Sudah Butuh Bantuan Kemanusiaan Dari Indonesia
Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali berharap adanya bantuan kemanusiaan dari komunitas internasional pada masa konflik perang saudara
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali berharap adanya bantuan
kemanusiaan dari komunitas internasional pada masa konflik perang saudara di negaranya.
Dalam konferensi pers yang digelar rumah dubes Sudan di Kuningan Jakarta, Yassir menyatakan
beberapa fasilitas rumah sakit di Khartoum telah hancur imbas gencatan senjata.
"Kami membutuhkan bantuan kemanusiaan mendesak, terutama bagi mereka yang terluka," kata Yassir, Rabu (3/5/2023).
Baca juga: Perang Saudara di Sudan, SAF dan RSF Setuju Gencatan Senjata 7 Hari
"Kami membutuhkan bantuan rumah sakit juga,"urainya.
Yassir mengatakan fasilitas medis rusak parah terkena proyektil militer dan milisi RSF (Rapid Support Forces) di Sudan.
Pihak Kedubes Sudan juga berencana menemui Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin terkait
kebutuhan fasilitas kesehatan yang diperlukan negaranya.
"Kami memiliki beberapa daftar bantuan yang dibutuhkan. Saya akan bertemu dengan menteri kesehatan untuk menyampaikan hal ini," sambung dia.
Sudan, lanjut Yassir, sudah menerima beberapa bantuan kemanusiaan dari negara tetangga seperti Oman dan Mesir.
Baca juga: Konflik Memanas, Nasib Kelanjutan Studi Mahasiswa Indonesia Diungkap Dubes Sudan
Namun pihaknya berharap mendapatkan bantuan dari negara lainnya.
"Kami tidak menutup pintu menerima bantuan dari beberapa negara sahabat, termasuk Indonesia," tukasnya.
Dubes Yassir juga menyatakan terus menjalin komunikasi dengan pemerintah Indonesia dalam hal
ini Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terkait kondisi dan konflik terbaru di Sudan.
Baca juga: PBB: Konflik Sudan Picu Krisis Pengungsi
"Mengenai konflik, kita akan bertemu melaporkan perkembangan terakhir," katanya.
ubes Yassir menyebut RSF tidak mau duduk bersama dengan pemerintah.
"Mereka hanya memiliki dua pilihan antara terus mempersenjatai diri dan menyerah atau mereka harus menghadapi konsekuensinya."
"Saya menyebutnya sebagai kelompok pemberontak yang melawan seluruh negeri dan mereka ingin merebut kekuasaan dengan paksa karena mereka berusaha membunuh presiden Sudan,"kata Dubes Yassir.
Dubes Yassir menyebut RSF enggan duduk bersama dengan pemerintah.
"Mereka hanya memiliki dua pilihan antara terus mempersenjatai diri dan menyerah atau mereka harus menghadapi konsekuensinya,"kata Yassir.
"Saya menyebutnya sebagai kelompok pemberontak yang melawan seluruh negeri dan mereka ingin merebut kekuasaan dengan paksa karena mereka berusaha membunuh presiden Sudan,"ungkapnya.
Nasib Mahasiswa
Banyaknya mahasiswa islam Indonesia yang berkuliah di Sudan juga menjadi perhatian Dubes Yassir dalam konferensi pers itu.
Yang terpenting, menurutnya, seluruh mahasiswa Indonesia sudah dievakuasi dari Sudan oleh
pemerintah Indonesia.
Yassir belum tau pasti, dan berharap kondisi negaranya membaik supaya mahasiswa Indonesia bisa kembali ke Sudan untuk melanjutkan studi.
"Mereka sudah dievakuasi oleh KBRI Khartoum. Saya berharap, jika kondisi membaik, mereka bisa kembali lagi ke Sudan untuk menuntaskan studi," katanya.
Sudan sendiri menerima banyak mahasiswa asal Indonesia yang belajar di beberapa universitas yang ada di Khartoum, termasuk University International of Africa.
Baca juga: Kenya Evakuasi Lebih dari 900 Orang Termasuk WNA yang Ingin Keluar dari Sudan
Yassir mengatakan pemerintah Sudan tengah berupaya memulihkan pelayanan di kampus-kampus.
Dia berharap situasi segera membaik dan pemulihan ini segera rampung, sehingga kampus bisa beroperasi kembali dengan normal tiga hingga empat bulan mendatang.
"Pelayanan kampus sedang dipulihkan. Mahasiswa telah dievakuasi dengan aman dan pulang ke Jakarta,"ujar Yassir.
"Mereka bisa kembali ke Sudan secepat mungkin, jika mereka berkenan untuk melanjutkan pendidikan. Kami memprediksi situasi akan kembali normal dan sekolah dapat kembali berjalan normal. Insya Allah normal tiga atau empat bulan lagi," imbuh dia. (Tribun Network/Reynas Abdila)