Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Eks Ajudan Zelensky Ungkap Batalnya Perundingan Damai Ukraina-Rusia, Kini Ia Jadi Incaran Kiev

Seorang mantan ajudan Presiden Volodymyr Zelensky secara blak-blakan mengungkapkan batalnya perjanjian damai antara Ukraina dengan Rusia.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Eks Ajudan Zelensky Ungkap Batalnya Perundingan Damai Ukraina-Rusia, Kini Ia Jadi Incaran Kiev
Sergei SUPINSKY / AFP
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky 

TRIBUNNEWS.COM -- Seorang mantan ajudan Presiden Volodymyr Zelensky secara blak-blakan mengungkapkan batalnya perjanjian damai antara Ukraina dengan Rusia.

Aleksey Arestovich, mantan ajudan tersebut menceritakan bahwa Presiden Zelensky, tiba-tiba berubah pikiran setelah dijadwalkan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2022 lalu.

Arestovich yang dikenal sebagai spin doctor tersebut meninggalkan dinas kepresidenan dan kini telah setahun tinggal di Amerika Serikat. Militer Ukraina sendiri saat ini justru memburunya sebagai pengkhianat politik.

Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari Ke-692: Rusia Menghukum 242 Tawanan Perang

Dalam sebuah wawancara dengan media asal Inggris, UnHerd, yang diterbitkan pada Senin (15/1/2024) Arestovich mengungkapkan bahwa proses Istanbul adalah kesempatan paling menguntungkan bagi Ukraina untuk menggelar perdamaian.

“Saya adalah anggota dari proses Istanbul. Delegasi Ukraina “membuka botol sampanye” ketika mereka kembali ke Kiev, percaya bahwa perjanjian tersebut telah selesai," ujar dia dikutip Tribunnews.com, Selasa (16/1/2024).

Para petinggi di Kiev sudah percaya bahwa protokol tersebut “90 persen dipersiapkan” untuk pertemuan langsung antara Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Akan tetapi, lanjut Arestovich, presiden Ukraina membatalkan pembicaraan.

BERITA REKOMENDASI

Penolakannya terhadap kesepakatan tersebut banyak dikaitkan dengan 'pembantaian Bucha', yang dituduhkan oleh Ukraina kepada Rusia, namun Arestovich mengatakan dia tidak mengetahui fakta tersebut.

Sesuatu “benar-benar” mengubah pikiran Zelensky dan “sejarawan harus menemukan jawaban atas apa yang terjadi,” kata Arestovich.

“Banyak orang mengatakan Perdana Menteri (Inggris) Boris Johnson-lah yang datang ke Kiev dan menghentikan negosiasi dengan Rusia. Saya tidak tahu persis apakah itu benar atau salah. Dia datang ke Kiev, tapi tidak ada yang tahu apa yang mereka bicarakan kecuali, menurut saya, Zelensky dan Boris Johnson sendiri,” katanya kepada UnHerd.

Media Ukraina, Ukrainska Pravda menyebut Johnson menggagalkan perundingan perdamaian di Istanbul dilaporkan pada awal Mei 2022 .

Baca juga: Perdana, Korea Utara Izinkan Turis Asing Masuk Lagi setelah 4 Tahun, Rusia jadi Wisatawan Pertama

Arestovich kemudian mengutarakan bahwa peperangan tersebut kini telah berkembang melampaui Rusia dan Ukraina, mengadu domba kolektif Barat melawan ‘Global Selatan’.


“Kita harus bernegosiasi untuk sistem keamanan baru bagi Eropa, dengan mempertimbangkan semua sisi dari masalah ini,” katanya kepada UnHerd, seraya menambahkan bahwa NATO perlu berdiskusi dengan Rusia “apa yang diperlukan untuk menjamin tidak menggunakan kekuatan militer di Eropa untuk memutuskan pertanyaan-pertanyaan politik.”

“Saya mungkin harus menambahkan bahwa saya sangat pesimistis hal ini akan terjadi. Saya pikir kita menghadapi perang selama sepuluh atau 15 tahun di Eropa,” kata Arestovich.

Pravda memberitakan saat itu PM Inggris datang ke Kiev dengan “dua pesan sederhana,” bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin adalah “penjahat perang” yang tidak boleh diajak bernegosiasi, dan bahkan jika Ukraina siap menandatangani semacam perjanjian dengan Rusia, Barat tidak.

Sementara David Arakhamia, pemimpin partai Zelensky di parlemen Ukraina, mengungkit kunjungan tersebut dalam sebuah wawancara pada bulan November 2023, dengan mengutip pesan Johnson yang mengatakan kepada Ukraina “mari kita terus berjuang.”

David Arakhamia yang saat itu menjabat sebagai ketua faksi parlemen Presiden Volodymyr Zelensky dan kepala negosiator pada perundingan damai di Istanbul, juga menyebut semestinya perang Ukraina sudah kelar pada Maret 2022 lalu.

Dikutip dari Russia Today, saat itu perundingan Rusia dan Ukraina ditengahi oleh Turki. Moskow telah menawarkan perjanjian damai kepada Kiev pada Maret 2022, tetapi pihak Ukraina tidak mempercayai Rusia.

“Tujuan Rusia adalah memberikan tekanan pada kami agar kami bersikap netral. Ini adalah hal utama bagi mereka: Mereka siap mengakhiri perang jika kita menerima netralitas, seperti yang pernah dilakukan Finlandia. Dan kami akan membuat komitmen bahwa kami tidak akan bergabung dengan NATO. Ini yang utama,” kata Arakhamia kepada saluran TV 1+1, Jumat (24/11/2023).

Namun, menyetujui netralitas dan melepaskan keanggotaan NATO berarti mengubah konstitusi Ukraina, jelas Arakhamia.

“Kedua, tidak ada kepercayaan pada Rusia bahwa mereka akan melakukan hal ini. Ini hanya bisa dilakukan dengan jaminan keamanan,” katanya kepada 1+1.

Namun Boris Johnson yang tiba di Kiev dan mengatakan kepada para pejabat Ukraina untuk terus berjuang dan tidak menandatangani perjanjian apa pun dengan Moskow.

"Ketika kami kembali dari Istanbul, Boris Johnson datang ke Kiev dan mengatakan bahwa kami tidak akan menandatangani apa pun dengan [Rusia] sama sekali. Dan [berkata] ‘ayo terus berjuang," ujar Arakhamia.

Peran Johnson dalam menggagalkan perundingan damai di Istanbul terungkap pada Mei 2022 oleh media Ukrayinska Pravda.

Hingga akhirnya Boris Johnson digulingkan dari jabatannya pada Juni 2022.

Sementara Boris Johnson, pada pekan lalu akhirnya mengomentari masalah ini. Ia membantah telah mengompori Zalensky.

Ia mengatakan bahwa ia hanya mengatakan kepada Zelensky bahwa Inggris akan mendukung Ukraina “seribu persen” dan bahwa setiap kemungkinan perjanjian dengan Rusia akan “sangat kotor.”

Johnson menegaskan kalau dirinya tidak “memerintahkan” siapa pun untuk melakukan apa pun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas