Nasib Nagaenthran K. Dharmalingam, Terpidana Mati Kasus Narkoba, akan Ditentukan Selasa Depan
Pengadilan tinggi Singapura akan memutuskan nasib seorang pria Malaysia terpidana mati yang diyakini cacat intelektual; pada Selasa mendatang
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan tinggi Singapura akan memutuskan nasib seorang pria Malaysia terpidana mati yang diyakini cacat intelektual; pada Selasa (30/11/2021) mendatang, ungkap keluarga dan kelompok hak asasi seperti dilansir AP News.
Sidang banding Nagaenthran K. Dharmalingam awalnya dijadwalkan pada 9 November 2021, sehari sebelum jadwal eksekusinya.
Namun Nagaenthran dinyatakan positif Covid-19 dan sidang bandingnya ditunda untuk memungkinkannya pulih sebelum melanjutkan proses banding.
Nagaenthran dihukum karena mencoba menyelundupkan kurang dari 43 gram heroin dari Malaysia ke Singapura.
Saudara perempuan Nagaenthran, Sarmila Dharmalingam, mengatakan ia diberitahu oleh seorang pengacara Malaysia bahwa sidang akan dilanjutkan pada hari Selasa.
Baca juga: Kasus Terpidana Mati Nagaenthran Jadi Perdebatan Terkait Hukuman Mati di Singapura
Baca juga: Utusan Singapura untuk PBB Sebut Nagaenthran K Dharmalingam Tidak Mengalami Disabilitas Intelektual
Jika pengadilan menolak banding, Nagaenthran (33), akan kembali menghadapi risiko eksekusi langsung, yang bisa berlangsung sangat cepat, kata kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Inggris, Reprieve.
Saudara laki-lakinya, Navinkumar Dharmalingam mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan melalui Reprieve bahwa kondisi mental Nagaenthran "sangat memburuk."
"Saya merasa dia tidak menyadari dirinya akan dieksekusi. Dia sepertinya tidak mengerti sama sekali," kata Navinkumar.
"Ketika saya mengunjunginya, dia berbicara tentang pulang ke rumah dan makan makanan rumahan bersama keluarga kami."
"Hati saya hancur karena dia sepertinya mengira dia akan pulang."
"Dia memiliki delusi lain tentang mandi selama tiga jam dan duduk di taman."
"Dia sering tidak dapat mengingat hal-hal yang paling mendasar dan beberapa dari apa yang dia katakan benar-benar tidak jelas."
Ia mengunjungi Nagaenthran beberapa kali di penjara Singapura sebelum sidang banding.
"Naga terancam eksekusi dalam waktu dekat meskipun dia harus dilindungi dari hukuman mati karena cacat intelektualnya, dan sebagai korban perdagangan manusia," kata direktur Reprieve, Maya Foa.
"Perdana Menteri Lee Hsien Loong telah menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas."
"Membiarkan parodi keadilan ini terjadi akan bertentangan dengan janji-janji itu," tambah Foa.
Kasus Nagaenthran K. Dharmalingam, Terpidana Mati Kasus Narkoba yang Miliki IQ 69, Eksekusi Ditunda
Kasus Nagaenthran K. Dharmalingam, terpidana mati kasus narkoba, menarik perhatian dunia.
Warga negara Malaysia keturunan India ini ditangkap pada April 2009 di Singapura karena mencoba menyelundupkan heroin.
Dia berusia 21 tahun saat itu.
Satu tahun kemudian, Nagaenthran divonis hukuman mati.
Nagaenthran Dharmalingam dijadwalkan akan digantung pada hari Rabu (10/11/2021).
Sebelum eksekusi, kasus Nagaenthran menarik perhatian dunia dan membuat marah kelompok aktivis kemanusiaan.
BBC melaporkan, IQ Nagaenthran hanya 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi disabilitas intelektual.
Namun Pengadilan Singapura sebelumnya telah memutuskan bahwa Nagaenthran tahu betul apa yang dia lakukan.
Keputusan pemerintah Singapura untuk mengeksekusi Nagaenthran menimbulkan kecaman oleh organisasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil.
Mereka berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dan standar hak asasi manusia internasional dalam kasus Nagaenthran, mengingat ia memiliki fungsi intelektual dan defisit kognitif yang terbatas.
Kecacatan ini dianggap akan mempersulit Nagaenthran untuk menilai risiko dan juga akan menyulitkannya untuk secara akurat menjelaskan keadaannya.
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob baru-baru ini menulis surat kepada rekannya di Singapura, Lee Hsien Loong menuntut keringanan hukuman dalam kasus Dharmalingam.
Bagaimana kasus Nagaenthran K. Dharmalingam?
Mengutip Indian Express, pada 22 November 2010, Dharmalingam dijatuhi hukuman mati karena mencoba menyelundupkan 42,72 gram heroin ke Singapura.
Dia ditangkap pada April 2009 ketika mencoba menyelundupkan heroin di Woodlands Checkpoint saat memasuki Singapura dari Malaysia.
Heroin itu diikatkan ke pahanya saat itu.
Dharmalingam mengajukan banding di pengadilan banding Singapura pada Juli 2011, namun ditolak.
Pada Februari 2015, Dharmalingam mengajukan permohonan untuk diberikan hukuman penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.
Pada titik ini, salah satu masalah yang dipertimbangkan selama hukuman ulangnya adalah bahwa tanggung jawab mental terdakwa atas tindakannya "dirusak secara substansial" pada saat ia melakukan pelanggaran.
Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa terdakwa tahu apa yang dia lakukan.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan bahwa pada saat itu seorang psikiater yang dipanggil atas namanya setuju bahwa Nagaenthran tidak cacat intelektual.
Pernyataan tersebut mencatat bahwa pada tahun 2015, pengadilan menemukan bahwa terdakwa "mampu merencanakan dan mengatur dengan cara yang lebih sederhana," dan "relatif mahir hidup mandiri".
Selain itu, pengadilan mencatat bahwa tindakannya "mengungkapkan bahwa dia mampu manipulasi dan menghindar”.
Misalnya, ketika ia berhenti di pos pemeriksaan, berusaha untuk mencegah penggeledahan dengan memberi tahu petugas Biro Narkotika Pusat bahwa dia “bekerja di bidang keamanan”, yang menarik persepsi sosial bahwa petugas keamanan dapat dipercaya.
Mengapa Muncul Protes atas Kasus Ini Sekarang?
Masih mengutip Indian Express, pada 26 Oktober, Layanan Penjara Singapura mengirim surat kepada ibu Dharmalingam yang menginformasikan tentang eksekusi anaknya yang ditetapkan pada 10 November.
Surat itu beredar di media sosial.
Sejak itu, organisasi hak asasi manusia mulai meminta pemerintah untuk mengampuni Nagaenthran, mengingat mentalnya yang dianggap cacat.
Kasus ini mendapat kecaman dari Uni Eropa, Amnesty International, Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika, Kampanye Anti-Hukuman Penalti Singapura dan Kolektif Keadilan Transformatif.
"Delegasi Uni Eropa dan misi diplomatik Negara Anggota Uni Eropa dan Norwegia dan Swiss menentang penggunaan hukuman mati, yang tidak pernah dapat dibenarkan, dan mengadvokasi Singapura untuk mengadopsi moratorium pada semua eksekusi sebagai langkah pertama yang positif menuju penghapusannya," kata Delegasi Uni Eropa dalam pernyataannya.
"Hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, peninggalan masa awal penologi, ketika perbudakan, branding, dan hukuman fisik lainnya adalah hal biasa."
"Seperti praktik-praktik biadab itu, eksekusi tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang beradab," ungkap Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika dalam pernyataannya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)