Dubes RI: Banyak Pekerja Indonesia di Malaysia Mengalami Perbudakan Modern atau Kerja Paksa
Hermono mengungkapkan ada banyak kasus ART Indonesia yang bekerja selama bertahun-tahun tanpa dibayar.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, MALAYSIA - Kabar mengejutkan datang dari negara tetangga Malaysia.
Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono berbicara mengenai kondisi para pekerja Indonesia di Malaysia.
Hermono mengungkapkan bahwa para pekerja Indonesia yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) mengalami perbudakan modern.
Hal itu diungkapkan oleh Hermono kepada portal berita Free Malaysia Today.
Hermono mengungkapkan banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja dengan posisi yang sama dengan negara lainnya seperti Singapura, Hong Kong dan Taiwan.
Baca juga: PMI Jadi Korban Kerja Paksa Selama 9 Tahun, Sang Majikan di Malaysia Diputus Bebas
Tetapi menurutnya hal itu tak terjadi di sana dan hanya terjadi di Malaysia.
Hermono mengungkapkan ada banyak kasus ART Indonesia yang bekerja selama bertahun-tahun tanpa dibayar.
Dokumen identitas mereka juga diambil oleh para majikannya.
Ia juga mengungkapkan ada banyak tenaga kerja Indonesia yang disuruh bekerja tanpa diberikan istirahat.
Selain itu juga banyak yang mengalami kekerasan fisik.
Hermono pun merujuk pada kasus seorang majikan yang tak membayarkan gaji ke ART-nya yang berasal dari Indonesia selama 10 tahun.
Alasannya adalah karena ia mengizinkan ART itu tinggal di rumah mereka, dan ia yang membayarkan makanan sang ART.
“Itu adalah contoh dari perbudakan modern atau kerja paksa,” tutur Hermono.
“Kita memiliki pekerja domestik di Singapura, Hong Kong dan Taiwan, tetapi kami tak mengalami masalah serius seperti di sini (Malaysia). Kenapa kami memiliki masalah seperti itu di sini,” lanjutnya.
Hermono mengatakan pada tahun lalu Kedutaan Besar Indonesia telah membantu 206 kasus, yang mengaharuskan majikan membayar lebih dari 2 juta ringgit atau setara Rp6,8 miliar, dan ada 40 kasus yang saat ini ada di pengadilan.
Kedutaan Besar Indonesia pada tahun ini juga mendampingi 16 ART dan membantu mendapatkan 300.000 ringgit (Rp1 miliar) upah yang belum dibayar kepada mereka.
Hermono menegaskan bahwa ART memiliki kemungkinan besar untuk mendapat kekerasan dibandingkan pekerjaan migran lainnya.
Menurutnya para ART harus bekerja sendiri dan tinggal di rumah majikannya.
Selain itu para ART Indonesia juga banyak yang tak bisa melarikan diri dari para majikannya dan mendapat tantangan saat ingin memberikan informasi ke Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal.
“Mereka diperingatkan jika melarikan diri, polisi akan menangkap mereka dan imigrasi akan mendeportasi mereka. Ancaman ini jelas meruapakan elemen dari kerja paksa,” tuturnya.
Indonesia sendiri saat ini sedang dalam pembicaraan untuk kesepakatan tenaga kerja baru.
Hermono pun berharap kesepakatan yang baru akan lebih melindungi orang Indonesia yang dipekerjakan sebagai ART dalam sistem satu saluran, sehingga akan memungkinkan pemerintah negaranya untuk mengawasi mereka selama bekerja di sini.
Ia juga menyinggung usulan sistem gaji online yang memungkinkan Pemerintah Indonesia bisa melihat apakah pekerja Indonesia bisa menerima gaji yang seharusnya.
“Jika mereka melewatkan bahkan satu bulan (membayar gaji), kami dapat menghubungi majikan melalui agen dan bertanya kenapa mereka belum membayarnya,” ujar Hermono.
Kasus Terbaru
Sebelumnya dilaporkan seorang majikan Malaysia divonis bebas dari tuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik yang dilakukan kepada pekerja migran Indonesia (PMI).
KBRI Kuala Lumpur dikejutkan dengan putusan Pengadilan Kota Bahru, Kelantan yang membebaskan seorang majikan Malaysia yang melakukan kerja paksa dan kekerasan fisik kepada PMI berinisial DB.
DB berasal dari Desa Bakuin Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Ia telah mengalami kerja paksa tanpa mendapatkan bayaran gaji selama 9 tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu.
"Selain bekerja di rumah majikan, DB juga dipekerjakan di bengkel mobil milik majikan," ungkap KBRI KL dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/2/2022).
DB melarikan diri dari rumah majikan pada akhir Oktober 2020 karena tidak tahan mengalami kerja paksa lebih dari 15 jam sehari tanpa hari libur dan kekerasan fisik.
Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan, pada 17 Januari 2022 Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
"Keputusan ini tentu sangat mengecewakan dan tidak memberi keadilan kepada korban kerja paksa dan kekerasan fisik selama bertahun-tahun," tegas Dubes Hermono.
KBRI Kuala Lumpur telah meminta Jaksa untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Melalui pengacaranya, majikan DB pernah mengusulkan penyelesaian di luar persidangan dengan membayarkan gaji yang tidak dibayar.
Namun tawaran tersebut ditolak DB dan KBRI Kuala Lumpur karena jauh di bawah tuntutan gaji yang seharusnya dibayarkan majikan.
Sejalan dengan proses pengadilan pidana di tingkat banding, KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara untuk menuntut majikan DB di peradilan perdata.
"Kami tidak hanya menuntut gaji yang tidak dibayar, tetapi juga bunga dan kompensasi. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada majikan," tegas Hermono.
Kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi banyak dialami oleh PMI, tidak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor lain seperti perkebunan dan manufaktur.
Catatan KBRI
Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono menambahkan bahwa Malaysia sedang menjadi sorotan internasional karena dituduh melakukan praktik kerja paksa.
Beberapa perusahaan Malaysia bahkan dikenai sanksi ekspor ke Amerika Serikat akibat tuduhan kerja paksa ini.
Sesuai catatan KBRI Kuala Lumpur, selama 2021 KBRI berhasil mengembalikan hak gaji PMI sejumlah RM2,166,890.63 atau lebih dari Rp 7 miliar milik 206 PMI sektor rumah tangga.
Sementara untuk 2022 gaji 16 PMI yang berhasil diselamatkan mencapai RM 337.270.
Data ini belum termasuk penyelesaian kasus gaji oleh Konsulat Jenderal dan Konsulat Indonesia di Malaysia.
Hermono meyakini sebenarnya masih banyak PMI di Malaysia yang menjadi korban kerja paksa.
Masalahnya tidak semua PMI dapat melaporkan ke Kedutaan dengan berbagai alasan, seperti tidak diizinkan berkomunikasi dan ancaman ditangkap aparat karena tidak memiliki visa kerja yang sah.
"Praktik kerja paksa sudah berlangsung bertahun-tahun," tegas Hermono.
Sumber: Free Malaysia Today/Kompas.TV/Tribunnews.com