SIPRI: Invasi Rusia ke Ukraina Picu Ketegangan Sembilan Negara Bersenjata Nuklir
Lembaga think-tank menilai persenjataan nuklir global diperkirakan akan tumbuh di tahun-tahun mendatang untuk pertama kalinya sejak Perang Dingin.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Inza Maliana
TRIBUNNEWS.COM - Lembaga think-tank menilai persenjataan nuklir global diperkirakan akan tumbuh di tahun-tahun mendatang untuk pertama kalinya sejak Perang Dingin.
Sementara itu, risiko penggunaan senjata pemusnah massal ini adalah yang terbesar dalam beberapa dekade.
Menurut penelitian lembaga think-tank Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), invasi Rusia ke Ukraina serta dukungan Barat kepada Kyiv meningkatkan ketegangan di antara sembilan negara bersenjata nuklir.
Kesembilan negara itu diantaranya Inggris, China, Prancis, India, Israel, Korea Utara, Pakistan, Amerika Serikat (AS), dan Rusia.
Baca juga: Rusia Ancam Nuklir ke Polandia, Gara-gara Mantan Menterinya Sarankan Barat Pasok Nuklir ke Ukraina
Baca juga: PROFIL Choe Son Hui, Menteri Luar Negeri Wanita Pertama di Korea Utara, Seorang Juru Runding Nuklir
Jumlah senjata nuklir di dunia turun antara Januari 2021 hingga Januari 2022.
Namun, kata SIPRI, persediaan hulu ledak nuklir di dunia akan segera meningkat untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade jika tidak segera diatasi.
"Semua negara bersenjata nuklir meningkatkan atau memodernisasi persenjataan mereka dan sebagian besar mempertajam retorika nuklir dan peran senjata nuklir dalam strategi militer mereka," kata Wilfred Wan, Direktur Program Senjata Pemusnah Massal SIPRI, dalam laporan tahunan 2022, lapor Reuters.
"Ini adalah tren yang sangat mengkhawatirkan," imbuhnya.
Selama perang di Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin dalam beberapa kesempatan mengacu pada penggunaan senjata nuklir.
Tiga hari setelah menginvasi, Putin memerintahkan pasukan nuklirnya dalam siaga tinggi.
Dia juga memperingatkan soal konsekuensi "seperti yang belum pernah Anda lihat sepanjang sejarah Anda" kepada negara-negara yang menghalangi Rusia.
"Akan sangat sulit untuk membuat kemajuan dalam perlucutan senjata di tahun-tahun mendatang karena perang ini, dan karena cara Putin berbicara tentang senjata nuklirnya," kata Matt Korda, salah satu rekan penulis laporan tersebut kepada AFP.
Pernyataan yang mengkhawatirkan ini, menurut Korda, mendorong negara-negara bersenjata nuklir untuk memikirkan strategi nuklir mereka sendiri.
Dikutip dari English Al Araby, Moskow dan Washington menyumbang 90 persen dari persenjataan nuklir dunia.
Rusia tetap menjadi kekuatan nuklir terbesar, dengan 5.977 hulu ledak pada awal 2022, turun 280 dari tahun lalu.
Kondisinya ada yang dikerahkan, dalam persediaan, atau menunggu untuk dibongkar, menurut institut tersebut.
Lebih dari 1.600 hulu ledaknya diyakini akan segera beroperasi, kata SIPRI.
Sementara itu, Amerika Serikat memiliki 5.428 hulu ledak, 120 lebih sedikit dari tahun lalu, tetapi lebih banyak dikerahkan daripada Rusia, yaitu 1.750.
Dalam hal jumlah keseluruhan, China berada di urutan ketiga dengan 350, diikuti oleh Prancis dengan 290, Inggris dengan 225, Pakistan dengan 165, India dengan 160, dan Israel dengan 90.
Namun menurut SIPRI, China saat ini tengah melakukan ekspansi dengan perkiraan lebih dari 300 silo rudal baru.
Israel adalah satu-satunya dari sembilan yang tidak secara resmi mengakui memiliki senjata nuklir.
Untuk Korea Utara, SIPRI pertama kalinya mengatakan bahwa rezim Komunis Kim Jong-Un kini memiliki 20 hulu ledak nuklir.
Baca juga: Iran Singkirkan 27 Kamera Pengawas PBB dari Pusat Fasilitas Nuklir
Baca juga: Pendukung Putin Beri Ancaman Sebut Perang Nuklir akan Terjadi, Kesal Barat Terus Bantu Ukraina
SIPRI mengatakan, jumlah global hulu ledak nuklir turun menjadi 12.705 pada Januari 2022 dari 13.080 pada Januari 2021.
Diperkirakan 3.732 hulu ledak dikerahkan dengan rudal dan pesawat, dan sekitar 2.000, hampir semuanya milik Rusia atau Amerika Serikat, disimpan dalam status negara kesiapan yang tinggi.
"Hubungan antara kekuatan besar dunia semakin memburuk pada saat umat manusia dan planet ini menghadapi serangkaian tantangan bersama yang mendalam dan mendesak yang hanya dapat diatasi dengan kerja sama internasional," kata ketua dewan SIPRI dan mantan Perdana Menteri Swedia, Stefan Lofven.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.