Siapa Mahsa Amini? Wanita Iran yang Kematiannya Memicu Aksi Protes Besar-besaran di Berbagai Negara
Protes besar-besar terjadi buntut kematian Mahsa Amini? Siapa Mahsa Amini? berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang kematiannya
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Wahyu Gilang Putranto

TRIBUNNEWS.COM - Selama beberapa hari di Iran, dan minggu ini di New York dan Berlin, telah terjadi aksi demonstrasi massal terhadap pemerintah Iran, serta protes terhadap kedatangan Presiden Iran, Ebrahim Raisi di PBB.
Di seluruh Teheran dan kota-kota di provinsi Kurdistan, orang-orang turun ke jalan dan terlibat bentrokan.
Setidaknya delapan orang, termasuk seorang remaja, tewas dalam beberapa hari terakhir akibat bentrokan dalam protes, menurut kelompok hak asasi manusia Amnesty International, CNN melaporkan.
Penyebabnya adalah kematian wanita Kurdi berusia 22 tahun, Mahsa Amini, pada Jumat (16/9/2022).
Siapa Mahsa Amini?
Dilansir Harper's Bazaar, pada 13 September, Mahsa Amini datang ke ibukota Iran, Teheran untuk kunjungan keluarga.
Ia berasal dari kota Saqqez di Provinsi Kurdistan, di Iran barat.
Baca juga: 17 Orang di Iran Tewas dalam Aksi Demo atas Kematian Mahsa Amini
Saat berada di pintu masuk Jalan Raya Haqqani bersama saudara laki-lakinya Kiaresh Amini, Mahsa Amini ditangkap oleh 'Patroli Bimbingan'.
Mahsa Amini lalu dipindahkan ke agen 'Keamanan Moral'.
Ia diduga ditangkap karena mengenakan jilbab yang tidak pantas.
Dalam sebuah video CCTV yang dirilis oleh polisi Teheran, tampak Mahsa Amini jatuh ke tanah saat ditangkap.
Saudara laki-laki Amini diberitahu bahwa Amini akan dibawa ke pusat penahanan untuk menjalani "kelas pengarahan".
Amini dijanjikan akan dibebaskan tidak lama kemudian.
Namun Amini tidak pernah dibebaskan.

Amini justru dilarikan ke Rumah Sakit Kasra, di mana dia meninggal pada hari Jumat (16/9/2022), setelah sempat koma selama tiga hari.
Dalam sebuah posting-an di Instagram yang kini sudah dihapus, rumah sakit mengklaim Mahsa Amini sudah mati otak pada saat kedatangannya.
"Resusitasi dilakukan pada pasien, detak jantung kembali dan pasien dirawat di unit perawatan intensif," tulis pihak rumah sakit, lapor The Guardian.
"Sayangnya, setelah 48 jam pada hari Jumat, pasien mengalami serangan jantung lagi, karena kematian otak."
"Meskipun dengan upaya tim medis, mereka gagal untuk menghidupkannya kembali dan pasien akhirnya meninggal."
Saksi mata mengklaim Mahsa Amini dipukuli oleh patroli di dalam van, yang bermaksud membawanya ke pusat penahanan.
Reaksi dunia atas kematian Mahsa Amini

Begitu berita kematian Mahsa Amini menjadi headline, protes lima hari meletus di seluruh negeri.
Protes juga terjadi secara global, karena kehadiran Ebrahim Raisi di PBB minggu ini.
Tagar #mashaamini mulai menjadi tren di Twitter, dengan lebih dari dua juta mentions.
Kelompok pro-reformasi dan kelompok aktivis feminis – termasuk yang berbasis di AS, berdedikasi di Iran, HRANA (Kantor Berita Aktivis Hak Asasi Manusia) – mulai bergerak.
Protes pada tanggal 20 September mengakibatkan satu anggota polisi meninggal dan ada pula aksi pembakaran jilbab.
Amnesty Iran, serta pemerintah AS dan Prancis, buka suara soal kematiannya.
Kementerian luar negeri Prancis menyerukan penyelidikan yang adil dan transparan atas kematian Mahsa Amini.
Gedung Putih mengatakan, "Kematian Mahsa Amini akibat cedera yang diderita saat berada dalam tahanan polisi karena mengenakan jilbab 'tidak pantas' adalah hal yang mengerikan bagi hak asasi manusia."
Komandan Polisi Teheran Hossein Rahimi mengklaim kematian Amini adalah "kecelakaan yang disayangkan".
Ia mengatakan Amini mengalami serangan jantung karena kondisi yang ada.
Ayah Amini dengan sengit menentang tuduhan ini, mengatakan dia yakin dirinya diberikan rekaman CCTV yang diedit secara berlebihan yang bertentangan dengan laporan memar dan saksi matanya.
"Mereka mengatakan Mahsa menderita penyakit jantung dan epilepsi tetapi sebagai seorang ayah yang membesarkannya selama 22 tahun, saya katakan dengan lantang bahwa Mahsa tidak memiliki penyakit apapun."
"Dia dalam kesehatan yang sempurna."
"Orang yang memukul putri saya harus diadili di pengadilan umum, bukan pengadilan palsu yang menghasilkan teguran dan pengusiran."
Bagaimana situasi wanita di Iran?

Secara hukum, sejak tahun 1979, perempuan di Iran memang harus mengenakan jilbab di depan umum.
Namun dalam praktiknya, hal itu belum banyak ditegakkan dalam beberapa tahun terakhir.
Barulah sampai presiden baru Ebrahim Raisi mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021.
Sejak itu, telah terjadi tindakan keras terhadap kebebasan perempuan.
Pada 15 Agustus, Ebrahim Raisi menandatangani perintah yang menegakkan aturan berpakaian negara dengan daftar pembatasan baru.
Pasal 638 KUHP mengatakan adalah suatu kejahatan bagi perempuan untuk muncul di jalan-jalan dan di depan umum tanpa jilbab Islam.
Tetapi tidak disebutkan apakah polisi memiliki hak untuk sewenang-wenang menangkap warga di tanpa bentuk jaminan pengadilan.
Faktanya, tindakan yang disebut 'polisi moral' telah dikritik habis-habisan oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB.
PBB mengatakan bahwa polisi moral telah menargetkan wanita.
Badan itu mengklaim telah memverifikasi video di mana wanita ditampar, dipukuli dengan pentungan dan dilemparkan ke mobil polisi karena mereka mengenakan jilbab yang terlalu longgar.
Aksi itu juga telah dikritik oleh dua Ayatollah paling senior di Iran.
Kasus serupa
Kasus Mahsa Amini bukan satu-satunya kasus paling terkenal dalam beberapa bulan terakhir.
Pada bulan Juli lalu, seorang penulis dan seniman berusia 28 tahun, Sepideh Rashno, ditangkap karena mengenakan 'pakaian yang tidak pantas'.
Ia merupakan salah satu dari banyak wanita (dan pria) yang secara terbuka memprotes 'hari jilbab dan kesucian' Iran pada 12 Juli.
Rashno kemudian terlihat di TV pemerintah membuat permintaan maaf resmi.
Dia mengenakan jilbab penuh dan tampak tenang.
Organisasi hak asasi manusia, termasuk HRANA, mengatakan Rashno menunjukkan tanda-tanda penyiksaan dan kemungkinan besar dia adalah salah satu dari banyak wanita yang dipaksa meminta maaf.
Rashno tetap dalam tahanan, dan kasusnya menarik protes luas dan kampanye pada bulan Agustus.
Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Nada Al-Nashif mengatakan:
"Kematian tragis Mahsa Amini dan tuduhan penyiksaan dan penganiayaan harus segera, dengan tidak memihak, diselidiki secara efektif oleh otoritas independen yang kompeten, yang memastikan, khususnya, bahwa keluarganya memiliki akses ke keadilan dan kebenaran."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)