Aktivis Jepang Tak Setuju Aturan yang Mengharuskan Perempuan Minta Izin Pria Jika Ingin Aborsi
Kajiya juga melihat Jepang perlu lebih banyak staf wanita di pemerintahan seperti ide mantan PM Jepang Shinzo Abe.
Editor: Dewi Agustina
![Aktivis Jepang Tak Setuju Aturan yang Mengharuskan Perempuan Minta Izin Pria Jika Ingin Aborsi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kazane-kajiya-aktivis-jepang.jpg)
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Aktivis Pro-Choice Jepang, Kazane Kajiya menentang kebijakan pemerintah Jepang yang mengharuskan perempuan meminta izin dari pihak pria jika ingin melakukan aborsi.
"Mengapa wanita harus minta izin kepada sang pria untuk melakukan aborsi? Wanita punya hak sepenuhnya atas dirinya. Jepang harus mengubah undang-undang agar tidak merugikan wanita," kata Kazane Kajiya dalam acara bertajuk "Let Women Decide": Pro-Choice Activist Calls on Japan to Allow Women to Make Independent Decisions on Abortions, Senin (27/9/20219) di klub wartawan asing Jepang (FCCJ).
Kazane Kajiya adalah aktivis pro-choice and contraception access dan juga member of International Safe Abortion Day Japan Project.
Kajiya mengaku hidup bersama dengan pasangannya tanpa ikatan pernikahan.
Menurut Kazane Kajiya, ibunya juga mendukung dirinya memperjuangkan ide tersebut. Namun dia tidak tahu bagaimana sikap ayahnya.
"Saya sejak kecil dilecehkan oleh ayah saya," kata Kazane Kajiya kepada Tribunnews.com.
Sejak kecil hubungan Kazane Kajiya dengan ayahnya tidak berjalan baik. Sehingga Kazane Kajiya yakin sang ayah menentangnya sama seperti kebanyakan pikiran pria Jepang pada umumnya.
"Mungkin sama seperti lelaki Jepang lainnya pasti juga menentang surat persetujuan atau tanda tangan atau cap (hanko) dari lelaki, ayah biologis dari bayi tersebut," tambahnya.
Meskipun demikian Kajiya berbahagia karena dia didukung oleh ibunya.
"Saya sekarang hidup bersama pasangan saya dan saya sudah putuskan tidak mau punya anak," ujarnya.
Kazane Kajiya adalah aktivis Aktivis Pro-Choice, yang menyerukan kepada Jepang untuk mengizinkan perempuan membuat Keputusan Independen tentang Aborsi, tidak harus minta persetujuan atau cap (hanko) dari sang pria.
Baca juga: Biden Minta Mahkamah Agung AS untuk Melindungi Hak Aborsi
Lalu bagaimana dengan kandidat Presiden Partai Liberal Demokrat (LDP) yang juga diikuti dua wanita?
"Politik mungkin berbeda karena kalau sudah jadi kepala negara besar atau luas sekali yang harus dipikirkannya. Menjadi pemimpin wanita pun bukan berarti dia memperjuangkan juga kepentingan wanita seperti soal aborsi ini. Yang saya tahu dia membicarakan soal nama keluarga yang memperbolehkan wanita bisa tetap menggunakan nama keluarganya bukan nama suaminya setelah menikah," ujarnya.
Kajiya juga melihat Jepang perlu lebih banyak staf wanita di pemerintahan seperti ide mantan PM Jepang Shinzo Abe yang meminta sedikitnya 30 persen kalangan wanita di pemerintahan.
"Kenyataannya jumlah wanita tetap saja sedikit," ujarnya.
Selain itu Kajiya melihat banyak wanita di Jepang yang dicuci otaknya oleh pemerintah agar selalu ikut dalam peraturan yang dibuat kalangan pria di pemerintahan.
"Kita inilah yang berusaha memperjuangkan hak-hak wanita itu dan berusaha mengingatkan agar jangan mencuci otak para wanita yang ada di Jepang, memberikan hak dan kebebasan wanita untuk memilih terutama memutuskan sendiri soal aborsi," kata dia.
Selama ini diakui Kajiya, yang pernah berbicara dan mendukung soal ide aborsi tersebut hanyalah dari partai Komunis Jepang saja.
"Yang lainnya sepertinya kurang perhatian," ujarnya.
Sementara itu beasiswa (ke Jepang), belajar gratis di sekolah bahasa Jepang di Jepang, serta upaya belajar bahasa Jepang yang lebih efektif melalui aplikasi zoom terus dilakukan bagi warga Indonesia secara aktif dengan target belajar ke sekolah di Jepang. Info lengkap silakan email: info@sekolah.biz dengan subject: Belajar bahasa Jepang.