Presiden Rusia Vladimir Putin Kunjungi Krimea setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
Di peringatan 9 tahun pencaplokan Krimea, Vladimir Putin melakukan perjalanan ke daerah tersebut pada menit-menit terakhir.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin diam-diam melakukan perjalanan ke pusat anak-anak di Krimea pada hari peringatan aneksasi Kremlin atas wilayah tersebut.
Dilansir Independent, Putin mengunjungi sekolah seni dan pusat anak-anak pada hari Sabtu (18/3/2023), sehari setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya atas tuduhan kejahatan perang.
ICC secara khusus menuduh Putin melakukan penculikan anak-anak Ukraina selama invasi yang dimulai hampir 13 bulan lalu.
Menanggapi langkah ICC, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa Putin "jelas melakukan kejahatan perang".
Biden menambahkan, “Saya pikir itu dibenarkan."
"Tapi pertanyaannya adalah – surat perintah penangkapan itu tidak diakui secara internasional bahkan oleh kami."
Baca juga: Alasan Presiden Rusia Vladimir Putin Sulit Ditangkap meski ICC Rilis Surat Perintah
"Tapi saya pikir tindakan itu membuat poin yang sangat kuat."
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan Rusia tidak mengakui ICC dan menganggap keputusannya "tidak sah secara hukum".
Rusia mencaplok Krimea dari Ukraina pada 2014.
Pencaplokan itu dianggap ilegal oleh sebagian besar dunia.
Bisakah Putin ditahan di luar negeri karena surat perintah penangkapan ICC?
Masih mengutip Independent, 123 negara anggota ICC wajib menahan dan memindahkan Putin jika dia menginjakkan kaki di wilayah mereka.
Rusia bukan anggota ICC dan begitu pula China, Amerika Serikat atau India, yang menjadi tuan rumah pertemuan puncak akhir tahun ini dari para pemimpin kelompok ekonomi besar G20, termasuk Rusia.
Baca juga: 2 Jaksa Jepang Dikirim ke ICC Selidiki Kejahatan Perang Rusia-Ukraina
Pengadilan kejahatan perang permanen dunia diciptakan oleh Statuta Roma, sebuah perjanjian yang diratifikasi oleh semua negara Uni Eropa, serta Australia, Brasil, Inggris, Kanada, Jepang, Meksiko, Swiss, 33 negara Afrika, dan 19 negara di Pasifik Selatan.
Rusia menandatangani Statuta Roma pada tahun 2000, tetapi menarik dukungannya pada tahun 2016 setelah ICC mengklasifikasikan pencaplokan Semenanjung Krimea Ukraina oleh Moskow sebagai konflik bersenjata.
“Putin tidak bodoh. Dia tidak akan bepergian ke luar negeri ke negara di mana dia mungkin ditangkap,” kata asisten profesor sejarah di Universitas Utrecht Iva Vukusic.
“Dia tidak akan dapat melakukan perjalanan cukup banyak ke tempat lain di luar negara-negara yang jelas-jelas bersekutu atau setidaknya bersekutu (dengan) Rusia,” kata Vukusic.
Akankah Putin diadili setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya?
Surat perintah penangkapan ICC adalah surat pertama dikeluarkan terhadap pemimpin salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan Maria Lvova-Belova, komisaris Hak Anak di Kantor Presiden Federasi Rusia.
Langkah tersebut dikecam oleh Moskow tetapi disambut baik oleh Ukraina sebagai terobosan besar.
Tapi, kemungkinan Putin diadili di ICC sangat kecil karena Moskow tidak mengakui yurisdiksi ICC atau mengekstradisi warga negaranya.
Pernahkah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk kepala negara lain?
Mantan presiden Sudan Omar al-Bashir dan Muammar Gaddafi dari Libya adalah satu-satunya pemimpin negara yang didakwa oleh ICC saat menjabat sebagai kepala negara.
Tuduhan terhadap Gaddafi dihentikan setelah dia digulingkan dan dibunuh pada tahun 2011.
Bashir, yang didakwa pada 2009 atas genosida di Darfur, tetap menjabat selama satu dekade lagi sampai dia digulingkan dalam kudeta.
Dia telah diadili di Sudan untuk kejahatan lain tetapi belum diserahkan ke ICC.
Saat menjabat, dia melakukan perjalanan ke sejumlah negara Arab dan Afrika, termasuk negara anggota ICC Chad, Djibouti, Yordania, Kenya, Malawi, Afrika Selatan, dan Uganda, yang menolak untuk menahannya.
Pengadilan menegur negara-negara tersebut atau mengadukan mereka ke Dewan Keamanan PBB karena ketidakpatuhan.
ICC telah mengadili seorang mantan kepala negara setelah dia meninggalkan jabatannya, yakni mantan Presiden Pantai Gading Laurent Gbagbo, yang dibebaskan dari semua tuduhan pada 2019 setelah menjalani persidangan selama tiga tahun.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)