Kremlin Prediksi Hubungan Rusia-Inggris Kian Memburuk di Bawah Perdana Menteri Baru
Kremlin memperkirakan hubungan Rusia dengan Inggris akan makin memburuk di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Inggris yang baru.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Kremlin mengaku ada kemungkinan hubungan buruk Rusia dengan Inggris menjadi lebih buruk lagi di bawah perdana menteri Inggris yang baru.
Diketahui, Menteri Luar Negeri, Liz Truss berhasil mengalahkan saingannya Rishi Sunak dalam perebutan kursi perdana menteri Inggris menggantikan Boris Johnson.
Dilansir Reuters, Truss mendapat suara terbanyak dari anggota Partai Konservatif dengan 81.326 suara.
"Kami perlu menunjukkan bahwa kami akan memberikan selama dua tahun ke depan. Saya akan menyampaikan rencana berani untuk memotong pajak dan menumbuhkan ekonomi kita," kata Truss setelah hasil suara diumumkan, Senin (5/9/2022).
"Saya akan mengatasi krisis energi, menangani tagihan energi masyarakat, tetapi juga menangani masalah jangka panjang yang kita miliki tentang pasokan energi," janjinya.
Menyusul hal ini, Johnson yang mundur pada Juli karena serangkaian skandal, akan menemui Ratu Elizabeth II untuk secara resmi mengajukan pengunduran diri pada Selasa (6/9/2022).
Baca juga: Apa Siapa Menlu Inggris Liz Truss yang Ingin Gantikan Boris Johnson di Kursi Perdana Menteri
Truss juga akan menyusul menemui kepala negara Inggris itu dan akan diminta segera membentuk pemerintahan baru oleh Ratu.
Truss menjadi perdana menteri keempat Partai Konservatif sejak pemilihan 2015.
Selama berbulan-bulan, Truss menjadi sasaran kritik dari Moskow.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov menyinggung soal makin renggangnya hubungan dengan Inggris di bawah kepemimpinan PM yang baru.
Komentar Peskov datang sebelum Partai Konservatif mengumumkan Perdana Menteri Inggris terpilih, Liz Truss.
"Saya tidak ingin mengatakan bahwa hal-hal dapat berubah menjadi lebih buruk, karena sulit untuk membayangkan sesuatu yang lebih buruk," kata Peskov, ketika ditanya apakah Moskow mengharapkan adanya perubahan dalam hubungan dengan Inggris, Senin (5/9/2022).
"Tapi sayangnya, ini tidak dapat dikesampingkan, mengingat para pesaing untuk jabatan perdana menteri Inggris bersaing satu sama lain dalam retorika anti-Rusia, dalam ancaman untuk mengambil langkah lebih lanjut terhadap negara kita, dan seterusnya."
"Oleh karena itu, saya tidak berpikir bahwa kita dapat berharap untuk sesuatu yang positif," imbuhnya, lapor Reuters.
Saat ditanya apakah Presiden Vladimir Putin akan mengirimkan ucapan selamat pada PM Inggris yang baru, ini jawaban Peskov:
"Mari kita tunggu dan lihat siapa yang menjadi perdana menteri."
Truss dikenal di Rusia karena kunjungannya ke Moskow pada Februari lalu, yang mana pertemuannya dengan Menlu Sergei Lavrov berlangsung tegang.
Lavrov menggambarkan percakapan mereka seperti dialog antara orang tuli dan bisu.
Kementerian Luar Negeri Rusia juga secara terbuka mengejek Truss atas kesalahan geografis, termasuk pada satu kesempatan ketika dia mencampuradukkan Laut Hitam dan Baltik.
Truss secara terbuka menantang Lavrov pada pertemuan mereka mengenai penambahan pasukan Rusia di dekat Ukraina.
"Saya tidak melihat alasan apa pun untuk menempatkan 100.000 tentara di perbatasan, selain untuk mengancam Ukraina," kata Menlu Inggris ini pada waktu itu.
Moskow, yang sempat kekeh menyangkal adanya rencana invasi, mengirim pasukannya dalam dua minggu kemudian.
Sejak itu, Inggris menjadi salah satu pendukung Ukraina yang paling aktif dan vokal dalam perang.
Baca juga: Imbas Penutupan Gas Rusia, Euro Jatuh ke Level Terendah Pertama Kalinya dalam 20 Tahun
Baca juga: Tagihan Listrik Meroket, 6 dari 10 Pabrik Inggris Terancam Ditutup
Di bawah kepemimpinan Boris Johson, Inggris kerap memasok Kyiv dengan senjata dan pelatihan militer.
Rusia dan Inggris memiliki hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.
Titik terendah dari hubungan dua negara ini terjadi pada 2006 karena keracunan fatal yang menimpa mantan perwira keamanan Rusia, Alexander Litvinenko, di London.
Selain itu, ada insiden percobaan pembunuhan terhadap mantan agen ganda Rusia Sergei Skripal dan putrinya dengan racun saraf di Salisbury pada tahun 2018.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)