Jalur Sutera yang Digagas China Dikhawatirkan Jadi Jebakan Utang Bagi Negara Berkembang
Belt and Road Initiative atau Jalur Sutera dan Jalur Maritim Abad ke-21 dicanangkan Presiden Xi Jinping pada tahun 2013 dan diluncurkan pada 2014.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah China diinformasikan telah menghabiskan lebih dari US$1 triliun untuk membiayai awal proyek ambisius Beijing yakni Belt and Road Initiative (BRI) sebagai kendaraan untuk memperluas pengaruh Tiongkok di pasar negara berkembang, dari Asia hingga Amerika Selatan.
Belt and Road Initiative atau Jalur Sutera dan Jalur Maritim Abad ke-21 dicanangkan Presiden Xi Jinping pada tahun 2013 dan diluncurkan pada 2014.
Program ini bertujuan menyebar investasi dan pembiayaan China di luar negeri untuk berbagai sektor mulai dari infrastruktur hingga energi.
Sejak diluncurkan, program Belt and Road Initiative (BRI) sudah melibatkan sedikitnya 147 negara yang sebagian besar tersebar di Asia dan Afrika.
Sementara untuk negara-negara di kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia telah menjadi penerima program BRI terbanyak.
Beberapa pengamat menilai langkah ini dilakukan Beijing untuk mematahkan perdagangan minyak yang berdenominasi mata uang dolar, serta bergarap banyak pemimpin China di sekitar Timur Tengah di tahun-tahun mendatang.
Baca juga: Konflik Rusia-Ukraina Merusak Mimpi China Atas Proyek Jalur Sutra di Eropa
Seiring dengan perjalanan waktu, beberapa negara yang ikut dalam program Belt and Road Initiative (BRI), mulai menyatakan komplain dengan kualitas proyek BRI yang dibangun Beijing di negaranya.
The Wall Street Journal baru-baru ini melaporkan beberapa proyek BRI dari Ekuador hingga Zambia yang mengalami cacat konstruksi yang parah.
Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) mengingatkan negara-negara dunia khususnya Indonesia terkait mutu serta kualitas produk atau barang-barang China yang tidak terkenal kurang baik.
Peneliti senior Centris AB Solissa mengatakan negara-negara dunia seyogianya menerapkan kebijakan dan kontrol yang sangat ketat sebelum menggunakan produk atau barang-barang China, khususnya yang menyangkut atau berkaitan dengan hajat hidup rakyat dan negara.
“Saya rasa kita dan masyarakat dunia lainnya sudah mengetahui mutu dan kualitas produk atau barang-barang China yang membanjiri pasar di hampir seluruh dunia. Cacat, sering kali tidak berfungsi dan tidak tahan lama,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jumat (17/2/2023).
Dilansir dari The Wall Street Journal, lanjut AB Solissa, diketahui terdapat banyak retakan pada bangunan proyek pembangkit listrik tenaga air Coca Codo Sinclair di Ekuador senilai US$2,7 miliar, yang tentunya menjadi fakta dan contoh buruknya mutu atau kualitas produk China.
Banyaknya retakan pada bangunan yang dibangun Beijing ini membuat negara tersebut terpaksa melumpuhkan semua aktifitas dan kegiatan di proyek strategis negara hasil utang China yang menjadi salah satu sumber listrik terbesar di Ekuador.
“Meski salah dalam kebijakan menggunakan produk China, langkah pemerintah Ekuador untuk shutdown seluruh aktifitas di bangunan buatan Beijing sudah tepat demi menyelamatkan jiwa dan raga pekerja serta warga sekitar proyek pembangkit tenaga listrik,” tutur AB Solissa.
Masifnya pembangunan mega program Belt and Road Initiative juga banyak di kritik negara-negara barat, karena dinilai menjadi jebakan utang bagi negara-negara berkembang dan miskin.
Bunga rendah dan kemudahan memperoleh dana untuk membangun infrastruktur yang ditawarkan Beijing, justru membuat banyak negara terbebani karena tanpa atau dengan sadar, mereka terjebak hutang China yang harus mereka bayar dengan mahal.
Deretan negara yang dinilai "terjebak" dalam utang China diantaranya adalah Laos, Pakistan, Sri Lanka, serta puluhan negara kecil di Afrika.
Pada periode 2006-2019, China menanamkan investasi senilai US$ 12,1 miliar dalam pembangunan infrastruktur Sri Lanka.
Termasuk di dalamnya adalah membangun Pelabuhan Hambantota yang dikritik lawan politik President Mahinda Rajapaksa karena dinilai berbau nepotisme.
Beban utang dan krisis ekonomi serta politik membuat Sri Lanka tak mampu membayar kewajibannya.
Sri Lanka sudah dinyatakan default karena tak mampu membayar bunga utang senilai US$ 73 juta pada Mei lalu.
Selain Sri Lanka, ada Laos dan Pakistan yang kini menjadi sorotan karena terancam default dan banyak berhutang ke China.
“Ibarat candu, jebakan utang China akan membuat negara yang menggunakannya ‘terjajah’. Lihat saja Srilanka,” pungkas AB Solissa.