Dunia di Bawah Ancaman Krisis Ekonomi, 2 Hal Ini Penyebabnya
Dalam beberapa hari terakhir dunia dibayangi ancaman krisis ekonomi. Dua hal utama dianggap bisa jadi penyebabnya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Dalam beberapa hari terakhir muncul kekhawatiran dunia kembali akan mengalami krisis ekonomi.
Setelah pandemi Covid-19 mulai melandai, tumpukan utang sejumlah negara terus melonjak.
Terutama yang menyedot perhatian global adalah krisis utang negara yang dialami Amerika Serikat (AS).
Belum lagi ancaman gagal bayar utang yang dialami salah satu pengembang properti terbesar China, Evergrande yang konon bisa memengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi global termasuk Indonesia.
Dua kasus di atas dikhawatirkan membuat perekonomian dunia terpuruk ditambah kasus Covid-19 yang belum juga reda.
Utang Amerika Rp 400.000 Triliun
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen kembali mengeluarkan permohonan baru kepada Kongres AS untuk menaikkan batas utang.
Hal tersebut ditekankan Janet Yellen mengingat gagal bayar atau default pada utang AS akan memicu krisis keuangan bersejarah.
Menurut Yellen, bahwa krisis yang dipicu oleh default akan menambah kerusakan dari pandemi virus corona yang berkelanjutan, mengguncang pasar dan menjerumuskan ekonomi AS ke dalam resesi dan kenaikan suku bunga yang berkelanjutan.
“Kami akan keluar dari krisis ini sebagai negara yang lebih lemah secara permanen,” ucap Yellen seperti dikutip Reuters, Senin (20/9/2021).
Yellen tidak memberikan pilihan batas waktu baru untuk kemungkinan default.
Namun dirinya memberikan gambaran bahwa kerusakan ekonomi yang akan menimpa konsumen melalui biaya pinjaman yang lebih tinggi dan harga aset yang lebih rendah akibat default.
Baca juga: Berpotensi Gagal Bayar Utang, Menkeu AS Sebut Bencana Pasar Keuangan AS Semakin Dekat
Dia telah mengatakan sebelumnya bahwa default bisa datang sekitar Oktober ketika Kementerian Keuangan kehabisan cadangan kas dan kapasitas pinjaman yang luar biasa di bawah batas utang 28,4 triliun dolar AS (sekitar Rp 400.000 triliun).
"Kita dapat meminjam lebih murah daripada hampir semua negara lain, dan gagal bayar akan membahayakan posisi fiskal yang patut ditiru ini. Itu juga akan membuat Amerika menjadi tempat tinggal yang lebih mahal, karena biaya pinjaman yang lebih tinggi akan membebani konsumen," jelas Yellen.
"Pembayaran Mortgage, pinjaman mobil, tagihan kartu kredit, serta semua yang dibeli dengan kredit akan lebih mahal setelah gagal bayar,” sambungnya.
Sebagai informasi, Partai Republik di Dewan Perwakilan Rakyat AS telah menolak untuk mendukung menaikkan atau menangguhkan 28,4 miliar dolar AS.
Senator AS, Bill Cassidy dari Louisiana mengatakan bahwa Demokrat ingin meningkatkan batas pinjaman untuk mendanai triliunan dolar dalam pengeluaran "Daftar keinginan Demokrat".
Merespon hal tersebut, Yellen berpendapat, pagu utang adalah berkaitan tentang membayar kewajiban pengeluaran masa lalu. Sehingga, menunggu terlalu lama untuk menaikkan pagu utang dapat menyebabkan kerusakan.
Hal tersebut dapat dicontohkan seperti krisis pagu utang 2011 yang mendorong pemerintah federal ke ambang default yang merubah peringkat kredit.
"Hal ini menyebabkan gangguan pasar keuangan yang berlangsung selama berbulan-bulan. Waktu adalah uang di sini, berpotensi miliaran dolar. Baik penundaan maupun default tidak dapat ditoleransi," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Janet Yellen telah memperingatkan Ketua DPR AS Nancy Pelosi terkait risiko gagal bayar utang negara itu yang dapat memiliki konsekuensi drastis bagi pasar keuangannya.
Ia pun mendesak kepemimpinan Partai Demokrat di parlemen untuk menaikkan batas plafon utang sesegera mungkin.
Dikutip dari laman CNBC, Rabu (15/9/2021), Yellen kembali mengulangi pernyataannya bahwa anggota parlemen memiliki waktu hingga Oktober mendatang, sebelum Kementerian Keuangan mengoptimalkan upayanya untuk mencegah apa yang disebut sebagai risiko gagal bayar utang dalam sejarah AS.
"Penundaan yang mempertanyakan kemampuan pemerintah federal untuk memenuhi semua kewajibannya, kemungkinan akan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada ekonomi AS dan pasar keuangan global," kata Yellen kepada Pelosi, dalam sebuah surat yang dibuat.
Yellen pun kembali menekankan bahwa DPR AS harus segera mengambil langkah untuk mengatasi hal ini.
"Kami telah belajar dari kebuntuan batas utang masa lalu, bahwa menunggu hingga menit terakhir untuk menunda atau meningkatkan batas utang dapat menyebabkan kerugian serius bagi bisnis dan kepercayaan konsumen, meningkatkan biaya pinjaman jangka pendek bagi pembayar pajak, dan berdampak negatif pada peringkat kredit AS," tegas Yellen.
Sebagian besar Ekonom juga menilai bahwa risiko gagal bayar utang AS dapat memicu penurunan ekonomi yang parah dan biaya pinjaman pun melonjak di seluruh sektor perekonomian Amerika.
Krisis Evergrande
Krisis Evergrande, yang terjadi akibat raksasa properti asal China itu mengalami masalah likuiditas, dianggap bisa berpengaruh terhadap kondisi perekonomian global.
Dilansir dari CNBC, Selasa (21/9/2021), di tengah ancaman perluasan dampak tersebut, banyak pihak menilai pemerintah China akan ikut campur dalam proses penyelesaian masalah sebelum akhirnya krisis Evergrande memberikan dampak pada sistem perbankan.
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan kali ini adalah bagaimana dan kapan pemerintah China bakal mengendalikan situasi dan mengumumkan rencana untuk melakukan restrukturisasi terhadap Evergrande Group.
Tak sedikit pula investor yang pesimistis pemerintah China bakal melakukan penyelamatan terhadap Evergrande.
"Setiap orang mengharapkan pemerintah akan memberikan resolusi yang baik, sebab Evergrande merupakan perusahaan yang penting secara sistemik," ujar Chief Investment Officer Rockefeller Global Family Office Jimmy Chang.
Baca juga: Risiko Gagal Bayar Bisa Picu Krisis Keuangan, Menkeu AS Kembali Dorong Kongres Naikkan Batas Utang
Secara keseluruhan, Evergrande memiliki kewajiban berupa utang sebesar 300 miliar dollar As atau sekitar Rp 4.260 triliun (kurs Rp 14.200).
Sampai dengan akhir pekan, total utang yang jatuh tempo diperkirakan lebih dari 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,4 triliun.
"Terdapat risiko penularan bila masalah Evergrande di China tidak terselesaikan. Saya pikir akan ada perusahaan pelat merah dengan kondisi keuangan yang baik yang bakal mengambil alih (Evergrande Group)," ujar dia.
Beberapa pihak menilai, krisis Evergrande tak bakal menyebabkan krisis keuangan, seperti krisis Lehman Brothers pada tahun 2008 lalu.
Namun, risiko Evergrande bakal menyebabkan gejolak baru di perekonomian sangat mungkin terjadi.
Chang menilai, pemerintah China perlu bertindak cepat karena krisis Evergrande telah berdampak pada sentimen, setelah sebelumnya tak dianggap sebagai masalah oleh investor di pasar global.
"Ramalan (mengenai dampak Evergrande ke pasar global) bisa saja terjadi. Masalah likuiditas ini, real estate adalah bisnis yang sangat penting bagi ekonomi China serta kemampuan keuangan di banyak keluarga China. Kepemilikan rumah di China lebih dari 90 persen," ujar Chang.
"Banyak orang di China membeli apartemen sebagai investasi, sehingga bila ini tak segera diatasi akan memberikan mimpi buruk," ujar dia.
Fakta bahwa ekonomi China begitu besar membuat krisis akibat permasalahan likuiditas yang dialami Evergrande sangat mungkin berdampak pada perekonomian dunia.
"Bila China memiliki masalah serius yang diakibatkan oleh Evergrande, maka seluruh dunia akan terkena dampaknya," ujar Chang.
Dampaknya ke Indonesia
Kepala ekonom BRI Danareksa Sekuritas Telisa Aulia Falianty mengatakan, memang dampak secara langsung dari kasus ini ke perekonomian Indonesia tak besar. Namun, dampak tidak langsungnya yang perlu diwaspadai.
“Kasus ini diperkirakan bisa menggerus perekonomian China. Sementara, kondisi perekonomian kita dan China ini sangat berkaitan,” ujar Telisa, Rabu (22/9).
Telisa kemudian mengutip riset Bank Dunia, yang menurut lembaga tersebut, setiap turunnya 1% pertumbuhan ekonomi China, maka perekonomian Indonesia bisa ikut turun sekitar 0,5%.
“Inilah yang kita harus waspadai, karena dampak ke pertumbuhan China maka akan memberikan dampak spillover terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tambah Telisa.
Sementara itu, kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan, hal yang bisa memengaruhi kondisi perekonomian Indonesia adalah terkait harga komoditas.
Menurutnya, bila pertumbuhan ekonomi China ini nantinya akan tergerus, maka bisa saja harga komoditas akan turun.
Padahal, seperti kita ketahui, ekspor Indonesia sangat bergantung dengan harga komoditas.
Plus, China merupakan salah satu negara mitra dagang terbesar Indonesia. Sedangkan, salah satu komponen pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kinerja ekspor.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/Kontan.co.id