Panglima Militer Sudan: Pemerintah Digulingkan untuk Cegah Perang Saudara
Panglima militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan militer merebut kekuasaan untuk mencegah perang saudara.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Panglima militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan militer merebut kekuasaan untuk mencegah perang saudara, Selasa (26/10/2021).
Pada Senin (25/10/2021), para pengunjuk rasa turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang pengambilalihan pemerintahan.
Mengutip Al Jazeera, Al-Burhan mengatakan dia telah membubarkan pemerintah untuk menghindari perang saudara.
Dia juga mengatakan tentara tidak punya pilihan selain mengesampingkan politisi yang menghasut untuk melawan angkatan bersenjata.
Baca juga: Aksi Protes Guncang Sudan Setelah Militer Rebut Kendali Lewat Kudeta
Baca juga: Kudeta di Sudan: Sedikitnya 7 Demonstran Tewas, 140 Lainnya Terluka
Pengambilalihan militer tersebut menghentikan transisi Sudan ke demokrasi, dua tahun setelah pemberontakan rakyat menggulingkan pemimpin lama Omar al-Bashir.
"Bahaya yang kita saksikan minggu lalu bisa membawa negara itu ke dalam perang saudara," kata al-Burhan, merujuk pada demonstrasi menentang prospek kudeta.
Sementara itu, Perdana Menteri Abdalla Hamdok, yang ditahan pada hari Senin bersama dengan anggota kabinetnya yang lain, tidak dilukai dan dibawa ke kediaman al-Burhan sendiri.
“Perdana menteri ada di rumahnya. Namun, kami takut dia dalam bahaya sehingga dia ditempatkan bersama saya di rumah saya.”
Sumber militer pada Selasa mengatakan Hamdok dan istrinya telah diizinkan kembali ke rumah mereka di Khartoum.
“Tidak jelas berapa banyak kebebasan yang dia miliki dan apakah dia akan diizinkan untuk berbicara kepada media atau melakukan kontak dengan siapa pun dalam beberapa hari mendatang,” kata Hiba Morgan dari Al Jazeera, melaporkan dari Khartoum.
Al-Burhan telah muncul di TV pada hari Senin untuk mengumumkan pembubaran Dewan Berdaulat, sebuah badan yang dibentuk setelah penggulingan al-Bashir untuk berbagi kekuasaan antara militer dan warga sipil dan memimpin Sudan menuju pemilihan umum yang bebas.
Akun Facebook kantor perdana menteri, tampaknya masih di bawah kendali loyalis Hamdok, menyerukan pembebasannya dan para pemimpin sipil lainnya.
Hamdok tetap menjadi otoritas eksekutif yang diakui oleh rakyat Sudan dan dunia.
Dikatakan tidak ada alternatif selain protes, pemogokan, dan pembangkangan sipil.
Duta besar Sudan untuk 12 negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, China, dan Prancis, telah menolak pengambilalihan militer tersebut, kata sumber diplomatik.
Duta besar untuk Belgia dan Uni Eropa, Jenewa dan badan-badan PBB, China, Afrika Selatan, Qatar, Kuwait, Turki, Swedia, serta Kanada juga menandatangani pernyataan tersebut, yang mengatakan para utusan mendukung perlawanan rakyat terhadap kudeta.
Negara-negara Barat mengecam kudeta itu, menyerukan agar menteri-menteri Kabinet yang ditahan dibebaskan.
Mereka juga mengatakan akan menghentikan bantuan jika militer tidak memulihkan pembagian kekuasaan dengan warga sipil.
Aksi Unjuk Rasa
Ribuan orang turun ke jalan setelah militer Sudan merebut kekuasaan.
Sedikitnya tujuh orang tewas dan 140 lainnya terluka saat aksi unjuk rasa sebagai protes atas militer Sudan yang merebut kekuasaan dari pemerintah transisi.
Aksi unjuk rasa juga dipicu penangkapan Perdana Menteri sementara, Abdalla Hamdok, dan pejabat senior lainnya pada Senin (25/10/2021) pagi.
Masih mengutip Al Jazeera, ribuan orang bergabung di jalan-jalan di Khartoum dan Omdurman, dalam unjuk rasa menentang pengambilalihan militer.
Seorang pejabat kesehatan mengatakan sedikitnya tujuh orang tewas akibat tembakan.
Hamdok, seorang ekonom dan mantan pejabat senior PBB yang diangkat sebagai perdana menteri teknokratis pada 2019, dipindahkan ke lokasi yang dirahasiakan setelah ia menolak mengeluarkan pernyataan untuk mendukung kudeta.
Ribuan orang Sudan yang menentang pengambilalihan itu turun ke jalan dan dihujani tembakan di dekat markas militer di Khartoum.
Baca juga: Militer Sudan Kudeta Pemerintahan Transisi
Baca juga: Ancaman Kudeta Militer di Sudan, Perdana Menteri dan Pejabat Ditahan hingga Koneksi Telepon Mati
Di Omdurman, pengunjuk rasa membarikade jalan-jalan dan meneriakkan dukungan untuk pemerintahan sipil.
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala dewan pemerintahan pembagian kekuasaan, menyatakan keadaan darurat di seluruh negeri dan mengatakan diperlukan angkatan bersenjata untuk menjamin keamanan.
Dia berjanji untuk mengadakan pemilihan pada Juli 2023 dan menyerahkannya kepada pemerintah sipil terpilih saat itu.
“Apa yang dialami negara saat ini merupakan ancaman dan bahaya nyata bagi impian para pemuda dan harapan bangsa,” kata Al-Burhan.
Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Norwegia pada Senin malam mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan keprihatinan mendalam tentang situasi tersebut.
Mereka mengecam penangguhan lembaga-lembaga demokrasi dan menyerukan pembebasan mereka yang ditangkap.
"Tindakan militer merupakan pengkhianatan terhadap revolusi, transisi, dan permintaan sah rakyat Sudan untuk perdamaian, keadilan, dan pembangunan ekonomi," kata negara-negara yang disebut Troika.
Pasukan Kebebasan dan Perubahan, koalisi oposisi utama Sudan, menyerukan pembangkangan sipil dan protes di seluruh negeri.
Mereka menuntut agar dewan militer transisi mengembalikan kekuasaan ke pemerintah sipil.
Hala al-Karib, seorang aktivis Sudan untuk hak-hak perempuan di Tanduk Afrika, mengatakan Sudan sedang melalui saat-saat yang sangat suram dalam sejarahnya karena berdiri di "persimpangan jalan".
Dia meminta masyarakat internasional untuk menekan militer agar menghormati Konstitusi dan kesepakatan dengan dewan sipil.
“Militer telah mencemarkan kesepakatannya dengan pemerintah sipil dengan menahan perdana menteri dan beberapa menteri kabinet,” kata al-Karib.
“Orang-orang Sudan tidak tahu apakah mereka aman atau tidak," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Yurika)