Hacker Anonymous Nyatakan Perang kepada Putin, Luncurkan Serangan Cyber
Kelompok hacker internasional, Anonymous menyatakan perang terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin karena invasinya ke Ukraina.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Kelompok hacker internasional, Anonymous, tampaknya menyatakan perang terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin karena invasinya ke Ukraina.
Akun Twitter @YourAnonNews yang memiliki 6,5 juta pengikut, membuat pernyataan bahwa kelompok hacker ini terlibat dalam operasi melawan Federasi Rusia, Kamis (24/2/2022).
"Kami ingin orang-orang Rusia memahami bahwa kami tahu sulit bagi mereka untuk berbicara menentang diktator mereka karena takut akan pembalasan," cuit Anonymous.
"Kami, sebagai kolektif hanya menginginkan perdamaian di dunia. Kami menginginkan masa depan bagi seluruh umat manusia."
"Jadi, sementara orang-orang di seluruh dunia menghancurkan penyedia internet Anda hingga berkeping-keping, pahamilah bahwa itu sepenuhnya diarahkan pada tindakan pemerintah Rusia dan Putin," ujar akun Twitter ini, dikutip dari Fox News.
Baca juga: Rusia Invasi Bandara Komersial, Ukraina Tutup Lalu Lintas Udara
Baca juga: Mengapa Rusia Merebut Chernobyl dari Ukraina? Ternyata Ini Alasannya
Outlet media RT.com yang didanai pemerintah Rusia menjadi target operasi cyber DDoS.
RT.com digambarkan pemerintah Amerika Serikat sebagai elemen penting dalam penyebaran disinformasi dan propaganda Rusia.
Serangan DDoS dilakukan dengan cara membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server, sistem, atau jaringan.
Pada Kamis lalu, situs resmi majelis rendah parlemen Rusia beberapa kali tidak tersedia, diduga karena serangan cyber DDoS.
Sementara itu pada Kamis lalu, pejabat Kementerian Pertahanan Ukraina meminta bantuan para hacker dalam negeri untuk memperkuat keamanan siber mereka.
Yegor Aushev, salah satu pendiri perusahaan keamanan siber di Kyiv mengatakan kepada media, bahwa sukarelawan ofensif akan melakukan spionase digital terhadap pasukan Rusia.
Sementara itu, sukarelawan defensif akan membantu melindungi infrastruktur negara.
Beberapa situs resmi pemerintah Ukraina dilaporkan terkena serangan DDoS pada Kamis ketika pasukan Rusia bergerak mendekati Kyiv.
Pemerintah AS bersiap menghadapi potensi serangan siber terhadap lembaga keuangan negara, kata seorang pejabat keamanan dalam negeri kepada FOX Business.
Presiden Ukraina akan Bertahan di Kyiv
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berjanji akan tinggal di Ibu Kota Kyiv saat pasukannya memerangi militer Rusia, Jumat (25/2/2022).
Invasi Rusia kepada Ukraina merupakan serangan terbesar di Eropa sejak Perang Dunia Kedua (WW2).
Dilaporkan Reuters, Rusia meluncurkan serangan melalui darat, udara, dan laut mulai Kamis (24/2/2022) menyusul deklarasi perang oleh Presiden Vladimir Putin.
Diperkirakan 100.000 orang melarikan diri saat ledakan dan tembakan mengguncang kota-kota besar di Ukraina.
Puluhan hingga ratusan orang dilaporkan tewas.
Pejabat AS dan Ukraina mengatakan, Rusia bertujuan untuk merebut Kyiv dan menggulingkan pemerintah yang dianggap Putin sebagai boneka Amerika Serikat.
Pasukan Rusia bahkan telah berhasil merebut bekas pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl di utara Kyiv.
"(Musuh) telah menandai saya sebagai target nomor satu," Zelensky memperingatkan dalam pesan video saat pertempuran sengit dilaporkan terjadi di berbagai lini.
"Keluarga saya adalah target nomor dua. Mereka ingin menghancurkan Ukraina secara politik dengan menghancurkan kepala negara," ujarnya.
"Saya akan tinggal di ibu kota. Keluarga saya juga di Ukraina," tegas Zelensky.
Baca juga: Invasi Rusia ke Ukraina Semakin Membebani Pasokan Chip AS Untuk Industri Otomotif dan Teknologi
Baca juga: Eks Dubes Cerita Hubungan RI dengan Rusia–Ukraina dan Kisah Soekarno Cari Makam Imam Bukhari
Putin mengatakan, negaranya melakukan operasi militer khusus untuk menghentikan pemerintah Ukraina melakukan genosida pada rakyatnya sendiri.
Langkah Ukraina, negara yang memilih merdeka dari Uni Soviet, untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa membuat marah Moskow.
Dengan adanya invasi ini, AS, Inggris, Jepang, Kanada, Australia, dan Uni Eropa terus menghujani Moskow dengan sejumlah sanksi.
Jerman bahkan membekukan proyek pipa gas Nord Stream 2 Rusia senilai 11 miliar dolar AS.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)