Pemerintah Indonesia Diminta Terus Suarakan Kejahatan Kemanusiaan di Uighur
Indonesia diminta terus menyuarakan kejahatan kemanusiaan terhadap minoritas dan muslim Uighur di Xinjiang, China.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dan masyarakat Indonesia diminta terus menyuarakan kejahatan kemanusiaan terhadap minoritas dan muslim Uighur di Xinjiang, China.
Pasalnya Human Right Watch yang berbasis di New York, Amerika Serikat kembali mengingatkan kepada negara - negara dunia soal tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengatakan laporan Human Right Watch berisi kejahatan kemanusiaan terhadap kaum minoritas di Uighur seperti penahanan massal dan penghilangan paksa.
"Melansir laporan Human Right Watch, disebutkan pejabat China juga melakukan penyiksaan, pengawasan massal, penganiayaan budaya dan agama, kerja paksa dan pemisahan keluarga muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya," kata peneliti senior CENTRIS, AB Solissa kepada wartawan, Selasa (25/1/2022).
Bukan cuma itu, atas dasar alasan penyebaran Covid-19, arus informasi dan komunikasi dari wilayah tersebut sebagian besar diblokri. Akses informasi dikontrol ketat, dan memblokir akses menuju wilayah tersebut.
Baca juga: Uighur di Turki Serukan Boikot Olimpiade Musim Dingin Beijing
Bahkan kata Solissa, terdapat laporan orang Uighur yang tersiksa dalam tahanan. Mereka adalah 31 peneliti biotek Mihriay Erkin, 45 pengusaha, dan 82 penyair dan penerbit.
"Ada juga laporan tentang orang Uighur yang sekarat dalam tahanan, termasuk peneliti biotek Mihriay Erkin, 31, pengusaha Yaqub Haji, 45, dan penyair dan penerbit Haji Mirzahid Kerimi, 82," ucap dia.
Dalam laporannya, Human Right Watch juga mengupas kebijakan asimilasi paksa berlanjut sepanjang tahun, dengan kelas bahasa Mandarin diwajibkan di sekolah - sekolah di daerah etnis minoritas pada tahun 2021.
Bahkan merujuk laporan yang sama, taman kanak-kanak diperintahkan untuk menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar.
CENTRIS menyebut Pemerintah China menggunakan pandemi Covid-19 untuk menekan kebebasan bergerak dan kebebasan berekspresi di seluruh negeri, di mana semakin sulitnya akses bagi jurnalis, diplomat, dan aktivis independen untuk bergerak ke seluruh negeri di China.
"Jika pemerintah China tidak menyembunyikan apa pun di dataran tinggi Tibet dan Xinjiang, seharusnya mereka membuka kran keluar masuk arus informasi dan komunikasi. Patut dicurigai kejahatan kemanusiaan memang tengah berlangsung di sana," pungkas dia.