Paus Fransiskus Malu Karena Gereja Prancis Tak Bisa Tangani Kasus Pelecehan Seksual oleh Pendeta
Paus Fransiskus sedih dan malu karena Gereja Katolik Prancis tidak bisa menangani kasus pelecehan seksual oleh pendeta terhadap anak-anak.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
TRIBUNNEWS.COM - Paus Fransiskus mengaku sedih dan malu karena Gereja Katolik Prancis tidak bisa menangani kasus pelecehan seksual yang terjadi kepada anak-anak.
Sekitar 216 ribu anak telah menjadi korban pelecehan seksual oleh pendeta sejak 1950.
Dikutip dari CNA, menurut Paus Fransiskus gereja seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua orang.
"Saya ingin mengungkapkan kepada para korban tentang kesedihan saya, kesedihan atas trauma yang mereka derita dan juga rasa malu saya, rasa malu kami, atas ketidakmampuan gereja, seharusnya mereka (korban) menjadi perhatian utama," kata Paus Fransiskus di audiens umum mingguannya.
Baca juga: Paus Fransiskus Ungkapkan Kesedihan Mendalam atas Kasus Pelecehan Seksual di Gereja Prancis
Baca juga: Tragis, 200 Ribu Lebih Korban Pelecehan Seksual Anak Ditemukan di Gereja Katolik Prancis Sejak 1950
Setelah terungkapnya kasus pelecehan seksual di gereja, paus meminta umat Katolik di Prancis untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi.
Dia ingin gereja menjadi tempat yang aman bagi semua orang.
"Ini adalah hal yang memalukan," katanya.
Dia juga meminta para uskup melakukan segala upaya untuk memastikan tragedi serupa tidak terjadi lagi.
Jean-Marc Sauve, kepala komisi yang menyusun laporan tersebut, mengatakan, puncak pelecehan terjadi pada tahun 1950 hingga 1970.
Kemudian, kasus serupa kembali muncul di awal 1990-an.
Pelecehan Seksual di Gereja Prancis
Menurut investigasi, sekitar 216.000 anak menjadi korban pelecehan oleh pendeta di gereja Katolik Prancis.
Dikutip dari Al Jazeera, pendeta tersebut telah melakukan kejahatan seksual terhadap anak sejak tahun 1950.
Kabar tindak kejahatan seksual ini telah mengguncang Gereja Katolik Roma.
Selama 20 tahun terakhir juga telah terjadi beberapa skandal pelecehan seksual di seluruh dunia terhadap anak-anak.
Jean-Marc Sauve, kepala komisi yang menyusun laporan penyelidikan tersebut, mengatakan pelecehan di Prancis adalah "sistemik".
Pelecahan telah dilakukan oleh sekitar 3.000 pendeta dan orang lain yang di gereja.
Sekitar 80 persen korbannya adalah anak laki-laki.
Suave menambahkan, gereja telah menunjukkan ketidakpedulian selama bertahun-tahun terhadap kasus pelecehan seksual yang terjadi.
Mereka melindungi dirinya sendiri daripada para korban.
Gereja tidak hanya gagal mengambil tindakan pencegahan, tetapi juga menutup mata terhadap pelecehan.
Bahkan, secara sadar, mereka terkadang membuat anak-anak lebih mudah berhubungan dengan pelaku.
“Konsekuensinya sangat serius,” kata Sauve.
“Sekitar 60 persen pria dan wanita yang mengalami pelecehan seksual menghadapi masalah besar dalam kehidupan sentimental atau seksual mereka,” lanjutnya.
Para korban menyuarakan ketidaksukaannya atas terungkapnya kasus tersebut.
Francois Devaux, yang mendirikan asosiasi korban La Parole Liberee, mengatakan bahwa pelaku adalah aib dan mereka telah berkhianat.
“Anda adalah aib bagi kemanusiaan kami,” katanya.
“Di neraka ini, ada kejahatan massal yang keji, tetapi ada yang lebih buruk lagi, pengkhianatan kepercayaan, pengkhianatan moral, pengkhianatan terhadap anak-anak,” kata Devaux.
Christopher Lamb, koresponden Vatikan untuk The Tablet, mengatakan bahwa dampak langsungnya adalah akan membuat gereja dipermalukan dan para korban mengalami "sakit yang luar biasa".
Dokumen setebal 2.500 halaman yang disiapkan oleh komisi independen itu muncul saat Gereja Katolik di Prancis.
Gereja di Prancis memiliki rahasia memalukan yang telah lama ditutup-tutupi.
Uskup Agung Reims dan Kepala Konferensi Waligereja Prancis, Eric de Moulins-Beaufort, meminta pengampunan dan berjanji untuk bertindak.
Baca juga: 35 Tahun Buron, Pelaku Pembunuhan Berantai dan Rudapaksa di Prancis Ternyata Pensiunan Polisi
Baca juga: Walau Menjanjikan Prancis Hentikan Pengembangan Vaksin mRNA Covid-19, Kembangkan Vaksin Lain
Komisi tersebut didirikan oleh para uskup Katolik di Prancis pada akhir 2018 untuk menjelaskan pelecehan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap gereja pada saat jumlah jemaat berkurang.
Mereka bekerja secara independen dari gereja selama dua setengah tahun masa hidupnya, mendengarkan para korban dan saksi dan mempelajari arsip gereja, pengadilan, polisi dan pers mulai dari tahun 1950-an.
Sauve mengatakan, komisi itu sendiri telah mengidentifikasi sekitar 2.700 korban melalui panggilan untuk kesaksian, dan ribuan lainnya telah ditemukan di arsip.
Namun, sebuah studi memperkirakan bahwa ada sekitar 216.000 korban, jumlah yang bisa meningkat menjadi 330.000 jika termasuk pelecehan oleh anggota awam.
Sauve mengatakan, 22 dugaan kejahatan yang masih bisa diusut telah diteruskan ke kejaksaan.
Lebih dari 40 kasus yang dianggap terlalu lama untuk dituntut di bawah hukum Prancis, tetapi pelaku diduga masih hidup, telah diteruskan ke pejabat gereja.
(Tribunnews.com/Yurika)