Kesaksian Warga Prancis 8 Tahun Bertempur di Sisi Pejuang Republik Donbass
Aymee berusia 34 tahun dari Provinsi Champagne, Prancis, yang datang untuk memperjuangkan Republik Rakyat Donetsk (DPR).
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, MARIUPOL - François Mauld d'Aymée adalah seorang musisi, seorang tenor klasik lulusan Akademi Militer Saint-Cyr, Paris, yang didirikan 1802 oleh Napoleon Bonaparte.
Ia tidak menyangka nasibnya akan terkait nasib rakyat dan Republik Donbass di Ukraina selama bertahun-tahun.
"Kami pikir kami hanya berlibur selama beberapa minggu, mungkin paling lama sebulan. Sekarang delapan tahun telah berlalu,” kata Aymee seperti dikutip Ekaterina Blinova dari Sputniknews.com, Senin (9/5/2022).
“Kami memahami ini adalah panggilan takdir yang kami jawab jujur dan keras ya,” lanjut François Mauld d'Aymée.
Ia berusia 34 tahun dari Provinsi Champagne, Prancis, yang datang untuk memperjuangkan Republik Rakyat Donetsk (DPR).
Baca juga: Ada Jejak Militer Inggris Latih Tentara Ukraina di Wilayah Donbass
Baca juga: Propaganda Ukraina dan Nasib Warga Sipil di Komplek Pabrik Baja Azovstal
Baca juga: Kesaksian Pekerja Azovstal: Operasi Rusia Satu-satunya Cara Akhiri Neraka Ala Azov
Delapan Tahun Lalu Pergi ke Ukraina
Delapan tahun lalu, ia mengemasi tasnya dan pergi ke Donbass. Ia tiba 2015 bersama warga negara Prancis keturunan Rusia, garis keturunan generasi keempat dari mereka yang datang (ke Prancis) 100 tahun sebelumnya.
Nenek moyang mereka adalah "Rusia Putih", katanya, mengacu pada gerakan Putih monarki Rusia tahun 1918-1920.
"Kami berkumpul, kami saling memahami, dan memahami bahwa kami memiliki Weltanschauung (pandangan dunia) yang sama di hati," katanya.
"Kami memiliki satu cita-cita, satu keyakinan, dan Tuhan melarang kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," imbuhnya.
Dia lalu bergabung jajaran brigade internasional Republik Rakyat Donetsk (DPR) "Pyatnashka", yang dibentuk Juli 2014.
Pada awal perang, rakyat Donbass sangat tertekan oleh serangan pasukan pemerintah Ukraina dan kelompok militant neo-Nazi.
"Hanya yang berani dan gila yang berani turun ke jalan", kenang d'Aymée.
Namun, milisi Donbass berhasil perlawana kepada para penyerang. Alexander Zakharchenko, mantan kepala DPR, adalah satu di antara symbol republik hingga kematian merenggutnya Agustus 2018.
Relawan, yang menyebut dirinya "seorang Prancis dengan jiwa Rusia", memutuskan untuk tinggal di Donetsk, meskipun itu tidak pernah jadi rencananya.
Ia menjadi warga negara DPR dan masuk Ortodoksi. Setelah fase panas perang Kiev di Donbass berubah menjadi "perang parit", d'Aymée mengambil bagian aktif dalam kebangkitan sistem pendidikan dan kehidupan budaya republik.
Dia mengajar bahasa Prancis di National Technical University of Donetsk dan menjadi penyanyi klasik di Donetsk Symphony Orchestra.
"Saya pikir benar-benar ada keinginan jujur menemukan gencatan senjata dan menyelesaikan krisis secara damai", katanya mengutip Perjanjian Minsk yang ditandatangani Normandy Four pada 2014 dan 2015.
"Tetapi orang-orang yang berusaha mencapainya dianggap tidak berarti bagi mereka yang hanya ingin mengobarkan perang, dan menaklukkan wilayah itu, mengusir penduduk Rusia dan menggantinya dengan sekelompok pencuri dari Galicia," bebernya.
Setelah Rusia menggelar operasi khusus mendemiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina pada 24 Februari, d'Aymée kembali ke medan perang.
Moto Akademi Militer Saint-Cyr adalah "Ils s'instruisent pour siacre", secara harfiah berarti "Mereka belajar untuk menang".
D'Aymée berjuang untuk menang dan dia tahu bahwa operasi khusus Rusia memiliki tujuan yang adil.
Pertempuran Merebut Mariupol
"Semua orang lega hal-hal akan segera berakhir," kata sukarelawan ketika ditanya bagaimana reaksi orang-orang Donbass terhadap operasi khusus Rusia.
"Kami hanya sedih memikirkan semua orang yang tidak memiliki kesempatan untuk hidup sampai keputusan memotong simpul Gordian ini," katanya merujuk tujuan operasi militer Rusia.
D'Aymée ikut terlibat pertempuran merebut Mariupol, yang kini dikuasai pasukan DPR dan Rusia. Sementara pers arus utama barat sebagian besar cenderung menggambarkan pejuang Batalyon Azov neo-Nazi sebagai "patriot" dan "pahlawan".
Menurut Aymee, ini tak sesuai kenyataan. Warga sipil Mariupol sama sekali tidak merasa simpati kepada mereka.
"Beberapa warga sipil dapat menceritakan kisah yang begitu mengerikan, Anda hanya mengerti itu tidak dapat dibuat-buat", kata d'Aymée.
"Tidak ada yang menyukai (Batalyon Azov). Semua orang di sana telah menyaksikan, dalam dua bulan terakhir atau dalam delapan tahun terakhir, setiap hari kekejaman dan kekejaman buta yang datang dari militan Azov," imbuhnya.
Sementara media korporasi barat memilih frase dan fakta yang sesuai narasi mereka, masih ada beberapa jurnalis asing yang mencoba menunjukkan gambaran sebenarnya, catat orang Prancis itu.
"Anda bisa merujuk ke Christelle Neant, Erwan Castel atau Xavier Moreau dan outlet mereka," katanya. "Tapi mereka melakukan semuanya sendiri".
Dia berpikir ini hanya sementara dan kebenaran pada akhirnya akan menemukan jalan keluarnya.
Penduduk Mariupol telah mengalami stres berat dalam beberapa bulan terakhir, menurut sukarelawan tersebut.
"Kebanyakan dari mereka hanya mencoba untuk bertahan hidup," katanya.
"Jauh di lubuk hati mereka tahu apa yang terjadi adalah untuk yang lebih baik. Tapi hidup melalui saat-saat terberat tidak mudah dan membutuhkan banyak kesabaran dan kekuatan batin," lanjutnya.
Ketika ditanya mengapa dia memutuskan pergi dan tinggal di wilayah yang dilanda perang, d'Aymée menjawab:
"Saya memiliki intuisi apa yang akan terjadi di Donbass akan sangat menantang tatanan dunia," tegasnya.(Tribunnews.com/Sputniknews/xna)