Telepon Tentara Rusia Disadap, Dari Sebut Putin Bodoh hingga Bicara Soal Perintah Eksekusi
Panggilan telepon yang disadap menunjukkan keluhan tentara Rusia soal Presiden Vladimir Putin hingga perintah eksekusi warga.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Ribuan hasil penyadapan panggilan telepon pasukan Rusia yang berperang di Ukraina menunjukkan bobroknya situasi di medan perang.
Telepon yang dilakukan pasukan Rusia itu diungkap oleh surat kabar New York Times (NYT) dalam laporannya pada Kamis (29/9/2022).
Dilansir Al Jazeera, hasil penyadapan pada bulan Maret itu menunjukkan bukti kekejaman pasukan Moskow dan kemarahan atas keputusan Presiden Vladimir Putin.
Ketika itu, Rusia menempatkan puluhan tentaranya di dalam dan sekitar Kota Bucha, di pinggiran ibu kota Kyiv, Ukraina.
"Bu, perang ini adalah keputusan terbodoh yang pernah dibuat pemerintah kita, saya pikir," lapor NYT mengutip seorang tentara bernama Sergey yang ketika itu menelepon ibunya.
Menggunakan 22 telepon bersama, pasukan Putin menelepon ratusan nomor di Rusia selama beberapa minggu meskipun telah dilarang.
Baca juga: Ikut Bergabung dengan Negara Eropa Lainnya, Finlandia akan Tutup Perbatasan Bagi Turis Rusia
Percakapan mereka, yang awalnya disadap oleh lembaga penegak hukum Ukraina sebelum diteruskan ke surat kabar, memberikan pencerahan baru tentang kekacauan tahap awal serangan Rusia dan merujuk pada pembunuhan warga sipil yang mungkin merupakan bukti kejahatan perang.
Peti Mati Berdatangan
Seseorang dengan blak-blakan mencela Presiden Putin sebagai "orang bodoh" karena memerintahkan invasi.
Seruan itu menunjukkan bahwa dalam beberapa minggu setelah serangan dimulai pada 24 Februari, pasukan Rusia mengalami kerugian besar.
NYT, yang hanya mempublikasikan nama depan para prajurit untuk melindungi identitas mereka, mengutip Sergey yang mengatakan kepada ibunya bahwa hanya 38 dari 400 pasukan terjun payung yang dikerahkan oleh Moskow yang selamat.
Tentara lain melaporkan kehilangan hingga 60 persen resimen mereka, sementara keluarga para tentara di Rusia mengatakan bahwa "peti mati terus berdatangan".
"Kami mengubur satu demi satu, ini adalah mimpi buruk," kata rekan seorang tentara yang tidak disebutkan namanya.
Perintah Eksekusi
Dalam percakapan lain, pasukan menyampaikan perintah yang diberikan oleh komandan di Bucha.
"Mereka memberi tahu kami bahwa, ke mana kami pergi, ada banyak warga sipil yang berjalan-jalan. Dan mereka memberi kami perintah untuk membunuh semua orang yang kami lihat," kata Sergey dalam panggilan telepon dengan kekasihnya.
Tentara lain bernama Aleksandr, mengatakan kepada kerabatnya bahwa ada "tubuh tergeletak di jalan" di Bucha dengan "anggota badan berserakan".
"Mereka bukan orang kita, mereka adalah warga sipil," katanya.
Sementara itu, Sergey memberi tahu ibunya bahwa ada "gunung mayat di hutan".
Dalam panggilan ke pacarnya, dia juga mengaku telah diperintahkan untuk mengeksekusi tiga pria yang "berjalan melewati gudang kami".
"Kami menahan mereka, membuka pakaian mereka dan memeriksa semua pakaian mereka. Kemudian keputusan harus dibuat apakah akan membiarkan mereka pergi. Jika kita membiarkan mereka pergi, mereka bisa memberikan posisi kita. Jadi diputuskan untuk menembak mereka," kata Sergey.
Sebelumnya, Ukraina menuduh Rusia melakukan eksekusi kepada ratusan warga sipil di Bucha.
Namun tudingan ini terus dibantah oleh Moskow.
Kekecewaan Pasukan
Selama bulan Maret hingga awal April atau sebelum pasukan Rusia mundur dari sekitar Kyiv, terjadi kekecewaan dari para tentara.
Mereka mengeluhkan kegagalan taktis yang mematikan, kurangnya pasokan, dan musim dingin.
Beberapa tentara mempertimbangkan untuk kabur, tetapi takut dengan konsekuensi hukuman oleh Rusia.
Baca juga: Hengkang dari Rusia, Laba H&M Dilaporkan Mengalami Penurunan Drastis
Baca juga: Update Perang Rusia-Ukraina Hari ke-219: Putin Tandatangani Dekrit Pencaplokan Wilayah Ukraina
"Putin itu bodoh. Dia ingin mengambil Kyiv. Tapi tidak mungkin kita bisa melakukannya," kata Aleksandr.
Sejumlah pasukan Rusia juga membantah klaim Kremlin soal Nazi di Ukraina.
"Bu, kami belum pernah melihat satu pun fasis di sini. Perang didasarkan pada kepura-puraan yang salah," kata Sergey.
"Tidak ada yang membutuhkannya. Kami tiba di sini dan orang-orang menjalani kehidupan normal. Sangat baik, seperti di Rusia. Dan sekarang mereka harus tinggal di ruang bawah tanah."
Upah Tinggi
Terlepas dari segala keluhan itu, tentara Rusia juga menyinggung besaran upah yang membuat mereka tetap berjuang di Ukraina.
Menurut laporan Al Jazeera, upah yang diterima tentara Rusia $53 per hari atau sekira Rp 800 ribu, lebih tinggi dari gaji nasional rata-rata.
"Saya muak dan lelah dengan kontrak ini. Di sisi lain, di mana lagi saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" ujar Aleksandr kepada rekannya.
Pada akhir Maret, beberapa tentara melakukan panggilan telepon untuk menyampaikan satu berita terakhir yakni mereka telah mundur ke Belarus.
"Kami baru saja melintasi perbatasan," kata Aleksandr saat menelepon ibunya.
Dia mengaku lega, namun juga mempertanyakan kapan perang akan berakhir untuk selamanya.
"Yah, itu bukan masalah kita lagi," jawabnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)