Houthi Yaman 'Kuasai' Laut Merah: Israel, Mesir, hingga Eropa Kena Dampak, Diprediksi Rugi Besar
Perekonomian di sejumlah negara terdampak buntut aksi Houthi menguasai Laut Merah sebagai bentuk tekanan agar Israel menghentikan serangan ke Gaza.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.com - Kelompok Houthi Yaman bersumpah tidak akan menghentikan serangan terhadap kapal-kapal yang terkait Israel di Laut Merah.
Pernyataan ini disampaikan Houthi setelah Amerika Serikat (AS) mengumumkan peningkatan perlindungan di Laut Merah dalam menangkal serangan kelompok militan Yaman itu.
"Bahkan jika Amerika berhasil memobilisasi seluruh dunia, operasi militer kami tidak akan berhenti, tidak peduli seberapa besar pengorbanan yang harus kami lakukan," kata Pejabat Senior Houthi, Mohammed al-Bukhaiti, dalam sebuah unggahan di X, Selasa (19/10/2023), dikutip dari AlJazeera.
Kelompok Houthi akan menghentikan serangan mereka jika "kejahatan Israel di Gaza berhenti, serta makanan, obat-obatan, dan bahan bakar diizinkan masuk ke Gaza."
Diketahui, Houthi yang memiliki hubungan dengan Iran telah melancarkan serangan terhadap lebih dari selusin kapal komersial dalam upaya menekan Israel agar mengakhiri serangan di Gaza.
Baca juga: Laut Merah Membara, Arab Saudi Diuji: Tunduk Pada Perintah AS atau Berdamai dengan Yaman
Sebelumnya, Houthi mengatakan kapal-kapal yang tidak berhubungan dengan Israel supaya tidak perlu khawatir.
Mereka hanya akan menargetkan kapal-kapal Israel atau yang membawa barang ke dan dari Israel.
Laut Merah, yang juga mencakup Bab al-Mandeb atau Gerbang Air Mata, adalah tempat terjadinya 12 persen dari total perdagangan minyak global lewat laut, serta delapan persen gas alam cair, pada paruh pertama tahun 2023, menurut laporan Administrasi Informasi Energi AS.
Sebagai informasi, Bab al-Mandeb adalah selat yang memisahkan benua Asia (Yaman di semenanjung Arab) dengan Afrika (Jibuti, sebelah utara Somalia), dan menghubungkan Laut Merah dengan samudra Hindia (teluk Aden).
Lebih dari 17 ribu kapal melewatinya setiap tahun, beberapa di antaranya menuju ke Terusan Suez yang membawa mereka ke Mediterania dan bertindak sebagai penghubung antara Asia dan Barat.
Aksi Houthi itu tentu saja mengganggu perdagangan global.
Untuk menghindari operasi Houthi, beberapa perusahaan pelayaran memilih satu-satunya alternatif maritim lainnya, yaitu dengan mengambil rute lebih panjang mengelilingi Afrika.
Tetapi, pilihan itu berarti peningkatan biaya, dan perjalanan mereka bisa memakan waktu hingga dua minggu.
Lalu, negara mana saja yang paling terkena dampak operasi Houthi?
Pertama adalah Israel, yang merupakan sasaran langsung pertama Houthi.
Israel saat ini telah merasakan dampak dari terganggunya perdagangan maritim.
Lalu lintas melalui pelabuhan selatan Eilat, yang terletak di kota yang juga merupakan tujuan wisata, terhenti dan masa depan tampaknya tidak menentu seiring berkecamuknya konflik.
Negara kedua adalah Mesir, yang sudah menghadapi kemerosotan perekonomian sebelum perang.
Baca juga: AS Kelabakan, Arab Saudi dan UEA Ogah Gabung Satgas Maritim Laut Merah Buat Perangi Houthi
Akibat kondisi ini, Mesir bisa sangat menderita akibat melambatnya perdagangan, selain penurunan biaya transit untuk kargo yang melewati Terusan Suez, sesuatu yang Mesir sangat bergantung.
Selanjutnya, ada negara-negara Eropa dan Mediterania yang diprediksi akan menderita kerugian terbesar jika situasi ini terus berlanjut dalam jangka panjang.
Pasalnya, banyak kapal yang membawa kargo ke dan dari negara-negara tersebut terkena dampaknya.
Lebih dari 100 Kapal Kargo Pilih Ganti Rute
Lebih dari 100 kapal kargo telah dialihkan rutenya di sekitar Afrika bagian selatan untuk menghindari Terusan Suez.
Pengalihan rute ini terjadi karena pemberontakan Houthi yang menyerang kapal-kapal di pantai barat Yaman.
Perusahaan pelayaran Kuehne dan Nagel mengatakan telah mengidentifikasi 103 kapal yang mengubah arah, berlayar mengelilingi Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Dikutip dari The Guardian, jumlah itu diperkirakan masih akan bertambah.
Pengalihan rute ini menambah sekitar 6.000 mil laut pada perjalanan biasa dari Asia ke Eropa, dan berpotensi menambah waktu pengiriman produk selama tiga atau empat minggu.
Kapal-kapal yang telah dialihkan sejauh ini memiliki kapasitas untuk membawa kontainer berukuran 1,3 m 20 kaki (6 meter), kata Kuehne dan Nagel.
Kapal tanker minyak dan gas juga telah melakukan pengalihan, dan BP merupakan perusahaan terbesar yang secara terbuka menyatakan mereka telah melakukan pengalihan tersebut.
Sementara saingannya, Shell, menolak berkomentar.
Gangguan ini berkontribusi terhadap kenaikan harga minyak, dimana harga minyak mentah berjangka Brent, patokan global, naik 1,2 persen pada Rabu (20/12/2023) di atas 80 dolar AS, setelah jatuh di bawah 74 dolar AS pada minggu sebelumnya.
Kenaikan harga lebih lanjut pada akhirnya dapat mempengaruhi tarif energi konsumen, sehingga menambah inflasi.
Baca juga: Hamas Bersedia Gabung PLO, Mau Akhiri Perang, Dirikan Negara Palestina di Gaza-Tepi Barat-Yerusalem
Anggota Dewan Logistik Laut Kuehne dan Nagel, Michael Aldwell, mengatakan, “Perpanjangan waktu yang dihabiskan di perairan diperkirakan akan menyerap 20 persen kapasitas armada global, yang menyebabkan potensi penundaan dalam ketersediaan sumber daya pengiriman."
"Selain itu, penundaan pengembalian kapal kosong ke Asia kemungkinan akan menimbulkan tantangan, yang selanjutnya berdampak pada rantai pasokan secara keseluruhan.”
Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, termasuk beberapa produsen mobil besar, sedang memantau situasi ini untuk mengetahui apakah rantai pasokan mereka mungkin terkena dampaknya.
Penutupan besar-besaran yang tidak terduga di Terusan Suez, terakhir terjadi pada Maret 2021, ketika kapal kontainer Ever Give memblokir jalur selama enam hari.
AS Umumkan Peningkatan Pengamanan
Serangan terhadap kapal komersial di Laut Merah oleh Houthi telah meningkat hingga menyebabkan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mengambil langkah.
Pada Senin (18/12/2023), Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, mengumumkan pembentukan koalisi yang terdiri dari 10 negara untuk meningkatkan keamanan di Laut Merah.
Koalisi itu, kata Austin, akan menjalankan operasi yang diberi nama Operasi Penjaga Kemakmuran.
Menurut Austin, 10 negara yang saat ini sudah bergabung adalah Inggris, Bahrain, Kanada, Prancis, Italia, Belanda, Norwegia, Spanyol, dan Seychelles.
Meski demikian, Austin mengklaim AS telah mengirimkan 39 undangan ke negara-negara lain untuk menjadi bagian dari operasi itu.
AS tidak mengundang Tiongkok meskipun pasukan Tiongkok ada di wilayah tersebut, kata Austin.
"Kami akan berlayar di sepanjang laut," ujar dia, dikutip dari CNN.
Meski demikian, Austin mengaku tidak yakin bagaimana Houthi memilih target mereka.
Tapi, ia menyebut ada pasukan Iran yang beroperasi di Laut Merah saat ditanya secara langsung apakah Iran membantu Houthi untuk memilih target mereka.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)