Kisah Tragis Ekspatriat yang Bunuh Istri Demi Cinta: David Beri Kecupan Terakhir di Ranjang Kematian
David mengabulkan permintaan sang istri untuk mengakhiri hidup karena tidak tahan atas penyakit parah yang dia derita.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Kisah Tragis Seorang Ekspatriat yang Membunuh Istri Karena Cinta: David Jadi Miskin di Penjara
TRIBUNNEWS.COM - Cerita tragis sekaligus mengharukan datang dari sosok David Hunter, seorang ekspatriat asal Inggris yang menetap di Siprus.
Pria 75 tahun itu didakwa pengadilan negara tersebut atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap istrinya Janice, 74 tahun, yang menderita sakit kronis.
Belakangan, David dibebaskan dari tuduhan pembunuhan berencana, Jumat (21/7/2023).
Baca juga: Sosok Budi Winarno, Masinis KA Brantas yang Lakukan Aksi Heroik Selamatkan Penumpang Saat Kecelakaan
David kemungkinan akan bebas pekan depan untuk menghadapi dakwaan yang lebih ringan atas kematian istrinya tersebut.
David Hunter yang sudah menjalani 19 bulan kurungan di penjara Siprus, dinyatakan tidak bersalah atas pembunuhan berencana karena mengakhiri penderitaan istri yang juga kekasih dari masa kecilnya itu.
Meski begitu, David akan menjalani dakwaan atas tuduhan pembunuhan dengan tingkat yang lebih rendah oleh seorang hakim di Siprus.
Vonis hakim ini membuat David bisa ke luar dari penjara dengan hukuman percobaan.
David akan mengetahui nasibnya di Pengadilan Distrik Paphos, Siprus, Jumat depan.
Jatuh Miskin di Penjara
Laporan DailyMail mengungkapkan, Hunter jatuh miskin lantaran kasus yang dia hadapi ini.
Begitu miskinnya sampai-sampai dia tidak punya biaya lagi untuk mengajukan banding jika dia dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana tersebut.
Biaya selama bolak-balik menjalani persidangan sepanjang 19 bulan, menghabiskan seluruh tabungannya.
Hal itu juga yang membuatnya bahkan tidak mampu menelepon ke teman dan kerabat selama di penjara.
David harus bertahan hidup dari jatah yang sedikit yang ditawarkan secara gratis selama menjalani persidangan.
"Hal itu menghancurkan hati saya," kata putrinya, Lesley Cawthorne (50).
"Ketika ibu saya masih hidup, dia punya rumah, mobil, dan uang di bank. Sekarang dia punya tas dan pakaian di badan – hanya itu yang dia punya," katanya lagi.
David Hunter menghadapi hukuman seumur hidup wajib jika dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana itu.
Dana crowdfunding yang digalang untuk ongkos pembelaannya di pengadilan, kosong.
David juga telah berutang ribuan poundsterling untuk membiayai pembelaannya atas kasus tersebut hingga saat ini.
"Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Dia bilang dia ingin mengajukan banding, dia berkata, 'Kita harus (banding), saya tidak bisa menghabiskan sisa hidup saya di sini'," kata Lesley menuturkan perkataan sang ayah.
"Sejujurnya saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Saya tidak tahu dari mana kami akan mendapatkan uang. Ini akan menghabiskan ribuan pound," paparnya.
Selama menjalani kurungan, David menjalin persahabatan dengan teman satu sel yang juga asal Inggris, Owen Williams (27).
Tapi setelah Williams dibebaskan tiga bulan lalu, David dikurung bersama 11 penjahat kelas berat lainnya yang tidak bisa berbahasa Inggris.
Satu-satunya kesempatannya untuk berbicara adalah melalui teleponnya, tetapi karena tidak punya uang, David sekarang hanya mampu sesekali menelepon putrinya.
"Dia tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara. Dia tidak bisa menelepon kerabat," kata sang putri.
"Dia tidak diizinkan menerima telepon, dia harus membayar untuk menelepon sendiri. Dia belum bisa berbicara dengan saudaranya untuk sementara waktu, atau teman-temannya Barry dan Kevin. Dia hanya berbicara kepada saya."
"Ini benar-benar menghancurkan," kata Lesley.
Turuti Istri Lalu Mencoba Bunuh Diri
David Hunter disebutkan ingin memberikan penghormatan terakhir kepada istrinya jika dia dibebaskan.
Pensiunan penambang Northumberland itu terpaksa merawat Janice yang mengidap kanker darah stadium akhir di rumah dengan suntikan lantaran PPKM semasa pandemi Covid saat kondisi istrinya tersebut memburuk di depan matanya.
Di hari-hari terakhirnya, Jenice menangis kesakitan 24 jam sehari, tidak bisa beranjak dari sofa atau minum obat penghilang rasa sakit.
Keputusasaaan itu mendorong Jenice memohon agar sang suami bersedia membunuhnya.
David mengabaikan permintaan itu berkali-kali namun akhirnya mengalah dan mengambil nyawanya pada 18 Desember 2021.
Setelah itu, David mencoba bunuh diri, menggunakan narkoba dan alkohol dengan tujuan overdosis.
Tetapi petugas medis berhasil menyelamatkan hidupnya sebelum dia ditangkap karena dicurigai atas pembunuhan berencana.
Sejak itu dia mendekam di penjara dengan keamanan tinggi di Nicosia, Siprus.
Kini David telah dibebaskan dari pembunuhan berencana tetapi dinyatakan bersalah atas tuduhan pembunuhan dengan derajat yang lebih ringan.
Hal itu berarti dia bisa bebas paling cepat minggu depan.
"Dia ingin melihat (makam) ibuku. Dia ingin duduk dan berbicara dengannya. Dia membutuhkan itu untuk kesehatan mentalnya," kata Lesley.
"Saya pikir jika dia ditawari untuk dibebaskan tetapi dia tidak dapat mengunjunginya (makam Jenice) dan harus langsung kembali, dia akan menolak. Dia hanya ingin mengunjungi ibuku," kata Lesley.
Membunuh Karena Cinta
Selama persidangannya di Siprus, pengadilan mendengar bagaimana David mengakhiri hidup Janice karena motif 'cinta dan belas kasihan'.
"Fakta kasus ini berkaitan dengan kejahatan cinta dan belas kasihan," kata Ritsa Pekri, salah satu pengacara David.
"Tidak ada kasus lain yang serupa dengan ini dalam sejarah hukum Siprus," tambahnya.
Dia menekankan bahwa selama persidangan tidak ada seorang pun yang dapat memberikan kesaksian yang menunjukkan riwayat kekerasan atau niat buruk dari David terhadap sang istri.
"Tidak ada pernyataan saksi yang menunjukkan dia muak merawat istrinya. Semua orang mengatakan mereka saling mencintai," katanya di pengadilan, menurut Cyrpus Mail.
Pada bulan Mei, David memberi kesaksian di pengadilan bagaimana sang istri terpaksa memakai popok, penuh lesi kulit, dan tidak tahan lagi terhadap efek kanker darah yang dia idap.
Dua saksi terakhir dalam persidangan kemudian bersaksi, memberi tahu pengadilan bagaimana kondisi Janice memburuk di tahun-tahun terakhir hidupnya dan bagaimana dia menjadi semakin tertekan.
Melalui semua itu, kata mereka, David tetap menjadi suami yang penyayang.
"Janice sering memberi tahu kami bahwa keinginan besarnya adalah tidak dibawa ke rumah sakit. Dan saya pikir, (upaya) David (merawat) membuat ini mungkin," kata Helmut Kesting, seorang tetangga dari pasangan Inggris itu, di pengadilan.
Menurut Cyprus Mail, Kesting telah tinggal bersama istrinya di negara kepulauan itu sejak 2020.
Dia menggambarkan David sebagai 'pria yang pendiam, dapat diandalkan, dan masuk logis.'
"Dia dan Janice selalu sangat membantu dan ramah kepada kami," katanya.
Kesting menjelaskan ke pengadilan bagaimana David dan Janice sangat mencintai satu sama lain, mengatakan bahwa mereka sangat bangga dengan pernikahan yang mereka jalani.
"Mereka mengundang kami ke rumah mereka dan menunjukkan banyak foto, album foto perjalanan mereka sebelumnya. Saya tidak pernah mendengar teriakan atau perkelahian. Saya yakin mereka rukun bersama," kata Kesting di pengadilan, lapor publikasi itu.
Namun, dia mengatakan hal itu terlihat pada tahun 2021 - di tengah pandemi Covid-19 - bahwa Janice menjadi 'semakin tertekan'.
Kondisi ini berbeda dari setahun sebelumnya di mana Jenice lebih 'optimistis' tentang kondisinya.
Dia mengatakan bahwa dia dan istrinya tidak berhubungan dengan Janice dalam tiga atau empat bulan terakhir, karena Jenice memang tidak ingin berbicara dengan siapa pun.
Detik-detik David Menghabisi Istrinya
David - seorang pensiunan penambang - mengatakan dia terpaksa merawat istrinya sendiri di rumah karena PPKM semasa pandemi Covid-19 karena kesehatannya memburuk.
Dia mengatakan kepada pengadilan pada bulan Mei silam bahwa istrinya menangis kesakitan 24 jam sehari.
David menangis saat dia mengatakan kepada pengadilan bagaimana dia membunuh istrinya setelah sang isri'memohon' padanya selama enam minggu.
Dia berkata: "Saya tidak ingat banyak tentang hari terakhir (Jenice hidup). Saya pergi untuk membuat secangkir kopi dan dia mulai menangis."
Dia menggambarkan bagaimana dia pergi ke ketel dan mencengkeram bangku untuk menopang saat istrinya duduk terisak-isak di sebelahnya.
"Hal berikutnya yang saya tahu saya meletakkan tangan saya di atasnya," katanya lalu menyeka air mata dari matanya.
"Ketika selesai, dia berwarna abu-abu (tampak pucat). Dia tidak terlihat seperti istri saya, dan ini adalah pertama kalinya saya menangis selama bertahun-tahun," ujar David saat itu.
David menceritakan, dia berdiri di samping sang istri, meletakkan tangan kirinya di hidung Jenice dan tangan kanannya di atas mulut sang istri untuk mencekiknya.
Ketika jaksa penuntut Andreas Hadjikyrou menuduh bahwa Jenice meronta dan mencakarnya saat David mencekiknya, David membantah.
"Dia tidak pernah melawan, dia tidak pernah bergerak. Anda berbicara omong kosong," kata David.
Mr Hadjikyrou kemudian menuduh David telah merencanakan untuk membunuh istrinya dan tidak memberitahunya.
David menjawab: "Saya tidak akan pernah dalam sejuta tahun mengambil nyawa istri saya jika dia tidak meminta saya".
"Dia bukan hanya istriku, dia adalah sahabatku."
Dia menambahkan, "Dia tidak gila, Anda belum melihat ketegangan selama enam tahun terakhir, apa yang dia alami".
"Situasinya, tekanannya. Saya tidak ingin ada orang yang mengalami enam bulan terakhir yang kami berdua lalui."
Jaksa menjawab, "Tuan David, ada orang yang mengalami rasa sakit yang jauh lebih buruk."
David mengatakan dia tidak memberi tahu dokter tentang keinginan bunuh diri istrinya karena sang istri memintanya untuk tidak melakukannya, takut mereka akan membawanya ke rumah sakit.
Dia tidak memberi tahu putri mereka karena Jenice tidak ingin 'mengkhawatirkannya'.
Setelah pemeriksaan silang selesai, David meminta untuk menghadap hakim.
Dia mengatakan kepadanya, "Istri saya menderita dan dia benar-benar berkata, 'Saya tidak ingin hidup lagi', dan saya tetap mengatakan tidak".
"Kemudian dia mulai menjadi histeris. Aku berharap dia akan berubah pikiran. Aku sangat mencintainya. Saya tidak merencanakannya, saya bersumpah demi Tuhan."
David melanjutkan, "Selama enam minggu dia bertanya apakah saya bisa membantunya. Selama enam minggu saya menolak."
Penderitaan Sang Istri dan Kecupan Terakhir
Menggambarkan penderitaan sang istri, David memberi kesaksian di Pengadilan Distrik Paphos dengan berkata, "Dia sedang berbaring, dia kesakitan, menderita. Saya akan melakukan apa saja untuk membantunya. Hal terakhir yang ada di pikiranku adalah mengambil nyawanya. Hal terakhir."
Ditanya bagaimana beberapa hari terakhir, David berkata: "Dia menangis, menangis, menangis, mengemis, mengemis, mengemis".
"Dia tidak merawat dirinya sendiri. Dua atau tiga minggu terakhir dia tidak bisa menggerakkan lengannya dan bermasalah dengan kakinya, dia tidak bisa seimbang."
"Dia hanya makan sup, dia tidak bisa menahan apapun. Dia kehilangan banyak berat badan. Berat badannya turun begitu banyak sehingga tidak ada lagi daging untuk disuntik.'
David mengatakan pada hari-hari terakhir itu dia 'berpikir tentang apa yang harus dilakukan 24 jam sepekan' sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk melakukannya ketika Jenice sekali lagi mulai menangis kesakitan.
"Saya ingat bahwa saya meletakkan tangan saya di mulut dan hidungnya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku memikirkannya. Saya tidak tahu berapa lama saya menyimpan tangan saya di sana," kata David.
"Dia tidak berusaha menghentikanku... Aku bahkan tidak berpikir dia membuka matanya," sambung David.
Setelah Jenice meninggal, David memberi kecupan terkahir di ranjang kematian.
DIa mencium kening sang istri dan mengatakan bahwa dia mencintainya, sebelum mengaku kepada saudara laki-lakinya yang kemudian melapor ke polisi.
Dia mengatakan dia tidak ingat ditangkap atau memberikan wawancara kepada polisi.
Penjara Itu Tidak Ada Apa-apanya Dibanding Pernikahan Kami
Sebelumnya, David menceritakan bagaimana dia bertemu istrinya ketika dia mengajaknya berdansa di pesta penambang di Northumberland.
"Dia mendatangi saya dan berkata, 'Kamu duduk di kursi saya'. Saya belum pernah melihat wanita secantik ini," katanya.
Dari sana, mereka selalu bersama, katanya, dan mereka menikah di Gereja St John di Ashington pada tahun 1969.
Ditanya bagaimana pernikahan mereka, David berkata: 'Sempurna.'
Dia menceritakan bagaimana dia bekerja tujuh hari seminggu di tambang untuk membayar anak tunggal mereka, Leslie, untuk menjadi anggota keluarga pertama yang kuliah.
Dia dan istrinya akan mengunjungi Siprus pada hari libur dan membeli properti di sana pada tahun 1999 sebelum pindah dua tahun kemudian untuk pensiun di sana.
David berkata: "16 tahun pertama sebelum dia jatuh sakit, terlepas dari beberapa operasi, itu benar-benar luar biasa."
Tetapi David menderita stroke pada tahun 2015 dan dalam perjalanan rutin ke rumah sakit untuk perawatannya, seorang dokter melihat istrinya terlihat sangat pucat.
Janice didiagnosis menderita kanker darah dan harus pergi ke ibu kota Nikosia setiap minggu untuk prosedur dan suntikan.
Ketika kondisinya memburuk, dia meminta David untuk mengantar pergi ke Rumah Sakit Umum Paphos karena dia tidak dapat berpergian sendirian,
Tetapi ketika Covid melanda, akses itu ditutup sehingga mereka menyimpan suntikannya di lemari es dan mengobati sendiri.
David menceritakan bagaimana dia menelepon rumah sakit lima kali sehari tetapi tidak ada jawaban, dan dia terpaksa pergi ke pusat-pusat farmasi yang lebih jauh untuk mendapatkan bantuan dan perbekalan.
Dia mendapat dua suntikan seharga 125 euro per minggu tetapi mulai menderita efek samping termasuk diare, sakit kepala, pusing, dan mimisan.
Kadar hemoglobin Janice sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat meminum obat penghilang rasa sakit dan ditinggalkan dalam penderitaan di rumah, tidak dapat bergerak.
Pada bulan-bulan terakhirnya, dia menjalani serangkaian operasi untuk lesi kulit di wajah dan tangannya, serta operasi lutut dan operasi tulang selangka.
Berbicara setelah dengar pendapat pada bulan Mei, David mengatakan kepada pers bahwa dia senang akhirnya memberikan laporannya setelah menunggu selama 18 bulan.
"Saya mendapatkan pendapat saya, inilah yang saya inginkan," katanya. 'Untuk memberi tahu mereka hal-hal yang bahkan tidak pernah mereka pikirkan.
'Selama enam minggu ketika dia bertanya kepada saya, itu adalah 24 jam. Dia adalah istriku, sahabatku.
"Enam bulan terakhir, saya tidak ingin ada orang yang mengalami itu. Penjara tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang kita alami."
(oln/*/DM)