Reaksi Warga Kongo atas Permintaan Maaf WHO, Sebut Pria Muda Juga Dilecehkan
Warga Kongo menanggapi permintaan maaf WHO terkait temuan puluhan stafnya melakukan pelecehan seksual kepada wanita dan anak perempuan.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Warga Kongo menanggapi permintaan maaf Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait temuan puluhan stafnya melakukan pelecehan seksual kepada wanita dan anak perempuan.
Diberitakan sebelumnya, penelitian independen mengungkap sejumlah wanita dan anak perempuan dilecehkan secara seksual oleh pekerja bantuan dari WHO.
Insiden ini terjadi selama wabah Ebola pada 2018-2020 di Republik Demokratik Kongo (DRC).
Sekitar 80 kasus pelecehan dan rudapaksa itu, menurut pemeriksaan, terjadi pada perempuan berusia 13 hingga 43 tahun.
Baca juga: Staf WHO Lakukan Pelecehan Seksual saat Tangani Wabah Ebola di Kongo
Baca juga: Indonesia Capai Target Vaksinasi Covid-19 yang Ditetapkan WHO
Dari penelusuran, ditemukan 21 dari 83 terduga pelaku bekerja untuk WHO.
"Ini adalah hari yang gelap bagi WHO," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada Selasa (28/9/2021).
Dilansir Anadolu Agency, staf yang melakukan pelecehan terdiri dari staf lokal maupun internasional yang dikerahkan untuk membantu penanganan wabah Ebola.
Direktur Eksekutif Forum Pemimpin Pengungsi Global, Pecos Kilihoshi Musikami, yang berbasis di Goma mengatakan permintaan maaf itu "sejauh ini merupakan langkah positif".
Jika WHO dapat secara terbuka mengakui apa yang terjadi maka itu adalah langkah yang bagus.
Menurutnya, setelah ini WHO perlu memastikan keadilan kepada para korban.
Dia mengatakan korban pelecehan dan rudapaksa ini harus diberi kompensasi.
Lebih lanjut, Kilihoshi mengatakan pelecehan seksual oleh pekerja WHO tidak terbatas pada laki-laki.
"Beberapa staf wanita di PBB menggunakan kekuatan mereka dengan banyak uang untuk melakukan pelecehan seksual terhadap pria muda," katanya.
Dia menambahkan, mencegah terjadi pelecehan seksual oleh pekerja PBB tidak mudah.
Kendati demikian, dibutuhkan hukuman berat kepada pelakunya.
Seorang aktivis perempuan di South Kivu, Sandra Mbedde, mengatakan WHO perlu menempatkan mekanisme untuk menghentikan pelecehan terhadap perempuan.
“Pada level operasional, WHO harus mengambil tindakan agar skandal seperti itu tidak terjadi lagi,” katanya.
Sementara itu, seorang guru di Provinsi Kasai mengaku prihatin dengan temuan itu.
Pendeta Paul Leku di wilayah Aru menilai skandal semacam ini tidak hanya terjadi di Kongo.
"Skandal semacam itu oleh staf PBB tidak terbatas pada Republik Demokratik Kongo."
"Di manapun ada PBB, ada skandal semacam itu," ujarnya
Baca juga: 21 Staf WHO Lecehkan Wanita dan Anak-anak saat Tangani Wabah Ebola di Kongo
Baca juga: RI Desak WHO, GAVI, COVAX Facility Lakukan Upaya Cegah Diskriminasi Vaksin
Seorang pengacara yang bekerja dengan komunitas pengungsi di DRC, Gabriel Sagara, mengatakan ini bukan kali pertama ada pelecehan kepada warga lokal.
"Saya pertama kali mendengar pekerja PBB melecehkan perempuan secara seksual pada 2008 ketika saya masih muda."
"Dua penjaga perdamaian Lebanon yang terlibat dalam skandal itu dideportasi. Tapi itu tidak menghentikan insiden serupa terjadi," katanya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)