Gereja Tertua di Gaza Jadi Saksi Warga Muslim dan Kristen Palestina Berbagi Kasih dan Kemanusiaan
gereja Ortodoks Yunani itu muncul sebagai lambang identitas yang lebih dalam sebagai bagian tak terpisahkan dari warga Palestina, muslim dan kristen
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Saat Gereja Tertua di Gaza Jadi Saksi Warga Muslim dan Kristen Palestina Berbagi Kasih dan Kemanusiaan
TRIBUNNEWS.COM - Wajah perang selalu dipenuhi oleh darah dan air mata.
Corak itu pula yang kental di perang antara pejuang perlawanan Palestina dan tentara pertahanan Israel (IDF).
Namun, perang ini juga menunjukkan sisi lain tentang ramahnya kasih sayang antarmanusia beragama dan sisi kemanusiaan yang memberikan perlindungan baik fisik maupun emosional dari jahatnya perang.
Cerita itu muncul, satu di antaranya dari Gereja Saint Porphyrius, gereja tertua di Gaza, wilayah yang menjadi target utama bombardemen Israel.
Baca juga: Menteri Iran: Gaza Bisa Berubah Jadi Kuburan bagi Pasukan Israel
Di sana, warga Palestina, lintas-agama, berlindung dan saling menguatkan.
Al Jazeera dalam laporannya mengisahkan cerita Walaa Sobeh, seorang muslim Palestina warga Gaza.
Ketika serangan udara Israel menghancurkan rumah Walaa Sobeh dan sebagian besar lingkungannya, dia mencari perlindungan di gereja tua itu.
"Di sana , dia tidak hanya menemukan tempat perlindungan, namun juga perasaan menjadi bagian dari “satu keluarga” – disatukan oleh teror bom yang meledak di sekitar mereka dan harapan bahwa mereka dapat bertahan dari serangan Israel," tulis laporan Al Jazeera..
Perasaan itu pula yang mendorongnya untuk menelepon kerabat lainnya di Gaza utara dan meminta mereka untuk pergi ke gereja juga.
"Sobeh dan keluarganya termasuk di antara ratusan warga Palestina dari berbagai agama yang menemukan keamanan – setidaknya untuk saat ini – di gereja," tulis laporan tersebut.
Rentetan kejadian, serangan mematikan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober dan berbalas pemboman Israel tanpa henti di Gaza, telah memicu lonjakan Islamofobia di berbagai belahan dunia.
Namun gereja Ortodoks Yunani tersebut muncul sebagai lambang identitas yang lebih dalam sebagai bagian tak terpisahkan dari warga Palestina.
Baca juga: Bantah Sepakat dengan Mesir-AS, Israel: Tak Ada Gencatan Senjata Buat Bantuan Kemanusiaan di Gaza
“Kami di sini menjalani siang hari, tidak yakin apakah kami bisa bertahan sampai malam. Namun yang meringankan penderitaan kami adalah semangat rendah hati dan hangat dari semua orang di sekitar kami,” kata Sobeh.
Dia menggambarkan, menerima dukungan yang sangat besar dari para pendeta dan orang-orang lain di gereja yang secara sukarela tanpa kenal lelah sepanjang waktu membantu keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal.
Sejauh ini, gereja tersebut lolos dari rudal Israel.
“Militer Israel telah mengebom banyak tempat suci,” kata Pastor Elias, seorang pendeta di Saint Porphyrius.
Dia mengaku, tidak yakin Israel tidak akan mengebom gereja tersebut, meskipun gereja tersebut menyediakan perlindungan bagi ratusan warga sipil.
Bom Israel sejauh ini sudah menghantam beberapa masjid dan sekolah tempat penampungan orang-orang yang rumahnya hancur karena diledakkan.
"Setiap serangan terhadap gereja, tidak hanya merupakan serangan terhadap agama, yang merupakan tindakan keji, tetapi juga serangan terhadap kemanusiaan”, kata Pastor Elias.
“Kemanusiaan kita menyerukan kita untuk memberikan kedamaian dan kehangatan kepada semua orang yang membutuhkan,” katanya.
Tempat Pelipur Lara
Dibangun antara tahun 1150-an dan 1160-an, dan diberi nama sesuai dengan nama uskup Gaza pada abad ke-5, Saint Porphyrius mampu memberikan penghiburan bagi warga Palestina di Gaza, terutama di saat-saat ketakutan.
"Dan meskipun tangisan anak-anak dan mereka yang putus asa karena terus tinggal di Gaza di bawah pemboman Israel kini bergema di tempat yang dulunya dipenuhi dengan doa dan nyanyian pujian, masih ada harapan," tulis laporan tersebut.
Saat ini, halaman kuno dan koridor gereja tersebut menawarkan perlindungan bagi umat Islam dan Kristen.
"Karena perang tidak mengenal agama," kata Pastor Elias.
Bersama sebagai Warga Palestina, Muslim dan Kristen
George Shabeen, seorang Kristen Palestina -ayah dari empat anak yang tinggal di gereja bersama keluarganya- mengatakan mereka tidak punya tempat lain untuk pergi.
Jalan-jalan di lingkungan mereka telah menjadi sasaran tiga serangan udara Israel.
“Datang ke sini menyelamatkan hidup kami,” katanya kepada Al Jazeera.
“Pada malam hari, kami berkumpul bersama, Muslim dan Kristen, tua dan muda, dan berdoa untuk keselamatan dan perdamaian,” katanya.
Bagi Sobeh, fakta bahwa keluarga-keluarga yang berbeda agama berkumpul di bawah atap gereja di tengah trauma pemboman itu sendiri adalah sebuah tindakan perlawanan.
“Tujuan Israel adalah menghancurkan komunitas kami dan menggusur kami,” tambahnya, suaranya bergetar.
“Mereka mungkin bisa membunuh kita. Tapi kita akan terus bersama sebagai warga Palestina, hidup dan mati, Muslim dan Kristen,” katanya.
(AL JAZEERA/oln/*)