Protes Perang di Ukraina, Anak-anak Rusia Jadi Sasaran Tindakan Keras Kremlin
Keluarga Moskalyev telah dimasukkan ke dalam daftar keluarga dalam situasi berbahaya secara sosial.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Seorang anak berusia 12 tahun di Rusia dihukum karena menunjukkan gambar yang menentang perang di Ukraina.
Ini menjadi tanda terbaru dari tindakan keras Kremlin terhadap kaum muda Rusia.
Anak perempuan bernama Masha Moskalyova pada April lalu diminta menggambar untuk kelas seni yang menunjukkan dukungannya terhadap "operasi khusus" Rusia di Ukraina.
Dikutip dari Al Jazeera, Masha ternyata menggambar seorang ibu dan seorang anak yang berdiri di jalur misil dengan tulisan "tidak untuk perang" dan " kemuliaan bagi Ukraina".
Baca juga: Komandan Termuda Ukraina Tewas dalam Pertempuran, Dipuji sebagai Pahlawan oleh Presiden Zelensky
Ayah Masha, Alexey Moskalyev, yang membesarkannya sendirian di kota Yefremov, di wilayah Tula, sekitar 125 mil dari ibu kota Moskow, dipanggil ke sekolah pada keesokan harinya.
Kemudian, keduanya dibawa pergi dengan mobil polisi. Alexey diinterogasi oleh petugas lokal, yang menemukan komentar meremehkan yang dia buat secara online tentang militer Rusia.
Di pengadilan, Alexey didenda 32.000 rubel atau sekitar 420 dolar AS karena mendiskreditkan angkatan bersenjata.
Keesokan harinya, agen Layanan Keamanan Federal Rusia (FSB) mengunjungi sekolah Masha, menuduh Alexey mengasuh anaknya dengan buruk dan mengatakan Masha harus dibawa pergi. Setelah itu, Masha mengaku takut untuk mengikuti kelas.
Alexey akhirnya ditangkap, sedangkan Masha dibawa pergi dan dirawat pihak berwenang. Ini menjadi tanda seberapa jauh otoritas Rusia menekan kritik terhadap perang di Ukraina.
Pada 30 Desember 2022, lima mobil polisi dan satu truk pemadam kebakaran diparkir di luar rumah mereka.
Alexey mengatakan kepada kelompok hak asasi manusia Rusia, OVD-Info, dia tidak ingin membiarkan mereka masuk tanpa surat perintah, namun akhirnya dia membuka pintu ketika mereka mulai menerobos masuk.
Polisi dan FSB menggeledah apartemen tempat tinggal mereka, diduga mengambil tabungan keluarga, ponsel, laptop, dan gambar anti perang Masha.
Pihak berwenang Moskow dan Komite Investigasi untuk Wilayah Tula belum menanggapi permintaan komentar dari Al Jazeera mengenai hal ini.
Alexey mengklaim, kepalanya dibenturkan ke dinding dan dia dikunci di sebuah ruangan dengan lagu kebangsaan Rusia yang diputar dengan suara keras. Dia kemudian didakwa lagi karena mendiskreditkan tentara, sehingga Alexey sekarang menghadapi hukuman tiga tahun penjara.
Pekan lalu, Alexey ditahan selama dua hari di pusat penahanan pra-sidang sementara Masha, yang saat ini berusia 13 tahun, dibawa ke tempat penampungan anak.
Menurut pengacaranya Vladimir Biliyenko, Alexey telah dibebaskan dan menjadi tahanan rumah.
“Alexey berada dalam tahanan rumah, dia hanya diperbolehkan menghubungi saya dan para penyelidik,” ungkap Biliyenko.
“Masha ada di tempat penampungan. Kami sedang bekerja agar dia kembali dan tahanan rumah dicabut. Kami telah mengajukan pengaduan kepada jaksa agung dan Komisaris Hak Asasi Manusia di Federasi Rusia. Jika sang ayah menerima hukuman penjara, putrinya akan dikirim ke panti asuhan," imbuhnya.
Biliyenko tidak mengomentari dugaan penganiayaan Alexey selama dalam tahanan.
Kepala komisi kota Yefremov untuk urusan remaja, Svetlana Davydova, mengatakan kepada media pemerintah Rusia RBC, keluarga Moskalyev telah dimasukkan ke dalam daftar "keluarga dalam situasi berbahaya secara sosial".
Masha saat ini terjebak di pusat anak-anak, dan menurut media lokal dia tidak akan dibebaskan.
“Sudah umum bagi seluruh keluarga untuk diseret ke dalam penganiayaan, bahkan jika hanya satu anggota yang 'bersalah' di mata rezim, terutama jika seseorang itu masih di bawah umur,” kata redaktur pelaksana OVD-Info English, Dan Storyev.
Tidak hanya Masha, seorang siswi Moskow berusia 10 tahun ditahan ketika orang tua teman sekelasnya melaporkan dia menggunakan "Saint Javelin" sebagai foto profil dalam obrolan kelompok kelas.
Saint Javelin adalah sebuah meme yang menjadi simbol perlawanan Ukraina di masa perang, dengan gambar ikon religius berjubah kuning dan biru yang memegang senjata besar.
Belakangan diketahui, gadis itu dan ibunya diinterogasi serta rumah mereka digeledah, tetapi pada akhirnya tidak ada tuntutan yang diajukan.
Dalam kasus lain di Siberia timur, anak laki-laki pengunjuk rasa anti-perang bernama Natalia Filonova berusia 16 tahun dikirim ke panti asuhan terpencil yang berjarak 186 mil dari rumahnya, sementara dia ditahan karena berpartisipasi dalam rapat umum dan diduga menyerang dua petugas polisi dengan pulpen.
“Saat ini kami melihat tren yang mengkhawatirkan tentang anak di bawah umur yang dianiaya oleh rezim, bersama dengan keluarga mereka,” lanjut Storyev.
“Tujuan rezim adalah untuk menimbulkan rasa takut, sehingga mereka mengancam keluarga dengan pemisahan, mengklaim bahwa orang tua tidak membesarkan anak dengan benar, seperti yang terjadi pada Alexey (Moskalyev),” ungkapnya.
Storyev memberikan contoh lain di mana anak di bawah usia 18 tahun berselisih dengan pihak berwenang setelah memberikan pendapat anti perang.
Tidak hanya itu, dua siswa sekolah menengah dilecehkan oleh publik karena menolak untuk berdiri selama lagu kebangsaan Rusia, dan sebaliknya malah memainkan lagu kebangsaan Ukraina.
Baca juga: Zelensky Sebut Rusia Bisa Rebut Kota-kota Utama di Ukraina jika Bakhmut Dikuasai
Di kota Yekaterinburg, seorang anak dimarahi di depan umum karena menulis surat kepada seorang tentara, mendesaknya untuk tidak membunuh orang-orang di Ukraina dan memintanya untuk segera pulang.
Sementara seorang anak berusia 16 tahun didenda karena mengatakan jika dia mengikuti wajib militer, dia akan berjuang untuk Ukraina, kata Storyev.
“Menurut data kami, setidaknya 544 anak di bawah umur ditahan dalam protes anti-perang dalam satu tahun terakhir, dan tujuh anak di bawah umur saat ini dituntut secara pidana karena posisi anti-perang mereka,” ujarnya.
“Secara khusus, anak di bawah umur menjadi sasaran untuk membagikan postingan atau komentar tentang unjuk rasa anti perang, menyebarkan selebaran menentang mobilisasi dan perang, mengadakan demonstrasi tunggal, mengungkapkan pandangan anti perang selama acara sekolah, mendemonstrasikan pakaian anti perang, dan membuat prasasti anti perang," lanjut Storyev.
Storyev juga menyebutkan ada kasus di mana remaja muda ditangkap karena melakukan tindakan secara langsung untuk menyabotase rel kereta api dan pembakaran kantor wajib militer.
Sementara itu, pihak berwenang Rusia mencoba menanamkan patriotisme di generasi muda dengan mengadakan kelas dan program ekstrakurikuler "percakapan penting".
“Rezim mencoba memasukkan anak-anak ke dalam budaya yang sangat termiliterisasi. Upaya untuk melakukannya telah berlangsung jauh sebelum perang, negara mensponsori sekolah kadet dan kelas kadet di sekolah reguler. (Masha) pergi ke sekolah seperti itu dengan kelas kadet," kata Storyev.
“Melalui serangan terhadap sekolah, anak-anak, dan orang tua, Kremlin bertujuan untuk melenyapkan dan menakuti masyarakat sipil Rusia, tetapi terlepas dari segalanya, para aktivis Rusia, di antaranya anak-anak dan orang tua, terus menentang perang, bahkan dengan biaya yang mengerikan,” pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.