Vladimir Putin Sudah 22 Tahun Jadi Presiden Rusia, Minta Jabatannya Diperpanjang 14 Tahun Lagi
Putin sebelumnya menggantikan Boris Yeltsin sebagai presiden sementara dari akhir 1999 hingga menjelang pemilu 2.000.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maret 2022 tahun ini, Vladimir Putin telah menjabat Presiden Rusia selama 22 tahun.
Putin sebelumnya menggantikan Boris Yeltsin sebagai presiden sementara dari akhir 1999 hingga menjelang pemilu 2.000.
Sesuai konstitusi Rusia, masa jabatan Putin akan berakhir pada 2024 nanti.
Namun pada 2021 lalu, Putin ternyata telah menandatangani undang-undang yang dapat membuatnya tetap menjabat sebagai Presiden Rusia hingga 2036.
Artinya Putin masih akan menjabat presiden Rusia 14 tahun ke depan.
Jadi Sorotan Dunia
Presiden Vladimir Putin jadi sorotan dunia setelah memerintahkan invasi militer besar-besaran ke Ukraina.
Hari pertama serangan militer itu memakan korban sipil dan militer.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan 137 warga Ukraina tewas setelah negaranya diserang besar-besaran dari pasukan Rusia pada Kamis (24/2/2022).
Jumlah korban diprediksi terus akan bertambah seiring kian agresifnya pasukan militer Rusia memasuki seluruh kota di Ukraina. Belum lagi gelombang pengungsi yang meninggalkan Ukraina serta infrastruktur negara itu yang porak-poranda.
Baca juga: BERITA FOTO: Takut Serangan Bom Rusia, Warga Ukraina Tidur di Stasiun Metro Bawah Tanah
Lahir dari keluarga miskin
Menarik untuk membaca kisa hidup Vladimir Putin.
Vladimir Vladimirovich Putin nama lengkapnya lahir dari keluarga pekerja di Leningrah (St Petersburg) pada 7 Oktober 1952.
Ayahnya adalah seorang veteran Perang Dunia II dengan banyak tanda jasa.
Setelah pensiun ayahnya jadi buruh dan bekerja di sebuah pabrik.
Karena keuangan keluarga yang sangat tidak memadai akhirnya ibunya pun ikut mencari nafkah jadi buruh harian.
Kedua orangtuanya yakni Vladimir Spiridonovich dan Maria Ivanovna Putina, amat mendukung cita-cita putranya.
Di masa kecilnya, Putin tumbuh besar di apartemen komunal bergaya Uni Soviet bersama dua keluarga lainnya.
Hal semacam itu amat biasa di masa komunis berkuasa.
Awal karier politik
Selamat dari kekacauan di masa transisi Uni Soviet, pada 1991 Putin mengundurkan diri dari KGB dan pulang ke kampung halamannya Leningran yang sekarang dikenal dengan nama St Petersburg.
Di sana, Putin bekerja untuk wali kota pertama yang dipilih secara demokratis, yang juga dosennya semasa kuliah, Anatoly Sobchak.
Di masa membantu Sobchak, Putin lebih banyak berada di belakang layar. Namun, Putin disebut sebagai orang yang bisa menyelesaikan masalah dan sosok yang amat diandalkan Sobchak.
Putin tak sekadar membantu tetapi juga banyak belajar politik praktis dari Sobchak, yang memiliki kecenderungan sebagai pemimpin otoriter.
Putin dikenal amat setia kepada Sobchak yang gagal menjabat kedua kalinya dalam pemilihan wali kota pada 1996 setelah kalah dari Vladimir Yakovlev.
Yakovlev, di masa Sobchak memimpin adalah wakil wali kota bersama Putin. Saat menang, Yakovlev menawarkan jabatan kepada Putin. Namun, tawaran itu ditolak sang mantan agen KGB.
"Saya memilih untuk digantung karena setia, ketimbang mendapat jabatan karena berkhianat," ujar Putin kala itu.
Pada 1996, Putin dan keluarganya pindah ke Moskwa. Di sana kariernya semakin cemerlang dan menjadi kepala FSB, dinas rahasia pengganti KGB pada 1998.
Putin menjadi kepala FSB setelah ditunjuk Boris Yeltsin yang saat itu menjadi presiden Rusia. Yeltsin amat terkesan dengan kisah loyalitas Putin.
"Direktur FSB adalah jabatan yang hanya diberikan presiden kepada orang-orang yang paling dia percayai," demikian ditulis mingguan Newsweek.
Menjadi perdana menteri dan presiden
Pada Agustus 1999, Yeltsin menunjuk Putin sebagai perdana menteri Rusia, yang merupakan jabatan tertinggi kedua di Negeri Beruang Merah.
Lalu, tiba-tiba Yeltsin mengundurkan diri dan menunjut Putin sebagai penjabat presiden tepat di malam tahun baru 1999. Posisi itu kemudian memudahkan Putin memenangkan pemilihan presiden pada Maret 2000.
Banyak kalangan yakin Yeltsin mengangkat Putin untuk melindungi dirinya setelah popularitasnya menurun akibat perang melawan Chechnya yang ingin merdeka.
Dan benar saja, langkah pertama yang diambil Putin saat menjabat menjadi presdien adalah memaafkan Boris Yeltsin.
Tak hanya itu, Putin memberi Yeltsin imunitas dari semua jenis investigasi kriminal dan administratif termasuk melindungi semua dokumen, properti, dan hal milik Yeltsin dari pemeriksaan dan penyitaan.
Di masa jabatan pertamanya Putin fokus pada masalah dalam negeri. Ada dua hal yang menjadi prioritasnya yaitu perang di Chechnya dan menekan oligarki yang tumbuh subur di masa Yeltsin.
Putin memang menduduki kekuasaan di masa yang rumit. Rusia tengah berperang melawan Chechnya yang secara resmi merupakan negeri bawahan Rusia.
Selain itu, para pengusaha kaya di masa Yeltsin menunjukkan keinginan kuat untuk memperbesar pengaruh politik mereka.
Putin menyadari, jika dibiarkan para pengusaha kaya ini akan menjadi lebih berkuasa ketimbang seorang presiden maka dia memaksakan sebuah kesepakatan dengan mereka.
"Pada Juli 2000, Putin mengatakan kepada para pengusaha itu bahwa dia tak akan mencampuri bisnis mereka atau menasionalisasi sumber daya negara selama mereka berada di luar politik dan selama tidak menentang presiden," demikian menurut Dewan Hubungan Luar Negeri Rusia.
Bisa menyelesaikan urusan dengan para pengusaha haus kekuasaan, fokus Putin berakhir ke Perang Chechnya II yang semakin mengukuhnya dirinya sebagai "sosok yang tak gentar beraksi".
Pada 2002, sebuah teater di Moskwa diduduki 40 militan Chechnya yang dipimpin Movsar Barayev. Tak ambil pusing, Putin memerintahkan pasukan khusus menyerang.
Alhasil, dalam krisis selama tiga hari itu sebanyak 129 dari 912 sandera tewas. Selain menewaskan ratusan sandera, pasukan khusus Rusia juga menewaskan Barayev tepat di hari ulang tahunnya yang ke-23.
Ini adalah masa krisis bagi Putin dan banyak yang menduga krisis sandera ini akan menghancurkan popularitas Putin.
Namun, ternyata ketegasannya dalam menghadapi penyandera meski memakan banyak korban justur melambungkan popularitasnya. Bahkan saat itu, tingkat penerimaan Putin oleh rakyat Rusia mencapai 83 persen.
Pada 2004, Putin terpilih kembali untuk masa jabatan keduanya dan masih fokus untuk mengurusi masalah dalam negeri.
Meski sukses merebut hati rakyat, Putin menuai kritik karena upayanya memberangus kebebasan pers.
Anna Politskovskaya, seorang jurnalis, ditemukan dibunuh di lobi apartemennya pada 2006 tak lama setelah dia menulis dugaan korupsi di tubuh AD Rusia dan di saat yang sama Anna menyampaikan dukungan untuk Chechnya.
Anna tewas tepat di hari ulang tahun Putin, tetapi sang presiden membantah keterkaitannya dalam kematian jurnalis itu.
Putin bahkan berkata, kematian Anna justru menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang tulisannya di surat kabar.
Meski demikian, negara-negara Barat tetap mengkritik Putin yang dianggap gagal melindungi kebebasan pers di Rusia.
Beberapa pekan setelah kematian Anna Politkovskaya, seorang pembelot FSB ditemukan tewas diracun di London.
Hebatnya, semua dengan semua skandal yang membuatnya dihujani kritik di luar negeri tak menggoyahkan kepercayaan rakyat Rusia kepadanya.
Selama dua masa jabatannya, GDP Rusia meningkat 70 persen dan investasi bertumbuh 125 persen. Saat itu Putin juga diuntungkan dengan tingginya harga minyak bumi yang merupakan salah satu andalan Rusia.
Kembali ke kursi presiden
Pada 2012, Putin kembali memenangkan pemilihan presiden untuk masa jabatan selama enam tahun.
Pemilihan kali ini diwarnai kontroversi karena masa jabatan ketiga banyak dipertanyakan karena dianggap tak sesuai dengan konstitusi dan pengamat menuding adanya kecurangan.
Di masa jabatannya kali ini, tepatnya pada 2012, Putin memutuskan untuk menganeksasi Semenanjung Crimea.
Langkah ini kemudian menjadi sebuah keputusan geopolitik yang rumit sekaligus kontroversial.
Sebelum terguling Presiden Ukraina Viktor Yanukovych mengirim surat kepada Putin meminta bantuan militer untuk "menegakkan hukum dan ketertiban di Ukraina".
Presiden Vladimir Putin kerap membunuh pengkhianat secara diam-diam. (The Telegraph)
Menurut harian The New York Times, parlemen Rusia kemudian memberi wewenang penuh kepada Putin untuk menggunakan militer dalam merespon kisruh politik di Ukraina yang menyingkirkan pemerintah pro-Kremlin yang diganti pemerintah pro-Barat.
Pemerintah Ukraina yang baru sudah mengancam akan memerangi Rusia jika negeri itu mengirim kan tentaranya. Namun, Putin bergeming dan pada 2 Maret 2014, Rusia sudah menduduki Crimea.
Langkah ini membuat Barat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, yang dibalas Putin dengan mempererat hubungan dengan China.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/Tribunwiki