PM Malaysia Sesalkan Kurangnya Tindakan PBB terhadap Krisis Myanmar
PM Malaysia Ismail Sabri Yaakob nyatakan kekecewaannya kepada DK PBB atas tanggapannya terhadap krisis politik berkelanjutan di Myanmar.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob menyatakan kekecewaannya kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas tanggapannya terhadap krisis politik di Myanmar.
Ismail menyampaikan penyesalannya kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada Jumat (23/9/2022).
Dia menyebut Dewan Keamanan belum mengambil "tindakan serius" dalam menangani situasi di Myanmar.
Ismail menggambarkan tanggapan PBB atas krisis Myanmar sebagai (sikap) sangat menyedihkan.
“Beberapa bahkan melihat Dewan Keamanan telah mencuci tangan [Myanmar] dan menyerahkan masalah ini ke ASEAN [Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara],” katanya.
Dikutip Al Jazeera, Junta Myanmar merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Baca juga: Jelang KTT, Menlu ASEAN Bakal Kumpul di Jakarta pada Bulan Oktober Bahas Myanmar
Suu Kyi lantas dijebloskan ke penjara sejak digulingkan.
Pemerintahan Junta disebut telah menjerumuskan negara itu ke dalam perang saudara baru yang telah menewaskan ribuan orang.
Perdana menteri juga mengatakan bahwa “ASEAN Five Point Consensus"– yang menyerukan segera diakhirinya kekerasan, penunjukan utusan khusus dan diskusi yang melibatkan semua pemangku kepentingan – perlu diberikan “kehidupan baru”.
"Malaysia kecewa karena tidak ada kemajuan berarti dalam pelaksaan ASEAN Five Point Consensus, terutama oleh Junta Myanmar," ujarnya.
"Dalam bentuknya yang sekarang, ASEAN Five Point Consensus tidak bisa dilanjutkan lagi,” tuturnya.
Malaysia telah memimpin seruan untuk pendekatan yang lebih keras terhadap administrasi militer Myanmar.
Baca juga: 11 Pelajar Tewas Akibat Serangan Brutal Junta Militer Myanmar, Indonesia Prihatin
Negara ini juga menyerukan ASEAN untuk terlibat dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang dibentuk oleh politisi terpilih yang dilengserkan dari kekuasaan.
Filipina, Indonesia, dan Singapura juga telah mendorong garis yang lebih tegas dengan para jenderal Myanmar.
Situasi memburuk
Perdana menteri Malaysia menambahkan bahwa krisis telah memperburuk situasi bagi jutaan pengungsi dari Myanmar.
“Meskipun Malaysia bukan penandatangan Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, Malaysia, atas dasar kemanusiaan, menerima hampir 200.000 pengungsi Rohingya,” katanya.
Aung San Suu Kyi dan tokoh-tokoh penting di kabinet dan partainya ditangkap oleh para pemimpin kudeta, dan sejak itu diadili atas berbagai tuduhan yang menurut para kritikus dibuat untuk menjauhkan mereka dari politik.
Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan awal pekan ini bahwa kondisi 54 juta penduduk Myanmar telah berubah dari "buruk menjadi lebih buruk menjadi mengerikan" sebagai akibat dari perebutan kekuasaan oleh militer.
Baca juga: Militer Myanmar Tembaki Sekolah yang Diklaim Jadi Markas Pemberontak, 6 Anak Tewas dan 17 Terluka
Tanggapan internasional terhadap krisis yang disebabkan oleh kudeta militer telah “gagal”, kata Andrews kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa.
Andrews juga melaporkan bahwa militer Myanmar telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kekerasan seksual, penyiksaan, kampanye yang disengaja terhadap warga sipil, dan pembunuhan.
Berita lain terkait dengan Krisis Myanmar
(Tribunnews.co/Andari Wulan Nugrahani)