Inggris Kelimpungan, Jumlah Tentaranya Dilaporkan Menyusut di Tengah Panasnya Konflik Laut Merah
Total pasukan Inggris dilaporkan menyusut ditengah memanasnya serangan milisi Houthi di kawasan Laut merah.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM – Jumlah pasukan Inggris dilaporkan menyusut ditengah memanasnya serangan milisi Houthi di kawasan Laut merah.
Menurut data analisis yang dilansir Al Mayden, jumlah tentara Inggris dalam jangka waktu dua tahun ke depan menurun hingga di bawah 70.000 pasukan.
Dari penurunan tersebut, maka total tentara reguler Inggris di tahun 2026 diproyeksikan hanya tersisa sebanyak 67.741 pasukan.
Jumlah ini menyusut tajam bila dibandingkan total tentara Inggris pada tahun 2006. Saat itu angkatan perang Inggris bisa mencapai kisaran 102.000 pasukan.
Angka tersebut bahkan lebih kecil dibandingkan jumlah personel di pasukan operasi khusus AS.
Penurunan ini lantas memicu pertanyaan para jenderal AS dan Eropa terkait kekuatan pasukan Inggris.
Tak hanya itu para jenderal Amerika bahkan turut meragukan kemampuan Inggris, apakah negara dengan julukan The Black Country itu akan tetap menjadi kekuatan tempur papan atas di tengah memanasnya konflik Laut Merah.
Mengingat beberapa tahun terakhir Angkatan Laut Kerajaan Inggris sedang bergulat dengan penurunan jumlah wajib militer yang signifikan.
“Bahaya serius terulangnya Sejarah, ini merujuk pada tahun 1930-an ketika keadaan angkatan bersenjata Inggris yang menyedihkan gagal menghalangi Hitler,” ujar Jenderal AS Lord Dannatt.
Inggris Buka Suara: Itu Isu Palsu
Pasca menyebarnya isu penurunan jumlah tentara di tengah ketegangan Laut Merah, Menteri Pertahanan Inggris, Grant Shapps dengan tegas membantah anggapan bahwa jumlah tentara Inggris telah menyusut secara signifikan.
Baca juga: Takut Jadi Sasaran Houthi, Kapal Pesiar Royal Caribbean Batalkan Tour ke Timur Tengah
Shapps mengatakan, di bawah Partai Konservatif, kekuatan angkatan militer negaranya saat ini telah mencapai 188.000, orang. Jumlah ini tidak akan turun di bawah level.
"Tidak ada penurunan, malah tentara cadangan baru ditambahkan 73.000 pasukan. Sehingga jumlah angkatan bersenjata secara keseluruhan adalah sekitar 188.000,” jelas Shapps sebagaimana dilansir dari News Sky.
Diberitakan sebelumnya, AS dan Inggris telah melancarkan serangan gabungan di sejumlah wilayah Yaman tepatnya di kawasan perdagangan Laut Merah.
Adapun ketegangan ini pertama kali meruncing sejak perang Gaza pecah pada 7 Oktober 2023.
Tepatnya sejak milisi Houthi Yaman kerap melakukan serangan ke sejumlah kapal dagang yang melintas di kawasan Laut Merah.
Pejabat Houthi beranggapan blokade dan penyerangan yang mereka lakukan adalah bentuk protes atas agresi Israel di Gaza, Palestina.
Namun imbasnya pasar global dihantui ancaman inflasi, lantaran sejumlah perusahaan pelayaraan mulai menaikan biaya pengiriman kargo hingga 1 juta dolar untuk setiap perjalanan pulang pergi antara Asia dan Eropa Utara.
Alasan ini yang mendorong AS dan Inggris untuk turun tangan, menghalau serangan Houthi demi menjaga kawasan lalu lintas perdagangan global Laut Merah.
Tak tanggung – tanggung untuk memperkuat basis serangan, Kementerian Pertahanan Inggris akan meningkatkan pertahanan di Laut Merah dengan menggelontorkan 405 juta pound atau Rp 8 triliun (kurs Rp 19.843) untuk memborong sistem rudal Udara Sea Viper.
Sistem Udara Sea Viper yang dilengkapi hulu ledak dan perangkat lunak baru dibeli pemerintah Inggris dari MBDA, sebuah perusahaan patungan rudal yang dimiliki oleh Airbus, BAE Systems dan Leonardo.
Senjata baru ini sengaja ditambah guna meningkatkan kemampuan Angkatan Laut Kerajaan dalam melakukan serangan balasan ke milisi Houthi yang belakangan kerap melakukan ancaman kepada kapal dagang global yang melintas di kawasan Laut Merah.
Langkah ini diambil, mengikuti arahan Komando Perang Khusus Angkatan Laut AS yang telah lebih dulu sudah memamerkan kemampuan kapal cepat dengan kemampuan kamuflase di Teluk Oman, Minggu 21 Januari 2024.
Adapun kemunculan kapal siluman itu tidak terdeteksi langsung, karena tersembunyi di atas kapal pangkalan bergerak ekspedisi USS Lewis B. Puller (ESB-3).
"Ketika situasi di Timur Tengah memburuk, sangat penting bagi kita untuk beradaptasi untuk menjaga keamanan Inggris, sekutu dan mitra kita," jelas Grant Shapps dikutip dari Reuters.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)