Denny JA Bicara Soal Peraih Nobel Perdamaian 2023 asal Iran yang Dipenjara
Perempuan kelahiran Zanjan, Iran, 21 April 1972, menerima hadiah Nobel perdamaian saat dirinya masih ada di dalam Penjara Evin di Teheran.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Narges Mohammadi, seorang aktivis dan pejuang hak asasi manusia asal Iran mendapatkan Nobel perdamaian tahun 2023. Upayanya memperjuangkan banyak hal, diantaranya diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Perempuan kelahiran Zanjan, Iran, 21 April 1972, menerima hadiah Nobel perdamaian saat dirinya masih ada di dalam Penjara Evin di Teheran.
Sejak usia belasan tahun, Narges Mohammadi sudah menjadi aktivis asasi manusia dengan berbagai risiko yang dia hadapi.
Narges ditangkap dan dipenjara sebanyak 13 kali. Total hukuman yang dia terima 31 tahun. Bahkan, ia juga dijatuhi hukuman cambuk. Suami serta anaknya akhirnya hidup terpisah darinya di negara lain.
Ketua Umum Esoterika, Denny JA, mengatakan, pada tahun 2011, Narges Mohammadi mendirikan Hafes, lembaga yang membela hak asasi manusia. Mereka menentang hukum cambuk, apalagi terhadap perempuan di Iran.
"Mengapa seorang perempuan dicambuk? Ada banyak sebabnya. Antara lain itu bisa disebabkan oleh pelanggaran cara berpakaian. Misalnya tidak memakai jilbab," kata Denny dalam perayaan Hari Santo Fransiskus Asisi di BBPK Jakarta, ditulis Rabu (11/10/2023).
Denny mengatakan, Narges Mohammadi dan kelompoknya sudah membantu dan mendampingi ratusan perempuan yang dicambuk.
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini menyebut, mereka yang berjuang membela hak asasi manusia bisa diartikan sedang melawan dan menunjukkan kelemahan kebijakan pemerintah.
"Kita tahu juga dari sejarah bahwa penjara tak pernah membuat jera seorang pejuang hak asasi yang sejati," ungkapnya.
Seorang penulis, Rani Anggraeni Dewi, memberikan persembahan saat perayaan Hari Santo Fransiskus dari Asisi, dan Milad Maulana Rumi dari Konya Turki.
Menurut Rani, Saint Francis dan Maulana Rumi menyikapi aksi teror, konflik kepentingan politik, dan korupsi di berbagai bidang akibat perubahan situasi kondisi sosial dan ekonomi, serta kemajuan sains serta teknologi dengan melihat ke dalam diri atau disebut inner journey.
"Bukan berarti mengisolasi diri atau menjadi pertapa. Mereka tetap aktif hadir berinteraksi di tengah masyarakat. Namun memperbanyak berdoa, bermeditasi, kontemplasi untuk mendapatkan kedamaian, serta keseimbangan hidup antara yang sacred dan profane," ujar Rani.