Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Saad Al-Jabri Lolos dari Turki, Sembunyi di Kanada dan Kini di Amerika
Saad Al-Jabri tokoh kepercayaan Pangeran Mohammad bin Nayef lolos ke Turki, lalu lari ke Kanada karena dicari Pangeran MBS.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Segera sesudah peristiwa 20 Juni 2017 di Istana Mekkah, Pangeran Mohammad bin Nayef sudah bisa dilucuti, segala sesuatu segera dikaburkan dari pandangan publik.
Pemerintah Riyadh memunculkan potongan-potongan informasi, dan sedikit propaganda, yang bocor ke pers.
Media internasional, misalnya, diberi info apa yang disebut oleh rekan-rekan Nayef sebagai klaim palsu, Nayef disingkirkan demi kepentingan nasional karena dia lumpuh, kecanduan morfin dan kokain.
Mendapatkan kebenaran sangat sulit di negara di mana negara pengawasan sangat kuat sehingga beberapa orang Saudi meletakkan ponsel mereka di lemari es saat mendiskusikan hal-hal sensitif.
Kedutaan Saudi di London dan Washington tidak menanggapi permintaan komentar untuk artikel ini.
Baca juga: Pangeran Nayef Dikurung Lalu Dipaksa Sumpah Setia ke Pangeran MBS
Baca juga: AS Lindungi Pangeran MBS dari Gugatan atas Pembunuhan Jurnalis Jamal Khashoggi
Baca juga: Presiden Joe Biden Tekan Saudi, Pangeran MBS Ingatkan Penyiksaan di Irak
Tetapi laporan terperinci tentang peristiwa 2017, dan akibatnya yang mengejutkan, sekarang dimungkinkan, berkat bocoran rahasia istana oleh beberapa bangsawan senior.
Sumber-sumber lain yang memiliki hubungan baik dengan tokoh-tokoh yang telah dilucuti oleh Pangeran MBS juga bercerita.
Kunci di antara sumber-sumber penting itu adalah seorang pria bernama Saad al-Jabri, penasihat terdekat mantan Kepala Intelijen Saudi, Pangeran Mohammad bin Nayef.
Al-Jabri dikirimi pesan pendek oleh Nayef segera setelah dia dibebaskan dari Istana Raja di Mekkah, setelah status putra mahkotanya dicabut.
Pria berusia 63 tahun itu telah lama beroperasi dalam bayang-bayang. Banyak orang yang bekerja dengannya menganggapnya tokoh non-kerajaan paling kuat di Arab Saudi.
Seorang mantan pejabat AS yang bekerja bertahun-tahun dengan Al-Jabri menggambarkannya sebagai penghubung kuat antara Arab Saudi dan kekuatan barat.
Pada tahun-tahun setelah 9/11, Al-Jabri dipromosikan menjadi kepala operasi kontra-terorisme. Bersama-sama, Al-Jabri dan Nayef sebagai pelindungnya, ia memodernisasi aparat keamanan kerajaan.
Mereka juga dituduh menargetkan aktivis damai dengan dalih kontra-terorisme dan meletakkan dasar negara polisi, yang nantinya akan dilawan oleh MBS.
Pesan teks antara Nayef dan Al-Jabri pertama kali terungkap melalui gugatan hukum di pengadilan Amerika Utara.
Berikutnya juga datang ketika Interpol menolak permintaan Saudi agar Al-Jabri ditangkap di luar negeri.
Pesan dalam dokumen tersebut diautentikasi ahli forensik digital yang disewa Norton Rose Fulbright, firma hukum internasional yang mewakili Al-Jabri, sebagai pemilik iPhone yang diselidiki.
Tim Al-Jabri secara terpisah membagikan kepada Anuj Chopra dari Guardian, beberapa pesan yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
Selama beberapa decade perjalanan Kerajaan Saudi Arabia, tahta telah berpindah secara menyamping di antara putra-putra Abdulaziz Al Saud, pendiri negara Saudi modern.
Prosesi itu memastikan keseimbangan kekuatan yang halus antara berbagai cabang keluarga kerajaan yang luas.
Suksesi ke Pangeran Mohammad bin Nayef akan melihat mahkota diturunkan ke generasi di bawahnya putra-putra Abdul Azis untuk pertama kalinya.
Jalurnya ke cabang keluarga yang berbeda, guna menjaga keseimbangan yang rapuh itu di antara klan bani Saud.
Namun kemudian terjadilah kudeta istana – yang tidak hanya menyingkirkan saingan utama MBS, tetapi juga menghancurkan model suksesi lama yang menghargai senioritas dan konsensus dalam keluarga.
Kali ini suksesi dipaksakan peralihan kekuasaan langsung dari ayah ke anak laki-laki dalam satu cabang keluarga.
Itu memungkinkan Pangeran MBS mengumpulkan lebih banyak kekuatan daripada penguasa sebelumnya, bahkan sebelum dia secara resmi naik tahta.
Kudeta tersebut merupakan puncak permusuhan selama berbulan-bulan antara MBS dan Nayef.
Salah satu poin utama konflik adalah persaingan mereka mendapatkan dukungan dari pemerintahan Presiden Donald Trump di Washington.
Orang-orang yang dekat dengan Nayef mengatakan mendengarkan percakapan telepon MBS dengan para pembantu Trump. seperti Jared Kushner, menantu Trump dan para penasihat Gedung Putih.
Pengintaian itu membantu melacak manuver Pangeran MBS di Washington.
Transkrip dari satu panggilan yang disadap pada musim semi 2017, yang ditunjukkan Nayef kepada Al-Jabri, menunjukkan MBS telah mendiskusikan suksesi kerajaan dengan Kushner.
Dalam telepon itu, MBS memberi tahu Kushner dia telah menjalin hubungan dekat dengan semua agensi AS, kecuali tiga.
Saat Al-Jabri melihat transkripnya, dia mengartikan ketiga agensi tersebut adalah CIA, FBI, dan Badan Keamanan Nasional – institusi yang telah lama disukai Nayef.
Bagi dia dan pelindungnya, jelas bahwa MBS berusaha mengkonsolidasikan dukungan Amerika untuk suksesinya.
Pada Mei 2017, Nayef mencoba membuat terobosan sendiri ke Gedung Putih. Dia menyewa Sonoran Policy Group, sebuah perusahaan lobi di Washington yang memiliki hubungan dekat dengan tim Trump.
Sonoran sejak itu berganti nama menjadi Stryk Global Diplomacy setelah ketuanya, pelobi Robert Stryk - dipekerjakan untuk menjadi agensi khusus Nayef di Washington.
Nayef, kata orang-orang yang dekat dengannya, memahami catatan masa lalunya tidak berarti banyak bagi Presiden Trump.
Sosok yang dianggap kurang ajar dan tidak konvensional ini terus memiliki hubungan tegang dengan komunitas intelijen AS.
Nayef ingin memberi kesan kepada Trump dia bukan hanya mitra lama, tetapi juga mitra yang lebih berharga daripada sepupunya (MBS).
MBS Mata-matai Tim Nayef
Al-Jabri terlibat langsung dalam negosiasi kontrak lobi senilai $5,4 juta atas nama Kementerian Dalam Negeri Saudi.
Saat berita kontrak menyebar, Al-Jabri takut terjebak di antara para pangeran yang bertikai. Pada Mei 2017, dia diam-diam menyelinap ke Turki, hanya beberapa hari sebelum Trump dijadwalkan mengunjungi Riyadh.
Ketakutan Al-Jabri sangat beralasan. Segera setelah dia pergi, Al-Jabri mengatakan dia mendapat kabar penandatangan kontrak utama, seorang petugas dinas rahasia di bawah Nayef – ditahan loyalis MBS dan diinterogasi tentang upaya lobi.
Pada 4 Juni 2017, Al-Jabri mengirim pesan pendek kepada Abdulaziz Howairini, seorang pejabat keamanan veteran, untuk menanyakan apakah dia harus melanjutkan "puasa dalam cuaca dingin", kode untuk tetap tinggal di Turki.
Howairini, yang sekarang melapor ke MBS, menjawab dia harus melakukannya. Pada 17 Juni, Howairini mengirim SMS lain ke Al-Jabri, memperingatkannya loyalis MBS “sangat ingin” menahannya juga.
Penolakan keras Pangeran MBS akhirnya memaksa Nayef membatalkan kontrak Stryk. Menurut Al-Jabri, Nayef memperingatkannya MBS telah melihat kontrak tersebut sebagai plot untuk merusak hubungannya dengan keluarga Trump.
Pada 18 Juni 2017, Al-Jabri tiba-tiba menerima SMS dari MBS, memintanya kembali ke Arab Saudi untuk membantu menyelesaikan “konflik” yang tidak ditentukan dengan Nayef.
“Saya tidak berpikir ada orang yang memahami (Nayef) lebih baik dari Anda,” tulis MBS di pesan pendek yang dikirimkan. Nadanya sangat berdamai.
Ada pertikaian antara MBS dan Al-Jabri sejak 2015, ketika Raja Salman, tampaknya atas desakan sang pangeran, memecat Al-Jabri dari posisinya karena diam-diam bertemu Direktur CIA saat itu John Brennan dan Menlu Inggris Philip Hammond tanpa melapor ke kerajaan.
Namun, Al-Jabri terus bekerja dengan Nayef secara informal, memandang pemecatannya sebagai salah satu dari banyak upaya MBS untuk melemahkan pelindungnya.
“Mari kita lupakan masa lalu,” tegas MBS. “Apakah kita anak-anak hari ini? Maafkan aku dan bebaskan aku dari hadapan Tuhan. Kapan kau kembali?" tanya MBS.
Aljabri menjawab dia harus pergi untuk perawatan medis. Dua hari kemudian, MBS melancarkan kudeta.
Di bulan-bulan setelah kudeta, Al-Jabri terus bersembunyi di Turki. Keluarga dekatnya ada bersamanya, kecuali dua anaknya yang, pada hari kudeta, dicegah naik pesawat di Riyadh.
Dia diam-diam tetap berhubungan dengan Nayef yang gerak-geriknya dibatasi. Sementara itu, MBS bergerak cepat untuk memperketat cengkeramannya.
MBS membersihkan Kementerian Dalam Negeri dari para loyalis Nayef. Ini termasuk fungsi-fungsi utama departemen itu seperti kontra-terorisme.
Langkah-langkah keras di awal oleh MBS menimbulkan perbedaan pandangan. Para ulama dan intelektual berpengaruh yang punya pengikut besar ditangkapi pada September 2017.
MBS Minta Al-Jabri Pulang
Pada bulan yang sama, Al-Jabri memohon kepada MBS untuk mengizinkan anak-anaknya meninggalkan Arab Saudi.
Namun MBS bersikeras agar Al-Jabri kembali terlebih dahulu untuk membahas berkas yang sangat sensitif terkait Nayef.
"Dokter, ke mana kami harus mengirim pesawat untuk menjemputmu?" tanya MBS dalam pesan teks.
Aljabri tidak berniat untuk kembali, tetapi juga berusaha meyakinkan MBS dia tidak menimbulkan ancaman. Dalam pesan-pesan yang dipenuhi kata-kata hampa, Al-Jabri berjanji setia kepada MBS.
“Saya memiliki banyak informasi negara yang sensitif, tetapi meskipun demikian saya tidak pernah membocorkan apa pun kepada siapa pun,” tulis Aljabri.
Sambil mengoceh tentang contoh kesetiaannya, dia menulis dia telah secara terbuka membantah klaim “Mujtahid” – seorang pembocor rahasia kerajaan anonim di Twitter yang telah lama menjadi duri di pihak keluarga kerajaan Saudi.
“Takdir apa yang menanti saya jika saya kembali (ke Saudi)? Bukankah lebih baik bagi saya untuk tetap berada di luar kerajaan, di mana saya tetap setia pada aturan Anda, menolak untuk mengatakan apa pun yang berbahaya … dan bekerja sama dengan Yang Mulia dalam segala hal yang bermanfaat bagi kebaikan bersama?” jawabnya.
MBS tidak tergerak. Dia kembali mengirim pesan pendek ke Al-Jabri bahwa dia akan mengejarnya menggunakan segala cara yang tersedia.
Ancaman tersebut mendorong Al-Jabri melarikan diri dari Turki ke Kanada akhir bulan itu. Pada akhir 2017, Arab Saudi mencoba menangkap Al-Jabri melalui Interpol.
Ia dituduh mencuri dana negara senilai miliaran, dan Riyadh menekan Kanada untuk menyerahkannya. Kedua usaha itu gagal.
Kemudian, pada Oktober 2018, menurut Al-Jabri, dia mendapat peringatan dari mata-mata di negara Timur Tengah, yang mengatakan kepadanya dia adalah target pembunuhan.
Ia disarankan menjauh dari kedutaan dan konsulat Saudi. (Aljabri meminta nama negara dirahasiakan karena takut pembalasan Saudi.)
Pada bulan yang sama, agen perbatasan Kanada diperkirakan telah mencegat dan mendeportasi anggota Pasukan Harimau, tim pembunuh bayaran yang disponsori Saudi, saat mereka mencoba memasuki negara tersebut dengan visa turis.
Riyadh membantah keterlibatan apa pun tetapi dugaan plot, yang secara implisit diakui oleh otoritas Kanada.
Sebuah regu pembunuh yang modus operandinya mirip dengan tim yang mengeksekusi jurnalis Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul Turki.(Tribunnews.com/Guardian/xna)
KISAH BERIKUTNYA : Saeed Al-Jabri Dapat Perlindungan Khusus dari Agen Rahasia di Washington