Pilu Pengungsi Latino Lihat Warga Ukraina dengan Mudahnya Masuk AS: Mengapa Bukan Kami?
Pengungsi dari Amerika Latin mempertanyakan kebijakan AS yang memudahkan warga Ukraina masuk perbatasan, berbeda dengan mereka.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Pengungsi dari Amerika Latin mempertanyakan kebijakan AS yang memudahkan warga Ukraina masuk perbatasan, berbeda dengan mereka.
Ribuan pengungsi Latino tiba di Kota Tijuana, Meksiko setiap tahunnya dan memimpikan bisa melintasi perbatasan untuk menuju Amerika Serikat.
Dilansir CNA, mereka harus menunggu selama berbulan-bulan untuk mendapatkan kesempatan itu.
Ini tidak sama dengan para pengungsi Ukraina, yang kabur dari negaranya karena invasi Rusia.
Baru-baru ini, para warga Ukraina itu mulai melintasi perbatasan yang sama namun dengan penantian yang relatif singkat.
Baca juga: Ukraina Sebut Rusia Pakai Serangan Kimia di Mariupol, 3 Orang Keracunan
Baca juga: Putin Bertemu Pemimpin Eropa untuk Pertama Kalinya, Begini Reaksinya saat Ditanya soal Zelensky
"Mengapa kami, tetangga Amerika Serikat, tidak diberi kesempatan yang sama untuk mencari suaka? Kami datang ke sini melarikan diri dari hal yang hampir sama," kata L, pria Meksiko berusia 44 tahun.
Sejak perang pecah, AS memberikan izin khusus bagi warga Ukraina untuk memasuki negaranya.
Sebelumnya pada bulan lalu, Washington mengatakan akan menerima hingga 100.000 pengungsi.
Alhasil, ribuan penduduk Ukraina terbang ke Tijuana untuk melintasi perbatasan darat ke Amerika Serikat, yang mana lebih mudah daripada harus mendapatkan visa untuk terbang langsung.
Relawan di Tijuana dan San Ysidro mengatakan, rata-rata pendatang baru Ukraina hanya menunggu dua atau tiga hari sebelum menyeberang ke pintu masuk khusus untuk mereka.
"Saya pikir kita semua pantas mendapatkan kesempatan," kata istri L, sambil berlinang air mata.
Pasutri ini melarikan diri dari kampung halaman mereka di Meksiko tengah di Irapuato bersama ketiga anaknya, hanya membawa pakaian ganti.
Itu terjadi lantaran anggota kartel membakar rumah dan toko roti tempat mereka mencari nafkah.
Seorang wanita lain yang menolak menyebutkan namanya demi keamanan, turut menyesalkan hal ini.
"Kami datang ke sini bukan karena pilihan tetapi karena kebutuhan - kami telah mengalami banyak kekerasan," katanya.
"Kami ingin memberi mereka kehidupan yang lebih baik," tambahnya, sambil menunjuk anak-anaknya yang tinggal di salah satu tenda di shelter Movimiento Juventud 2000.
"Kenapa mereka tidak memberi kita kesempatan?" dia bertanya.
Situasi Perang di Ukraina
Konflik Rusia-Ukraina masih berlanjut hingga kini memasuki hari ke-48.
Terbaru, Kanselir Austria bertemu langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Senin (11/4/2022).
Ini merupakan pertemuan pertama Putin dengan pemimpin Eropa sejak invasi pada akhir Februari lalu.
Berikut perkembangan terakhir invasi Rusia, dilansir Guardian:
- Presiden Volodymyr Zelensky dalam pidatonya pada Senin, mengaku khawatir bahwa pasukan Rusia akan menggunakan senjata kimia di Ukraina.
- Pihak berwenang Ukraina mengklaim Rusia menjatuhkan pesawat tak berawak yang membawa zat beracun di kota tenggara Mariupol.
- Lebih dari 10.000 warga sipil tewas di Mariupol, kata wali kota Vadym Boychenko. Menurutnya, jumlah kematian bisa melampaui 20.000 karena serangan yang terjadi selama berminggu-minggu.
- Zelensky menyalahkan negara Barat atas banyaknya kematian di Ukraina karena tidak mengirim senjata untuk mendukung perang.
- Hampir dua pertiga dari semua anak Ukraina telah meninggalkan rumah mereka dalam enam minggu sejak invasi Rusia, menurut PBB.
Baca juga: Inggris Selidiki Dugaan Penggunaan Senjata Kimia Rusia di Mariupol Ukraina
Baca juga: Zelenskyy: Saya Tidak Mengerti Kenapa Orang Rusia Benci Ukraina
- PBB semakin banyak mendengar laporan pemerkosaan dan kekerasan seksual di Ukraina serta menyerukan penyelidikan.
- Aktivis oposisi terkemuka Rusia, Vladimir Kara-Murza Jr telah ditahan di Moskow dengan tuduhan tidak mematuhi perintah polisi.
- Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan enam agen Rusia "beroperasi di bawah perlindungan diplomatik" sebagai persona non grata.
- Kanselir Austria, Karl Nehammer, mengadakan pembicaraan langsung dengan Presiden Putin, di Moskow pada Senin.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)