Jelang Natal, Pemerintah Shanghai Desak Warganya Berada di Rumah Akibat Melonjaknya Kasus Covid-19
komisi kesehatan Shanghai pun juga mengimbau para kaum muda untuk menghindari pertemuan yang ramai, karena mudahnya penyebaran virus corona.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Pihak berwenang Shanghai meminta warga setempat untuk tetap tinggal di rumah menjelang perayaan Natal di akhir pekan ini.
Hal itu menyusul lonjakan kasus Covid-19 usai dicabutnya pembatasan dalam beberapa waktu terakhir.
Dikutip dari Reuters, komisi kesehatan Shanghai pun juga mengimbau para kaum muda untuk menghindari pertemuan yang ramai, karena mudahnya penyebaran virus corona.
Baca juga: Kasus Kematian Covid-19 di China Diperkirakan Lebih dari 5.000 per Hari
Seperti diketahui, Shanghai biasanya menjadi tuan rumah pasar besar bertema Natal di area perbelanjaan mewah di sepanjang Nanjing West Road, dan restoran untuk menghidupkan aktivitas bisnis.
Namun, lonjakan kasus Covid-19 terutama varian Omicron dalam beberapa waktu terakhir telah membuat acara tersebut dibatalkan.
Di samping itu, banyak restoran Shanghai telah membatalkan pesta Natal yang biasanya diadakan untuk pengunjung tetap, sementara hotel telah membatasi pemesanan karena kekurangan staf.
"Hanya ada sejumlah pelanggan yang dapat kami terima mengingat tenaga kami, dengan mayoritas anggota tim yang tidak sehat saat ini," kata Jacqueline Mocatta, karyawan yang bekerja di industri perhotelan.
Skeptisme Tentang Data Covid-19 China
Airfinity baru-baru ini merilis sebuah data yang menyebutkan bahwa infeksi Covid-19 di China kemungkinan tercatat lebih dari satu juta kasus dalam sehari dengan kematian lebih dari 5.000.
Baca juga: Krematorium di China Penuh Sesak oleh Lonjakan Kematian Akibat Covid-19
Di sisi lain, Bloomberg dalam laporannya pada Jumat (23/12/2022) mengatakan bahwa hampir 37 juta penduduk China mungkin telah terinfeksi Covid-19 dalam kurun waktu seminggu terakhir, mengutip perkiraan dari otoritas kesehatan utama pemerintah.
Sementara itu, otoritas kesehatan nasional China pada Sabtu (24/12/2022) melaporkan 4.128 kasus infeksi Covid-19 bergejala, dan tidak ada kematian selama empat hari berturut-turut.
Lonjakan Kasus Covid-19 di China
China tengah berjuang untuk menahan kemungkinan terjadinya wabah terbesar virus corona (Covid-19) yang pernah ada di dunia.
Negara ini mungkin mencatat satu juta kasus Covid-19 dan 5.000 kematian setiap 24 jam.
Hal ini dilaporkan Bloomberg pada Kamis kemarin mengutip penelitian baru yang dilakukan oleh perusahaan analitik yang berbasis di London, Inggris, Airfinity Ltd.
Dikutip dari laman www.hindustantimes.com, Jumat (23/12/2022), menurut Airfinity Ltd., gelombang kasus saat ini diperburuk oleh desakan China untuk menghapus protokol Covid-19.
Baca juga: Mengenal BF.7, Subvarian Omicron Pemicu Lonjakan Kasus Covid-19 di China
Ini yang akhirnya membuat sub-varian baru Omicron muncul, yakni BF.7.
Kasus baru setiap harinya pun diprediksi meningkat menjadi 3,7 juta pada bulan depan dan angka yang menakutkan tercatat pada Maret lalu saat jumlah kasus mencapai 4,2 juta.
Pemodelan skala dan jumlah korban wabah terbaru China oleh Airfinity Ltd ini menggunakan data provinsi dan menggarisbawahi dampak dari keputusan pemerintahan Presiden Xi Jinping yang secara tiba-tiba membatalkan kebijakan 'nol Covid' yang kontroversial itu.
Ahli Epidemiologi Amerika Eric Feigl-Ding pun minggu ini mengatakan bahwa keputusan ini seolah 'membiarkan siapapun yang terinfeksi, biarkan terinfeksi.
Lalu biarkan siapapun yang perlu mati untuk mendekat'.
Peringatan lebih dari satu juta kasus harian yang disampaikan kelompok London itu terkait dengan apa yang diklaim oleh Wu Zunyou dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) China.
Menurutnya 'gelombang pertama akan berlangsung dari sekarang hingga pertengahan Januari 2023.
Baca juga: China Punya Aturan Baru Hitung Kasus Kematian Akibat Covid-19
Sedangkan gelombang kedua kemungkinan akan menyusul segera setelahnya.
Lalu yang ketiga, kata dia, akan berlangsung dari akhir Februari 2023 hingga pertengahan Maret 2023, saat orang kembali untuk bekerja dari liburan mereka.