Presiden AS Labeli Putin Sebagai Penjahat Perang tapi Siapa Sebenarnya yang Berhak Memutuskan Itu?
Julukan 'penjahat perang' baru-baru ini dilontarkan Presiden AS Joe Biden kepada Presiden Rusia Vladimir Putin atas invasinya ke Ukraina.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Julukan 'penjahat perang' baru-baru ini dilontarkan Presiden AS Joe Biden kepada Presiden Rusia Vladimir Putin atas invasinya ke Ukraina.
Dalam serangkaian penyerangan, pasukan Rusia membombardir rumah sakit dan bangsal bersalin di sebuah kota di Ukraina.
Lantas, apa arti penjahat perang dan siapa yang berhak memutuskan?
Dilansir AP News, menyatakan seseorang sebagai penjahat perang dan menghukumnya membutuhkan definisi dan proses tertentu.
Gedung Putih sebenarnya menghindari penunjukan label itu kepada Putin.
Baca juga: Profil Singkat 4 Jenderal Rusia yang Tewas dalam Invasi ke Ukraina, Hanya 1 yang Dikonfirmasi Putin
Baca juga: Rusia Disebut Serang Gedung Teater Berisi Seribu Pengungsi, Moskow Bantah dan Tuding Batalyon Azov
Namun, setelah Biden melontarkan label tersebut, jubir Gedung Putih, Jen Psaki, menyatakan bahwa presiden bicara dari hatinya dan mengakui bahwa ada proses yang harus dijalani untuk membuktikan tuduhan itu.
Dalam sehari-hari, frasa 'penjahat perang' adalah istilah umum untuk seseorang yang mengerikan.
Penyelidikan atas tindakan Putin pun sudah dimulai.
AS dan 44 negara lainnya bekerja sama untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran, setelah disahkannya resolusi Dewan HAM PBB untuk membentuk komisi penyelidikan.
Ada penyelidikan lain oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC), sebuah badan independen yang berbasis di Den Haag, Belanda.
Di hari invasi, Global Accountability Network yang bekerja sama dengan PBB, membentuk satuan tugas untuk mengumpulkan informasi kriminal terkait kejahatan perang.
David Crane, kepala Global Accountability Network, juga sedang menyusun contoh dakwaan terhadap Putin.
Dia memperkirakan dakwaan terhadap Putin bisa terjadi dalam setahun, meski tak ada batasan waktunya.
Siapakah penjahat perang?
Istilah penjahat perang berlaku untuk siapa saja yang melanggar seperangkat aturan yang diadopsi oleh para pemimpin dunia yang dikenal sebagai hukum konflik bersenjata.
Hukum itu itu berisi aturan negara berperilaku di saat perang.
Aturan-aturan ini telah dimodifikasi dan diperluas selama satu abad terakhir, diambil dari Konvensi Jenewa setelah Perang Dunia II dan protokol ditambahkan.
Aturan tersebut ditujukan untuk melindungi orang-orang yang tidak ikut serta dalam pertempuran dan mereka yang tidak dapat lagi berperang, termasuk warga sipil seperti dokter dan perawat, tentara yang terluka, dan tawanan perang.
Perjanjian dan protokol mengatur siapa yang bisa menjadi sasaran dan dengan senjata apa.
Senjata tertentu dilarang, termasuk bahan kimia atau biologi.
Kejahatan apa yang membuat seseorang dinyatakan penjahat perang?
Kejahatan itu masuk dalam pelanggaran berat, diantaranya berupa pembunuhan yang disengaja, perusakan secara luas, dan perampasan properti.
Kejahatan perang lainnya, termasuk sengaja menargetkan warga sipil, menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, menggunakan perisai manusia, dan menyandera.
ICC juga menuntut kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan dalam konteks "serangan meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil mana pun."
Ini termasuk pembunuhan, pemusnahan, pemindahan paksa, penyiksaan, pemerkosaan, dan perbudakan seksual.
Cara yang paling mungkin bagi Putin untuk ditetapkan menjadi penjahat perang adalah, melalui doktrin hukum tanggung jawab komando yang diakui secara luas.
Jika komandan memerintahkan atau bahkan mengetahui atau berada dalam posisi untuk mengetahui tentang kejahatan, namun tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya, mereka dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Bagaimana menyelidikinya?
Secara umum, ada empat jalur untuk menyelidiki dan menentukan kejahatan perang, meskipun masing-masing memiliki batasan.
Salah satunya melalui Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Pilihan kedua adalah, jika PBB mengalihkan pekerjaannya pada komisi penyelidikan ke Peradilan Hybrid Court atau dikenal sebagai Mixed Court untuk menuntut Putin.
Yang ketiga adalah, membentuk tribunal atau pengadilan untuk mengadili Putin oleh sekelompok negara yang berkepentingan, seperti NATO, Uni Eropa, dan AS.
Pengadilan militer di Nuremberg setelah Perang Dunia II melawan para pemimpin Nazi adalah contohnya.
Terakhir, beberapa negara memiliki undang-undang sendiri untuk menuntut kejahatan perang.
Jerman, misalnya, sudah menyelidiki Putin.
AS tidak memiliki undang-undang seperti itu, tetapi Departemen Kehakiman memiliki bagian khusus yang berfokus pada tindakan termasuk genosida internasional, penyiksaan, perekrutan tentara anak dan mutilasi alat kelamin perempuan.
Di mana Putin mungkin diadili?
Rusia tidak mengakui yurisdiksi ICC dan tidak akan mengirim tersangka ke markas pengadilan di Den Haag, Belanda.
AS juga tidak mengakui otoritas pengadilan.
Putin dapat diadili di negara yang dipilih oleh PBB atau oleh konsorsium negara-negara yang bersangkutan, meskipun membawanya ke sana akan sulit.
Deretan Pemimpin yang Diadili atas Kejahatan Perang
Dari pengadilan pasca-Perang Dunia II di Nuremberg dan Tokyo hingga pengadilan ad hoc yang lebih baru, sejumlah pemimpin senior telah diadili atas tindakan mereka di negara-negara termasuk Bosnia, Kamboja, dan Rwanda.
Mantan pemimpin Yugoslavia Slobodan Milosevic diadili oleh pengadilan PBB di Den Haag, karena mengobarkan konflik berdarah ketika Yugoslavia runtuh pada awal 1990-an.
Baca juga: UPDATE Invasi Rusia ke Ukraina Hari ke-22, Berikut Peristiwa yang Terjadi
Baca juga: Ukraina dan Rusia Akan Susun Rencana Netralitas 15 Poin untuk Akhiri Perang, Kyiv Dilarang Ikut NATO
Dia meninggal di selnya sebelum pengadilan mencapai vonis.
Sekutunya di Serbia-Bosnia, Radovan Karadzic dan pemimpin militer Serbia-Bosnia, Jenderal Ratko Mladic, berhasil diadili dan keduanya kini menjalani hukuman seumur hidup.
Taylor Liberia dijatuhi hukuman 50 tahun karena mensponsori kekejaman di negara tetangga Sierra Leone.
Mantan diktator Chad, Hissene Habre, yang meninggal tahun lalu, adalah mantan kepala negara pertama yang dihukum karena kejahatan terhadap kemanusiaan oleh pengadilan Afrika.
Dia dijatuhi hukuman seumur hidup.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)