Sekjen PBB: Korea Utara Punya Tanggung Jawab Atas Pembicaraan Penghentian Program Nuklir
Korea Utara telah dikenakan sanksi PBB sejak 2006 terkait program rudal nuklir dan balistiknya.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan pada Kamis kemarin bahwa Korea Utara (Korut) bertanggung jawab untuk kembali ke pembicaraan penghentian program senjata nuklir.
Korea Utara telah dikenakan sanksi PBB sejak 2006 terkait program rudal nuklir dan balistiknya.
Baca juga: Hadapi Korea Utara, Presiden Korea Selatan Siap Persenjatai Negaranya dengan Senjata Nuklir
Dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (13/1/2023), apa yang disebut sebagai pembicaraan denuklirisasi enam pihak yang melibatkan Korut, Korea Selatan (Korsel), China, Amerika Serikat (AS), Rusia dan Jepang, telah terhenti pada 2009.
Pembicaraan antara pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden AS saat itu Donald Trump pada 2018 dan 2019 juga mengalami kegagalan.
China dan Rusia sejak saat itu pun mendorong agar sanksi PBB dilonggarkan untuk tujuan kemanusiaan dan membujuk Korea Utara untuk kembali berunding.
"Program senjata nuklir melanggar hukum yang dikejar oleh Republik Rakyat Demokratik Korea (Korut) adalah bahaya yang jelas dan nyata, mendorong risiko dan ketegangan geopolitik ke ketinggian baru," kata Guterres, menggunakan nama resmi Korea Utara.
Pernyataan ini ia sampaikan dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) tentang aturan hukum, yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa. Hayashi.
"Tanggung jawab ada pada DPRK untuk memenuhi kewajiban internasionalnya dan kembali ke meja perundingan," jelas Guterres.
Baca juga: Presiden Joe Biden: Amerika Tidak Merencanakan Latihan Nuklir Bersama Korea Selatan
Misi Korea Utara untuk PBB di New York pun tidak segera menanggapi permintaan komentar terkait pernyataan Guterres.
Namun pada November 2022, Menteri Luar Negeri Korea Utara menuduh Guterres berpihak pada AS dan gagal menjaga ketidakberpihakan serta objektivitas.
China mengatakan pada tahun lalu bahwa kunci untuk menyelesaikan masalah rudal balistik dan program nuklir Koreut ada di tangan AS.
Negara itu pun mendesak AS untuk menunjukkan sikap yang 'lebih tulus dan fleksibel' jika menginginkan terobosan.
Terkait hal ini, AS telah mengatakan bahwa 'terserah Korut' untuk memutuskan apakah akan terlibat dalam pembicaraan mengenai program senjata nuklirnya atau tidak.
Di sisi lain, Korut telah menolak permohonan diplomasi AS sejak Presiden Joe Biden menggantikan Trump pada Januari 2021.
Korea Utara bahkan pada tahun lalu melanjutkan uji coba rudal balistik antarbenua untuk pertama kalinya sejak 2017.
Baca juga: Lawan Ancaman Kim Jong Un, Korea Selatan Ajak AS Gelar Latihan Militer Dengan Senjata Nuklir
Negara itu juga bersiap untuk membuka kembali lokasi uji coba nuklirnya, meningkatkan prospek uji coba bom nuklir baru untuk kali pertama sejak beberapa tahun silam.