Tak Mampu Hadapi Krisis, Perdana Menteri Sri Lanka Sebut Ekonomi di Negaranya Telah Runtuh
Ekonomi Sri Lanka kandas di bawah beban utang yang besar, kehilangan pendapatan pariwisata dan efek dari pandemi serta melonjaknya biaya komoditas
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Muhammad Zulfikar
"Secara jumlah juga utang indonesia relatif aman. Rasio utang indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara setaranya," sambung Piter.
Baca juga: Pacu Pertanian Sri Lanka, Pemerintah India Suntikkan Bantuan Senilai 55 Juta Dolar AS
Ia menyebut, keputusan berutang memang tidak terelakan, apalagi di tengah kenaikan harga-harga yang menambah beban subsidi pemerintah dan jika ingin menurunkan utang maka perlu mengurangi subsidi. Namun, hal itu dapat membuat harga semakin meningkat dan terjadi lonjakan inflasi di dalam negeri.
"Masyarakat tentu tidak menginginkan hal ini. Konsekuensinya beban fiskal akan meningkat yang artinya tidak mungkin mengelakkan utang pemerintah. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah terus disiplin menjaga besaran defisit sebagaimana sudah diatur dalam undang-undang," paparnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebangkrutan Sri Lanka ini disebut dapat mempengaruhi psikologis dari para investor ketika tanam modal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca juga: Terjebak Krisis Ekonomi, Stok BBM Sri Lanka Hanya Cukup untuk Lima Hari
"Dampak ke Indonesia relatif kecil dari bangkrutnya Sri Langka, karena hubungan dagang tidak besar. Tapi dampaknya lebih ke arah psikologis ya, karena sekarang sudah ada risiko inflasi yang tinggi diberbagai negara, di Amerika pun di atas 8 persen," kata Bhima.
"Jadi kondisi Sri Lanka ini berpengaruh kepada psikologis pelaku usaha dan investor. Sehingga investor dalam situasi seperti sekarang ini lebih berhati-hati untuk masuk ke negara berkembang, maupun negara yang dianggap risiko fiskalnya itu tinggi," sambung Bhima.
Menurut Bhima, pelajaran yang dapat diambil pemerintah Indonesia dari kasus Sri Lanka yaitu sistem pemerintahan harus bersih dari tindakan korupsi, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat maupun pelaku usaha.
"Lalu soal ketergantungan impor, baik pangan maupun energi. Harus dikurangi karena kasus Sri Lanka ketergantungan impornya tinggi dan akhirnya melemahkan nilai tukar," ujarnya.
Kemudian, kata Bhima, soal pengelolaan utang luar negeri, di mana proyek-proyek yang dampaknya kecil ke ekonomi lebih baik ditunda atau dibatalkan daripada membiayainya dengan utang.
Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Perdana Menteri Sebut Negara Tak Mampu Impor Minyak
"Lalu daya beli masyarakat pasca pandemi ini harus dijaga, karena terlihat masyarakat tidak siap sepertinya dengan kenaikan harga BBM, tarif listrik, LPG dan bahan pangan," paparnya.
"Kesempatan kerja juga sedikit, sehingga kenaikan harga dengan kesempatan kerja belum berbanding. Maka perlu diimbangi stimulus dan perluas jaring sosial," tambah Bhima.