Tak Mampu Hadapi Krisis, Perdana Menteri Sri Lanka Sebut Ekonomi di Negaranya Telah Runtuh
Ekonomi Sri Lanka kandas di bawah beban utang yang besar, kehilangan pendapatan pariwisata dan efek dari pandemi serta melonjaknya biaya komoditas
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Ekonomi Sri Lanka yang sarat utang telah runtuh setelah berbulan-bulan mengalami krisis makanan, bahan bakar dan listrik.
Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe mengatakan, negara Asia Selatan menghadapi itu mengalami situasi yang jauh lebih serius, dan dia memperingatkan kemungkinan jatuh ke titik terendah.
“Ekonomi kita benar-benar runtuh,” katanya seperti dikutip dari apnews.com, Kamis (23/6/2022).
Baca juga: Ekonom: Kebangkrutan Sri Lanka Tidak Berdampak ke Indonesia
Krisis di negara berpenduduk 22 juta ini dianggap yang terburuk, tetapi Wickremesinghe tidak menyebutkan perkembangan baru yang spesifik.
Komentarnya muncul dimaksudkan untuk menekankan kepada kritikus dan anggota parlemen oposisi bahwa ia telah mewarisi tugas yang sulit yang tidak dapat diperbaiki dengan cepat.
“Dia menetapkan harapan yang sangat, sangat rendah,” kata Anit Mukherjee, seorang rekan kebijakan dan ekonom di Center for Global Development di Washington.
Ekonomi Sri Lanka kandas di bawah beban utang yang besar, kehilangan pendapatan pariwisata dan efek lain dari pandemi, serta melonjaknya biaya komoditas.
Hasilnya adalah sebuah negara meluncur menuju kebangkrutan, dengan hampir tidak ada uang untuk mengimpor bensin, susu, gas memasak dan kertas toilet.
Anggota parlemen dari dua partai oposisi utama memboikot Parlemen minggu ini untuk memprotes Wickremesinghe, yang menjadi perdana menteri lebih dari sebulan lalu dan juga menteri keuangan, karena gagal memenuhi janjinya untuk mengubah perekonomian.
Baca juga: Pemerintah Sri Lanka Izinkan Perempuan Usia 21 Tahun Bekerja di Luar Negeri
Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena utang yang besar dari perusahaan minyaknya.
“Ceylon Petroleum Corporation memiliki utang 700 juta dolar AS,” katanya kepada anggota parlemen.
Sejauh ini, Sri Lanka telah mengalami kesulitan, terutama didukung oleh jalur kredit senilai 4 miliar dolar AS dari negara tetangga India.
Namun Wickremesinghe mengatakan India tidak akan mampu mempertahankan Sri Lanka bertahan lama.
Ia juga telah menerima janji sebesar 300 juta dolar AS hingga 600 juta dolar AS dari Bank Dunia untuk membeli obat-obatan dan barang-barang penting lainnya.
Baca juga: Ekonom: Bangkrutnya Sri Lanka Buat Investor Hati-hati Tanam Modal di Negara Berkembang
Sementara itu, Sri Lanka telah mengumumkan bahwa mereka menangguhkan pembayaran utang luar negeri sebesar 7 miliar dolar AS yang jatuh tempo tahun ini, sambil menunggu hasil negosiasi dengan Dana Moneter Internasional mengenai paket penyelamatan.
Wickremesinghe mengatakan bantuan IMF tampaknya menjadi satu-satunya pilihan negara itu sekarang.
Pejabat dari badan tersebut mengunjungi Sri Lanka untuk membahas gagasan tersebut. Kesepakatan tingkat staf kemungkinan akan dicapai pada akhir Juli.
Kebangkrutan Sri Lanka Tidak Berdampak ke Indonesia
Sri Lanka mulai melakukan penutupan sekolah dan sebagian aktivitas pelayanan pemerintahannya, setelah mengalami kebangkrutan akibat gagal bayar utang luar negeri.
Penutupan yang dilakukan pemerintah Sri Lanka selama dua pekan dilakukan dalam rangka menghemat 'cadangan bahan bakar terbatas'.
Baca juga: Bangkrut, Sri Lanka Mulai Tutup Layanan Pemerintah dan Buka Dialog dengan IMF Soal Bailout
Langkah ini dilakukan pemerintah Sri Lanka saat International Monetary Fund (IMF) membuka pembicaraan dengan negara itu tentang kemungkinan pemberian dana talangan (bailout).
Dikutip dari laman Forbes India, Rabu (22/6/2022), negara berpenduduk 22 juta orang itu kini berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuknya setelah kehabisan devisa untuk membiayai produk impor yang paling penting termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Pada Senin lalu, sekolah-sekolah ditutup dan kantor-kantor pemerintah pun bekerja sesuai dengan rencana pemerintah untuk mengurangi perjalanan dan menghemat bensin serta solar yang berharga.
Direktur Riset Center of Reform on Ekonomics (Core) Piter Abdullah mengatakan, Indonesia tidak memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Sri Lanka, baik di sektor keuangan maupun sektor perdagangan.
Baca juga: Dihantam Krisis Ekonomi, Sri Lanka Hanya Miliki Stok BBM untuk Lima Hari
"Krisis kebangkrutan di Sri Lanka tidak akan banyak berdampak ke Indonesia," ujar Piter saat dihubungi Tribun.
Menurutnya, kondisi utang yang dimiliki Indonesia jauh berbeda dengan Sri Lanka, di mana pengelolaan utang Indonesia berjalan cukup baik. Bahkan, kata Piter, langkah pemerintah Indonesia mengelola utangnya secara baik diakui oleh lembaga-lembaga internasional.
"Disiplin fiskal kita sangat terjaga. Indonesia tidak pernah bermasalah memenuhi kewajiban pembayaran cicilan bunga dan pokok utang," katanya.
"Secara jumlah juga utang indonesia relatif aman. Rasio utang indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara setaranya," sambung Piter.
Baca juga: Pacu Pertanian Sri Lanka, Pemerintah India Suntikkan Bantuan Senilai 55 Juta Dolar AS
Ia menyebut, keputusan berutang memang tidak terelakan, apalagi di tengah kenaikan harga-harga yang menambah beban subsidi pemerintah dan jika ingin menurunkan utang maka perlu mengurangi subsidi. Namun, hal itu dapat membuat harga semakin meningkat dan terjadi lonjakan inflasi di dalam negeri.
"Masyarakat tentu tidak menginginkan hal ini. Konsekuensinya beban fiskal akan meningkat yang artinya tidak mungkin mengelakkan utang pemerintah. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah terus disiplin menjaga besaran defisit sebagaimana sudah diatur dalam undang-undang," paparnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebangkrutan Sri Lanka ini disebut dapat mempengaruhi psikologis dari para investor ketika tanam modal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca juga: Terjebak Krisis Ekonomi, Stok BBM Sri Lanka Hanya Cukup untuk Lima Hari
"Dampak ke Indonesia relatif kecil dari bangkrutnya Sri Langka, karena hubungan dagang tidak besar. Tapi dampaknya lebih ke arah psikologis ya, karena sekarang sudah ada risiko inflasi yang tinggi diberbagai negara, di Amerika pun di atas 8 persen," kata Bhima.
"Jadi kondisi Sri Lanka ini berpengaruh kepada psikologis pelaku usaha dan investor. Sehingga investor dalam situasi seperti sekarang ini lebih berhati-hati untuk masuk ke negara berkembang, maupun negara yang dianggap risiko fiskalnya itu tinggi," sambung Bhima.
Menurut Bhima, pelajaran yang dapat diambil pemerintah Indonesia dari kasus Sri Lanka yaitu sistem pemerintahan harus bersih dari tindakan korupsi, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat maupun pelaku usaha.
"Lalu soal ketergantungan impor, baik pangan maupun energi. Harus dikurangi karena kasus Sri Lanka ketergantungan impornya tinggi dan akhirnya melemahkan nilai tukar," ujarnya.
Kemudian, kata Bhima, soal pengelolaan utang luar negeri, di mana proyek-proyek yang dampaknya kecil ke ekonomi lebih baik ditunda atau dibatalkan daripada membiayainya dengan utang.
Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Perdana Menteri Sebut Negara Tak Mampu Impor Minyak
"Lalu daya beli masyarakat pasca pandemi ini harus dijaga, karena terlihat masyarakat tidak siap sepertinya dengan kenaikan harga BBM, tarif listrik, LPG dan bahan pangan," paparnya.
"Kesempatan kerja juga sedikit, sehingga kenaikan harga dengan kesempatan kerja belum berbanding. Maka perlu diimbangi stimulus dan perluas jaring sosial," tambah Bhima.