Washington Gagal Rangkul Pemimpin Afrika Hadapi Rusia dan China
KTT AS-Afrika di Washington 13-16 Desember gagal mendekatkan agenda AS merangkul para pemimpin Afrika melawan pengaruh Rusia-China.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, BEOGRAD – Pakar geopolitik dan kolumnis situs analisis intelijen Southfront.org, Drago Bosnic mengatakan, AS gagal merangkul pemimpin benua Afrika lewat KTT Afrika-AS.
Ulasan Drago Bosnic dipublikasikan di situs analisis intelijen Southfront.org, Sabtu (17/12/2022. Berikut analisis Bosnic yang sudah dialihbahasakan.
Washington jadi tuan rumah KTT AS-Afrika selama tiga hari sejak 13 Deember 2022, yang dihadiri hampir semua pemimpin di benua Afrika.
John Kirby, pejabat tinggi Gedung Putih terkait keamanan membantah pertemuan itu dalam rangka mengultimatum Afrika terkait meningkaatnya pengaruh Moskow dan Beijing di Afrika.
Namun, sejauh ini, inilah pesan yang dikirim AS sejak hari pertama KTT. Pesan itu dikirimkan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin kepada para pemimpin Afrika di KTT.
Austin mengatakan, Rusia mengambil risiko mendestabilisasi benua dengan meningkatnya keterlibatan mereka di benua itu.
Baca juga: Presiden Amerika Joe Biden Dukung Uni Afrika Jadi Anggota Tetap G20
Baca juga: Dimusuhi AS dan Barat, Rusia Cari Mitra baru di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin
Baca juga: Bom Parsel Hantam Diplomat Rusia di Afrika Tengah
Berbicara pada pembukaan KTT AS-Afrika selama tiga hari, Austin menyatakan Rusia terus menjajakan senjata murah dan mengerahkan tentara bayaran di seluruh benua (Afrika).
Klaim yang dibuat Menhan AS itu dinilai munafik. Pada akhir November, pemerintah Nigeria memperingatkan senjata yang dikirim AS dan NATO ke rezim Kiev sudah mulai muncul di Afrika Barat.
Menurut pemerintah di Abuja, senjata ilegal mulai membanjiri wilayah tersebut. Buhari mendesak lebih banyak kewaspadaan dan pengetatan keamanan di sekitar perbatasan.
Ia menunjuk peningkatan arus senjata, amunisi, dan senjata lain dari medan perang Rusia dan Ukraina di Cekungan Danau Chad.
Adapun tuduhan Rusia mengerahkan PMC (perusahaan militer swasta), ini juga hanya dapat digambarkan sebagai kemunafikan.
Faktanya, AS dan tentara bayaran barat lainnya telah beroperasi di seluruh Afrika selama beberapa dekade.
Selain itu, PMC Rusia (Austin kemungkinan besar mengacu pada "Grup Wagner") secara resmi diundang oleh setidaknya setengah lusin negara Afrika.
Perusahaan-perusahaan ini membantu berbagai pemerintah Afrika dalam melatih pasukan mereka dan kadang-kadang terlibat langsung dalam memerangi teroris dan kelompok bersenjata illegal.
Kelompok-kelompok bersenjata itu banyak di antaranya lebih sering didukung politik barat dengan tujuan mendestabilisasi negara-negara Afrika.
AS juga menuduh Rusia sebagai penyebab utama di balik krisis pangan global yang membayangi, yang coba digunakan pemerintahan Biden selama KTT yang mencakup partisipasi 49 negara Afrika.
Banyak dari mereka yang benar-benar prihatin karena tidak mampu membeli makanan yang cukup untuk memberi makan populasi mereka.
Namun, krisis pangan merupakan akibat dari sanksi AS dan kebijakan anti-Rusia yang mencegah banyak negara Afrika tersebut untuk mengimpor komoditas utama Rusia seperti makanan dan pupuk.
Ini menaikkan harga di seluruh dunia dan memperburuk kerawanan pangan yang sudah ada di banyak negara Afrika.
Di sisi lain, sebagian besar gandum Ukraina dan produk makanan lainnya yang menurut politik Barat ada untuk “memberi makan dunia” berakhir di negara-negara barat yang kaya yang memperoleh sekitar 30 persen tanah subur Ukraina dan mengeksploitasinya untuk kepentingan mereka sendiri.
Selama berbulan-bulan, mesin propaganda arus utama barat telah membeo tentang pengiriman makanan menuju Afrika yang diduga diblokir di Laut Hitam oleh Rusia, padahal kenyataannya, tidak ada blokade atau makanan yang dikirim ke Afrika.
Lebih buruk lagi, setelah Rusia menandatangani kesepakatan biji-bijian, barat menggunakan rute laut yang baru dibuka untuk mengirim lebih banyak senjata ke rezim Kiev, banyak di antaranya berakhir di Afrika, seperti yang disebutkan sebelumnya.
Namun, sebagian besar negara Afrika hanya memutuskan untuk tidak terlibat dengan persaingan kekuatan besar AS, dan menerima janji investasi $55 miliar di beberapa negara Afrika selama tiga tahun ke depan.
Menjelang KTT, 12 Desember, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan, bekerja sama dengan Kongres, AS akan berkomitmen $55 miliar ke Afrika selama tiga tahun ke depan.
Terlepas dari upaya (yang tidak berhasil) untuk menyebabkan keretakan antara Afrika dan Rusia, AS juga mencoba merendahkan China selama KTT tersebut.
Austin bersikeras China memperluas jejaknya setiap hari. Dia memberi tahu para pemimpin Afrika tentang pengaruh ekonomi yang berkembang dari China.
“Bagian yang meresahkan adalah mereka tidak selalu transparan dalam hal apa yang mereka lakukan dan itu menciptakan masalah yang pada akhirnya akan membuat tidak stabil,” kata Austin.
Namun, negara-negara Afrika tidak terlalu peduli dengan pernyataan ini. KTT minggu ini hanyalah yang kedua yang diselenggarakan AS dalam delapan tahun, setelah pemerintahan Obama memprakarsai KTT AS-Afrika pertama pada 2014.
Ini menunjukkan betapa AS peduli terhadap Afrika. Sikap AS ini sangat kontras dengan komitmen China yang berkelanjutan untuk proyek ekonomi besar-besaran dengan negara-negara di Global South, termasuk Afrika.
Forum Kerjasama China-Afrika yang diadakan rutin setiap tiga tahun sekali sejak 2000 menjadi bukti akan hal itu.
Ada juga dukungan berkelanjutan dari Beijing (dan Moskow) untuk gerakan pembebasan melawan pemerintahan kolonial (neo) yang menghancurkan politik Barat, serta ruang lingkup investasi komersial dan ekonomi yang sangat besar di “Jalur Sutera Baru” (atau “Belt and Road”).
Proyek besar ini menjadikan raksasa Asia sebagai mitra dagang terbesar di benua itu.
Ini berjalan dua arah, karena tahun lalu pertukaran perdagangan antara China dan benua itu melebihi $ 254 miliar, yang merupakan empat kali lipat perdagangan antara AS dan Afrika.(Tribunnews.com/Southfront/xna)