Jadi Pemasok Utama Senjata Militer Myanmar, Rusia Kini Nyatakan Dukung Konsensus ASEAN
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyatakan dukungan terhadap lima poin konsensus yang disepakati ASEAN untuk mengakhiri krisis di Myanmar.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov telah menyatakan dukungan untuk upaya diplomatik Asia Tenggara dalam mengakhiri krisis politik di Myanmar.
Berbicara selama kunjungan ke Jakarta, Lavrov mengatakan Lima Poin Konsensus yang disepakati oleh blok Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus menjadi dasar di mana situasi di Myanmar dapat diselesaikan.
Hal itu disampaikannya dalam konferensi pers setelah pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
"Dalam kontak kami dengan para pemimpin Myanmar, para pemimpin militer, kami mempromosikan posisi ASEAN yang harus menjadi pandangan kami, dianggap sebagai dasar untuk menyelesaikan krisis ini dan membawa situasi kembali normal," kata Lavrov dikutip dari Al Jazeera.
Komentar diplomat itu penting dan muncul di tengah keterlibatan yang semakin dalam antara Rusia dan militer Myanmar.
Baca juga: Sidang Aung San Suu Kyi Berlanjut Seiring Lonjakan Kasus Covid-19 di Myanmar
Baca juga: Militer Myanmar Tembak Mati 25 Warga, Total 888 Orang Telah Dibunuh Sejak Kudeta
Diketahui, sebelumnya Rusia terlihat berpihak kepada Myanmar ketika kekuatan global utama memberikan sanksi kepada bisnis dan pemimpin pemerintah militer atau junta serta menyerukan larangan global penjualan senjata ke negara Asia Tenggara itu.
Untuk itu, Retno Marsudi menekankan pentingnya konsensus lima poin yang menyerukan segera diakhirinya kekerasan di Myanmar dan dimulainya dialog antara semua pihak.
Retno Marsudi juga meminta Rusia untuk mendukung pelaksanaannya.
"Ini membutuhkan komitmen militer Myanmar untuk bekerja sama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya," kata Retno Marsudi.
Sebagai informasi, Myanmar berada dalam krisis sejak militernya menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.
Perebutan kekuasaan itu memicu kemarahan nasional yang dengan cepat berubah menjadi aksi protes dan pemogokan yang ditindas secara brutal oleh pasukan keamanan.
Sedikitnya 892 orang tewas, sementara puluhan ribu orang mengungsi di tengah pertempuran antara pasukan keamanan dan kelompok-kelompok pejuang yang baru dibentuk di seluruh negeri.
Jenderal senior Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta bertemu dengan para pemimpin ASEAN pada April 2021.
Pada pertemuan tersebut, Min Aung Hlaing menyetujui rencana mengakhiri krisis di Myanmar.
Selain seruan untuk dialog dan diakhirinya kekerasan, rencana tersebut juga menyerukan penunjukan utusan khusus dan akses kemanusiaan yang lebih besar ke daerah-daerah yang terkena dampak konflik.
Namun, militer sejak itu tidak menunjukkan niat untuk menindaklanjuti dan malah mengulangi rencananya sendiri yang sama sekali berbeda untuk memulihkan ketertiban dan demokrasi.
Kurangnya tindakan militer telah membuat frustrasi anggota ASEAN yang paling vokal, termasuk Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Sementara Rusia juga telah menyatakan keprihatinan tentang kekerasan di Myanmar, adalah salah satu dari sedikit negara yang mengakui pemerintahan Min Aung Hlaing.
Rusia merupakan pemasok utama senjata dan pelatihan untuk militer Myanmar dan telah mengirim pejabat tinggi ke negara itu untuk bertemu para jenderal.
Pada Juni 2021 lalu, Rusia menyambut Min Aung Hlaing dan delegasi militer untuk kunjungan panjang ke Moskow, di mana ia memberikan banyak pidato dan wawancara media dan dianugerahi gelar profesor kehormatan.
Lebih lanjut, Lavrov dan Retno Marsudi dijadwalkan untuk memimpin pertemuan video dengan menteri luar negeri ASEAN lainnya sebelum utusan Rusia berangkat ke negara Asia Tenggara lainnya, Laos.
Lima Poin Konsensus KTT ASEAN di Jakarta
Para pemimpin dan perwakilan negara-negara ASEAN telah menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu (24/4/2021).
Diketahui, KTT ASEAN kali ini merupakan upaya internasional terkoordinasi pertama untuk meredakan krisis di Myanmar.
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Sultan Brunei Hassanal Bolkiah tersebut, ASEAN menyatakan keprihatinan yang mendalam atas situasi di Myanmar.
Baca juga: Demonstran Rayakan Ulang Tahun Pemimpin Kudeta dengan Ritual Pemakaman: Ingin Dia Segera Meninggal
Baca juga: Junta Minta Perusahaan Telekomunikasi Aktifkan Spyware untuk Memata-matai Komunikasi di Myanmar
"Kami, sebagai keluarga ASEAN, berdiskusi secara dekat tentang perkembangan terakhir di Myanmar dan menyatakan keprihatinan kami yang mendalam atas situasi di negara itu, termasuk laporan korban jiwa dan eskalasi kekerasan," kata Hassanal Bolkiah.
"Kami mengakui peran positif dan konstruktif ASEAN dalam memfasilitasi solusi damai untuk kepentingan rakyat Myanmar dan mata pencaharian mereka," tambahnya, dikutip dari Channel News Asia.
Selanjutnya, negara-negara anggota ASEAN menyepakati perlunya segera penghentian krisis di Myanmar.
Hassanal Bolkiah mengatakan, ASEAN pun telah mencapai lima konsensus soal krisis di Myanmar, di antaranya:
1. Penghentian kekerasan di Myanmar harus melibatkan semua pihak dengan pengendalian sepenuhnya.
2. Perlu diadakan dialog konstruktif di antara semua pihak terkait untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat Myanmar.
3. Utusan khusus Ketua ASEAN, Brunei, akan memfasilitasi mediasi proses dialog, dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN.
4. ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance on disaster management.
5. Utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Artikel lain seputar Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)