Qatar Konfirmasi Gencatan Senjata Antara Israel-Hamas di Gaza Kembali Diperpanjang hingga Jumat
Qatar telah mengkonfirmasi gencatan senjata antara Israel dengan Hamas di Gaza diperpanjang. Perpanjangan gencatan senjata dilakukan hingga Jumat.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Negara penengah konflik Israel-Hamas, Qatar telah mengonfirmasi perpanjangan gencatan senjata.
Gencatan senjata antara Israel dengan Hamas diperpanjang hingga Jumat (1/12/2023).
Perpanjangan gencatan senjata ini tepat 10 menit sebelum kesepakatan tersebut berakhir.
"Pihak Palestina dan Israel mencapai kesepakatan untuk memperpanjang gencatan senjata kemanusiaan di Jalur Gaza selama satu hari tambahan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, dikutip dari Al Jazeera.
Majed al-Ansari menambahkan, kesepakatan yang dicapai dalam gencatan senjata kali ini masih sama dengan sebelumnya.
"Yaitu gencatan senjata dan masuknya bantuan kemanusiaan," ucapnya.
Baca juga: Kadin Sebut Seruan Boikot Produk Terafiliasi Israel Rugikan Dunia Usaha
Sementara itu, pemerintah Israel telah menerima daftar baru tawanan di Jalur Gaza yang akan dibebaskan pada hari ini.
"Beberapa waktu lalu, Israel diberikan daftar perempuan dan anak-anak sesuai dengan ketentuan perjanjian, dan oleh karena itu gencatan senjata akan terus berlanjut," tulis Kantor Perdana Menteri Israel.
Meski begitu, pihak Israel enggan untuk menyebutkan jumlah tawanan yang akan dibebaskan.
AS Desak Israel Persempit Zona Perang
Baca juga: BREAKING NEWS: Israel-Hamas Kembali Sepakati Gencatan Senjata, Diperpanjang 1 Hari
Amerika Serikat (AS) mendesak pihak Israel untuk mempersempit zona perang.
AS juga meminta Israel untuk memperjelas di mana warga sipil Palestina dapat mencari keselamatan selama operasi di Gaza selatan.
Para pejabat AS mulai dari Presiden Joe Biden hingga ke bawah memohon kepada Israel untuk mengambil pendekatan yang lebih hati-hati ketika militer memperluas serangannya ke Gaza selatan.
Dikutip dari Arab News, dua pertiga dari 2,3 juta penduduk wilayah Gaza telah mengungsi ke selatan untuk menghindari zona perang di utara.
Operasi Israel di utara menuai kritik keras internasional dan Biden mendapat kecaman dari dalam negeri karena dukungannya yang besar terhadap Israel.
Baca juga: Israel Luncurkan Laman Propaganda Hamas.com, Jurnalis: Situs Palsu
Washington memahami keinginan Israel untuk membasmi militan Hamas di Gaza selatan, namun yakin bahwa diperlukan kehati-hatian yang lebih besar di wilayah berpenduduk padat tersebut.
"Tetapi mengingat ratusan ribu warga sipil telah melarikan diri ke selatan, atas permintaan Israel, kami yakin Israel hanya boleh bergerak maju setelah perencanaan operasional memperhitungkan kehadiran lebih banyak orang tak berdosa," kata seorang pejabat AS.
Perencanaan harus mencakup pembelajaran dari operasi yang dilakukan di wilayah utara untuk meningkatkan perlindungan bagi warga sipil yang tidak bersalah.
"Termasuk hal-hal seperti mempersempit zona pertempuran dan memperjelas wilayah di mana warga sipil dapat mencari perlindungan," lanjutnya.
Tingkat Bantuan Masih Kurang
Baca juga: Kisah Zeina Abdo, Remaja Palestina Jadi Tahanan Israel: Diancam Disetrum sampai Mati
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan, tingkat bantuan dan bahan bakar yang masuk ke Gaza masih belum mencukupi.
Meskipun volume bahan bakar yang diizinkan masuk ke Gaza meningkat, kata Guterres, jumlah tersebut masih belum cukup untuk menopang operasi dasar.
"Tingkat bantuan kepada warga Palestina di Gaza masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan besar lebih dari 2 juta orang," kata Guterres, dikutip dari CNN.
Dewan Keamanan PBB bertemu pada hari Rabu untuk membahas bagaimana menerapkan resolusi wajibnya awal bulan ini, yang menyerukan "jeda dan koridor kemanusiaan" di Gaza.
Guterres mencatat pentingnya membuka lebih banyak penyeberangan ke Gaza karena penyeberangan Rafah dengan Mesir terendam banjir.
Baca juga: Israel Tolak Daftar Tawanan yang Diajukan Hamas untuk Perpanjang Gencatan Senjata
"Penting untuk menyadari bahwa penyeberangan perbatasan Rafah tidak memiliki kapasitas yang cukup, terutama mengingat lambatnya prosedur keamanan," kata Guterres.
"Itulah sebabnya kami mendesak pembukaan perlintasan lain, termasuk Kerem Shalom, dan penyederhanaan mekanisme pemeriksaan untuk memungkinkan peningkatan jumlah bantuan yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa," ucapnya.
Guterres menambahkan, rumah sakit di Gaza saat ini masih juga kewalahan.
"Sistem medis telah rusak karena banyaknya kasus, kekurangan obat yang akut, dan dampak permusuhan," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)