Geram Sipil Jadi Sasaran Serang, Zelenskyy Sebut Rusia Tak Lagi Berhak Jadi Anggota Tetap DK PBB
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky geram sipil menjadi sasaran serang. Menurutnya serangan di sebuah mal di Kota Kremenchuk sebagai bentuk aksi teror
Penulis: Willem Jonata
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, KYIV - Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyebut serangan di sebuah mal di Kota Kremenchuk sebagai bentuk aksi terorisme paling berani dalam sejarah Eropa.
Zelenskyy pun mengatakan bila Rusia tidak lagi berhak menjadi anggota tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangs Bangsa (PBB).
“Kota yang damai, pusat perbelanjaan biasa, wanita di dalam, anak-anak, warga sipil biasa. Sekitar 1.000 orang berada di sana sebelum serangan udara diumumkan," kata Zelenskyy pada sebuah video yang diunggah di akun media sosialnya, seperti diberitakan CNN.
“Hanya teroris yang benar-benar sembrono, yang tidak memiliki tempat di bumi, yang dapat menyerang objek seperti itu dengan misil,” lanjut Zelenskyy.
Ia menegaskan bahwa serangan itu merupakan tindankan yang disengaja.
“Ini bukan serangan rudal yang salah (sasaran). Ini adalah serangan Rusia yang direncanakan di pusat perbelanjaan ini,” kata Zelenskyy.
Baca juga: Potret Wanita Korban Perang Ukraina yang Menangis di Pelukan Ibu Iriana Jokowi
Ia mengatakan pihaknya telah mengirim dokter dari Kyiv untuk membantu merawat yang terluka dan mengirimkan belasungkawa kepada keluarga mereka yang telah meninggal.
Masyarakat, lanjut dia, diimbau untuk mengikuti peringatan dari pihak berwenang.
“Saya bertanya kepada semua orang, setiap kali Anda mendengar sirene alarm udara, silakan pergi ke tempat penampungan. Perlu. Jangan diabaikan,” ujarnya.
Dalam pidato videonya di hadapan Dewan Keamanan PBB, Zelenskyy membacakan nama-nama warga Ukraina, korban dari serangan Rusia baru-baru ini.
Baca juga: Presiden Jokowi Disambut oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Istana Maryinsky
Menurut Zelensky, dengan telah menyerang sekolah, pusat perbelanjaan dan banyak sasaran sipil lainnya, Rusia tidak lagi memiliki hak untuk tetap menjadi anggota keamanan PBB.
Rusia disebut tidak hanya menyerang Kota Kremenchuk, tapi juga di kota Lysychansk.
"Delapan warga Lysychansk meninggal, 21 orang dibawa ke rumah sakit," kata Gubernur Luhansk, Sergiy Haidai, seperti diberitakan Reuters.
Seorang pejabat senior pertahanan AS mengatakan Rusia, selama akhir pekan lalu Rusia telah melakukan sekitar 60 serangan.
Beberapa di antaranya serangan culas terhadap permukiman penduduk dan fasilitas sipil.
Bukti-bukti tersebut menambah panjang daftar serangan Rusia terhadap warga dan fasilitas sipil Ukraina.
Baca juga: Berharap Perang Rusia dan Ukraina Segera Berakhir, Ibu Negara Iriana Widodo: Merinding Saya Melihat
Sejak menginvasi Ukraina pada 24 Februari, Rusia telah melakukan pemboman udara kepada gedung teater di kota pelabuhan Mariupol, Maret lalu, yang menjadi tempat berlindung 600 orang warga sipil.
Juru Bicara Pemerintah Daerah Odesa, Serhiy Bratchuk, mengatakan Rusia juga berkali-kali menyerang dan menghancurkan permukiman warga di Odesa.
Serangan yang menghancurkan dan menyebabkan kebakaran itu menyebabkan enam orang terluka, termasuk seorang anak kecil.
Warga Kota Kharkiv juga berkali-kali mendapatkan serangan roket Rusia.
Selain menghancurkan rumah-rumah warga, menurut gubernur wilayah itu, serangan juga menewaskan empat orang dan melukai 19 orang lainnya.
Pada Ahad lalu, Rusia Kembali menyerang bu kota Kyiv dengan rentetan roket. Serangan kepada permukiman itu menewaskan sedikitnya satu warga sipil dan melukai beberapa orang.
Baca juga: Boris Johnson: Jika Putin Wanita, Dia Tidak akan Berpikir Memulai Invasi Ukraina
Pemerintah Ukraina mengatakan, serangan-serangan Rusia terhadap permukiman warga dan fasilitas sipil itu telah membuat tempat tinggal dari 3,5 juta orang telah hancur.
Secara angka, jumlah Kementerian Pengembangan Masyarakat dan Wilayah Ukraina mencatat vahwa 116 ribu bangunan tempat tinggal telah hancur.
Zelenskyy Desak Negara G7 Bantu Hentikan Perang di Ukraina
Presiden Volodymyr Zelenskyy mendesak Kelompok Tujuh (G7) untuk membantu mengakhiri invasi Rusia di Ukraina pada akhir tahun.
Zelensky mengungkapkan itu saat para pemimpin negara G7 merencanakan sanksi baru dan bersumpah untuk mendukung Ukraina selama itu diperlukan, Senin (27/6/2022).
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dan rekan-rekannya dari negara-negara kaya G7, bertemu selama tiga hari di Pegunungan Alpen Bavaria.
Biden dan anggota G7 lainnya berjanji untuk memperketat sanksi ekonomi di Rusia atas invasi 24 Februari.
Mereka juga menunjukkan persatuan atas Ukraina, bahkan ketika dampak perang meningkat dengan melonjaknya harga energi dan pangan yang mendorong inflasi global.
Baca juga: Pemimpin G7 Minta Bantuan China Melobi Rusia Agar Hentikan Perang di Ukraina
"Kami akan terus memberikan dukungan keuangan, kemanusiaan, militer dan diplomatik dan mendukung Ukraina selama yang diperlukan," kata G7 dalam sebuah pernyataan pada hari kedua KTT, dilansir CNA.
Berpidato di pertemuan itu melalui tautan video, Zelenskyy mendesak para pemimpin untuk membantu mengakhiri perang sebelum musim dingin tiba dan kondisi pasukannya menjadi lebih keras.
Dia mendesak sekutu untuk menjaga tekanan dan "mengintensifkan sanksi" di Moskow, termasuk memberlakukan batas harga minyak untuk membatasi pendapatan energi Rusia.
Kanselir Jerman dan tuan rumah KTT, Olaf Scholz, mengisyaratkan kesiapan G7 untuk berbuat lebih banyak.
"Kami akan terus meningkatkan tekanan pada (Vladimir) Putin. Perang ini harus diakhiri," katanya.
Di antara langkah-langkah baru yang sedang dibahas oleh para pemimpin G7, adalah batas harga impor minyak Rusia yang dicari oleh Zelenskyy dan sanksi yang menargetkan industri pertahanan Rusia.
Sementara itu AS berencana untuk mengirim rudal anti-pesawat canggih ke Ukraina, kata seorang sumber yang mengetahui proses tersebut kepada AFP.
Zelenskyy telah lama meminta sekutu untuk pertahanan yang lebih kuat terhadap serangan Rusia.
KTT G7 - yang terdiri dari AS, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Jepang, dan Kanada - berakhir pada hari Selasa.
Kemudian, akan segera diikuti oleh pertemuan negara-negara NATO di Spanyol, di mana Ukraina diperkirakan akan kembali mendominasi agenda.
Dengan kekhawatiran yang berkembang atas nasib warga Ukraina di daerah-daerah pendudukan, para pemimpin G7 mengatakan kepada Moskow bahwa mereka harus "segera mengizinkan kepulangan yang aman" warga yang dibawa ke Rusia di luar kehendak mereka.
Kelompok itu juga menyuarakan "keprihatinan serius" atas pengumuman akhir pekan Putin bahwa Rusia akan mengirimkan rudal yang mampu membawa hulu ledak nuklir ke Belarus dalam beberapa bulan mendatang.
"Kami mendesak Rusia untuk berperilaku secara bertanggung jawab dan menahan diri,"
Kemenlu Ukraina Yakin Rusia Tak Serius dalam Negosiasi
Kementerian Luar Negeri Ukraina dalam sebuah pernyataan mengatakan, Rusia tidak akan serius dalam negosiasi, sampai tentara Ukraina mengalahkan mereka dan mengusir pasukannya keluar wilayah Ukraina.
Kementerian juga mengatakan, para sekutu Ukraina perlu memperkuat kekuatan Ukraina, sebelum pembicaraan apa pun di masa depan, dan memastikan bahwa Rusia kehilangan kapasitas untuk agresi lebih lanjut.
“Hanya rakyat Ukraina dan hanya merekalah yang akan memutuskan masa depan Ukraina dan syarat-syarat perdamaian di tanah Ukraina kami,” kata pernyataan tersebut.
Saat ini, kata pernyataan tersebut, Ukraina membutuhkan lebih banyak senjata berat dan sistem pertahanan rudal untuk membendung pemboman Rusia dan membebaskan semua wilayah yang mereka duduki.
“Bantuan militer ke Ukraina merupakan kontribusi untuk memperkuat hukum internasional dan memastikan perdamaian dan keamanan jangka panjang di Eropa,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Ukraina.
“Kami menyarankan untuk berkonsentrasi pada tiga target utama yang diusulkan Grup Internasional Yermak-McFaul, yakni (1) menargetkan sanksi pada sector energi, keuangan, dan perdagangan; (2) mengurutkan sanksi pribadi berikutnya pada oligarki, pejabat senior pemerintah Rusia, dan eksekutif kunci perusahaan milik negara, serta (3) menutup semua celah yang bisa digunakan oleh Rusia.”
Mereka juga mendesak agar semua lembaga dan negara anggota Uni Eropa untuk mengikuti jejak AS dan Inggris, dan berupaya segera melakukan embargo minyak dan gas secara penuh terhadap Rusia.