19.
Namun terjadinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun harus diaudit oleh BPK. Bila ini tidak ada kejelasan, maka pemerintah tidak layak mendapatkan opini WTP.
“Saya kira BPK jangan buru-buru memvonis pemerintah mengalami penurunan kemampuan membayar utang dan bunganya. Indikator yang dipakai BPK masih relatif lemah karena hanya merujuk pada rekomendasi IMF dan IDR,” tegas Hergun.
Lebih baik, kata Hergun, BPK mengaudit utang-utang tersebut terutama menyelidiki terjadinya SiLPA dalam jumlah yang fantastis tersebut. Karena adanya SiLPA membuktikkan pengelolaan utang pemerintah belum prudent dan terkesan ugal-ugalan.
Sejak 2012, rasio pendapatan negara terhadap belanja negara secara konsisten terus turun. Pada 2012 masih 89,7 persen, kemudian menjadi 84,9 persen, dan dalam dua tahun terakhir ini sudah berada di kisaran 63 persen. Lubang sebesar 37 persen ini jelas memberatkan pemerintah.
“Defisit yang makin lebar ini harus ditutupi, salah satunya melalui penghematan. Namun, saat ini penghematan penggunaan anggaran negara masih belum terlihat. Dalam pembukuan pemerintah pusat, keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan dengan belanja negara, tapi belum memasukkan pembayaran bunga dan pokok utang. Jika keseimbangan primer itu ditambah dengan pembayaran bunga utang, kemudian disebut sebagai neraca anggaran, defisitnya kian dalam,” ungkapnya.
"Dampak utang yang membengkak, negara harus membayar bunga utang mencapai Rp314,1 triliun pada 2020. Jika beban bunga ini bisa dilakukan negosiasi ulang dan atau restrukturisasi, alangkah lebih baik jika sebagian biaya bunga tersebut dialokasikan untuk memperkuat program perlindungan sosial. Saya kira ini yang harus dikejar BPK,” pungkas Hergun.
Politikus PKS Khawatir
Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati menyoroti tentang persoalan utama utang Indonesia.
Menurut Anis, persoalan utama utang Indonesia adalah bagaimana agar penerimaan negara lebih dipacu dibanding utangnya.
"Sementara yang terjadi saat ini, utang tumbuh lebih tinggi, baik dibandingkan terhadap penerimaan negara maupun dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Sehingga Indonesia semakin terjebak dalam hutang,” ujar Anis, kepada wartawan, Kamis (24/6/2021).
Anis yang juga menjabat sebagai wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini melanjutkan pada catatan yang kedua terkait dengan porsi utang. Porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 13% dari total utang pemerintah.
Baca juga: Anis Byarwati: Utang Indonesia dalam Taraf Mengkhawatirkan
Akan tetapi menurut Anis, nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang negara semakin riskan baik dalam hal cicilan pokok maupun bunganya.
"Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita masih mengatakan utang kita aman-aman saja,” katanya.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini menegaskan bahwa perlu dilakukan kajian lebih dalam terkait rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang benar-benar mencerminkan kondisi riil.
"Selama ini, perhitungan yang dilakukan hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB. Sedangkan utang BUMN tidak dimasukan dalam hitungan. Praktek di negara-negara lain utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut,” ujar Anis.
Sumber: Kompas.com/Tribunnews.com