Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ketegangan Rusia-Ukraina Berlanjut, PM Inggris Boris Johnson Peringatkan Vladimir Putin

Perdana Menteri Inggris memperingatkan Vladimir Putin bahwa akan ada "konsekuensi signifikan" jika Rusia menginvasi Ukraina.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
zoom-in Ketegangan Rusia-Ukraina Berlanjut, PM Inggris Boris Johnson Peringatkan Vladimir Putin
Adrian DENNIS / AFP / POOL, MIKHAIL METZEL / SPUTNIK / AFP
Boris Johnson dan Vladimir Putin. Perdana Menteri Inggris memperingatkan Vladimir Putin bahwa akan ada "konsekuensi signifikan" jika Rusia menginvasi Ukraina. 

TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Inggris memperingatkan Vladimir Putin bahwa akan ada "konsekuensi signifikan" jika Rusia menginvasi Ukraina.

Dilansir Sky News, Boris Johnson berbicara dengan Putin melalui telepon pada hari Senin (13/12/2021) untuk menekankan komitmen Inggris ke Ukraina.

Johnson memberi tahu sang presiden bahwa setiap tindakan destabilisasi di kawasan Ukraina oleh Moskow akan menjadi "kesalahan strategis".

Para pemimpin barat saat ini tengah berusaha membujuk Kremlin untuk mundur atas penumpukan pasukan Rusia di Ukraina.

Seorang juru bicara Nomor 10 mengatakan:

"Perdana menteri menegaskan kembali pentingnya bekerja melalui saluran diplomatik untuk mengurangi ketegangan dan mengidentifikasi solusi yang berkepanjangan."

Baca juga: Setelah Kunjungan Menlu AS Blinken, Giliran Utusan Rusia Nikolay Patrushev Temui Presiden Jokowi

Berita Rekomendasi

Baca juga: Presiden Rusia Vladimir Putin Mengaku Pernah Jadi Sopir Taksi setelah Jatuhnya Uni Soviet

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengadakan konferensi pers untuk pembaruan Covid-19 terbaru di ruang pengarahan Downing Street di London pusat pada 8 Desember 2021.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengadakan konferensi pers untuk pembaruan Covid-19 terbaru di ruang pengarahan Downing Street di London pusat pada 8 Desember 2021. (Adrian DENNIS / AFP / POOL)

"Perdana menteri menekankan komitmen Inggris untuk integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina dan memperingatkan bahwa setiap tindakan destabilisasi akan menjadi kesalahan strategis yang akan memiliki konsekuensi signifikan."

Akankah ketegangan mengarah pada perang?

Pada 12 Desember, pertemuan para menteri luar negeri G7 di Liverpool mengeluarkan pernyataan yang mengingatkan Moskow bahwa "setiap penggunaan kekuatan untuk mengubah perbatasan sangat dilarang berdasarkan hukum internasional".

G7 berjanji untuk menerapkan "konsekuensi yang berat" pada Rusia jika Rusia melakukan tindakan terhadap tetangganya.

Pada hari Senin, Uni Eropa mengumumkan bahwa mereka menjatuhkan sanksi pada kontraktor militer Grup Wagner Rusia yang dituduh berusaha mengacaukan Ukraina.

Menurut intelijen AS, Rusia telah mengirim sekitar 70.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina.

Rusia juga dicurigai telah mulai merencanakan kemungkinan invasi paling cepat awal tahun depan.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengikuti KTT online para pemimpin APEC melalui tautan video di Moskow pada 12 November 2021.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengikuti KTT online para pemimpin APEC melalui tautan video di Moskow pada 12 November 2021. (Mikhail Metzel / POOL / AFP)

Moskow membantah pihaknya sedang mempersiapkan invasi dan menuduh pemerintah di Kyiv memicu ketegangan di kawasan itu dengan mengerahkan senjata baru.

Rusia dan Ukraina telah bersitegang sejak 2014.

Saat itu pasukan Rusia mencaplok Semenanjung Krimea dan mendukung pemberontakan separatis di Ukraina timur.

Awal Desember lalu, Presiden AS Joe Biden berbicara dengan Putin untuk memperingatkannya tentang "konsekuensi ekonomi yang belum pernah dilihat" jika Rusia melakukan serangan baru.

Presiden Rusia kemudian mendesak adanya jaminan bahwa NATO tidak akan diperluas untuk memasukkan Ukraina.

Rusia yang diduga mencoba menginvasi Ukraina dianggap sebagai langkah Kremlin untuk membangun kembali Uni Soviet.

Putin pun pernah mengungkapkan kekecewaannya atas runtuhnya Uni Soviet.

Ia mengatakan kejadian itu masih menjadi "tragedi" bagi "sebagian besar warga negara."

Berakhirnya Uni Soviet membawa serta periode ketidakstabilan ekonomi yang parah yang menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan, ketika Rusia yang baru merdeka berevolusi dari komunisme ke kapitalisme.

Sang presiden pun sempat menjadi sopir taksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, ungkap kantor berita milik negara RIA Novosti pada hari Minggu (12/12/2021).

Presiden Rusia Vladimir Putin
Presiden Rusia Vladimir Putin (DW.com)

Dilansir DW, dalam sebuah film dokumenter, RIA-Novosti mengutip kata-kata pemimpin Rusia tersebut yang menyebut, "Kadang-kadang saya harus mendapatkan uang tambahan."

"Maksud saya, mendapatkan uang tambahan dengan mobil, sebagai sopir pribadi."

"Tidak menyenangkan untuk berbicara jujur, tetapi sayangnya, itulah masalahnya."

Putin menyebut runtuhnya Uni Soviet berarti akhir dari "Rusia historis."

Dilansir Britannica, Uni Republik Sosialis Soviet (U.S.S.R.), atau Uni Soviet, adalah negara pertama yang membentuk pemerintahan berdasarkan sistem yang dikenal sebagai Komunisme.

Uni Soviet hanya ada dari tahun 1922 hingga 1991.

Namun, untuk sebagian besar waktu itu, Uni Soviet disebut-sebut sebagai salah satu negara paling kuat di dunia.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas