Ikuti Jejak Sri Lanka, Israel Ubah Zona Aman di Gaza Jadi Ladang Pembantaian, Ini 6 Persamaannya
Dua pakar hubungan internasional menuding Israel telah mengubah 'zona aman' di Jalur Gaza menjadi ladang pembantaian.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM – Dua pakar hubungan internasional bernama Neve Gordon dan Nicola Perugina menuding Israel telah mengubah “zona aman” di Jalur Gaza menjadi ladang pembantaian warga sipil.
Tudingan itu disampaikan keduanya dalam kolom opini pada laman Al Jazeera pada hari Selasa, (11/6/2024).
Israel awalnya merancang “zona aman” untuk warga sipil di wilayah kecil di Kota Rafah, Gaza, yang dikenal sebagai “Blok 2371” pada tanggal 22 Mei lalu.
Akan tetapi, Israel justru mengebom zona itu empat hari berselang sehingga menewaskan setidaknya 45 warga sipil yang tengah mengungsi di tenda-tenda.
Gordon dan Perugina menyebut tindakan Israel itu mirip dengan tindakan yang pernah dilakukan Sri Lanka 15 tahun sebelumnya saat negara itu dilanda perang saudara.
Dalam perang itu militer Sri Lanka merancang suatu daerah menjadi “zona tanpa tembakan” atau semacama zona aman.
Menurut keterangan seorang uskup, di dalam zona itu terdapat 60.000 hingga 75.000 warga sipil.
Di zona itu juga ada tujuh pastor. Uskup itu kemudian meminta Kedubes Amerika Serikat (AS) untuk ikut campur dalam masalah ini.
Dubes AS kemudian meminta Perdana Menteri Sri Lanka untuk memperingatkan pihak militer agar berhati-hati karena sebagian besar orang yang ada di zona itu adalah warga sipil.
Gara-gara banyaknya tembakan artileri, zona itu menjadi semacam jebakan maut.
Militer Sri Lanka pernah mengimbau warga sipil untuk berkumpul di area yang dirancang sebagai zona tanpa tembakan itu.
Baca juga: Hamas Terima Resolusi Gencatan Senjata PBB dan Siap Bahas Detailnya, tapi Israel Masih Belum Jelas
Selebaran pun dijatuhkan dari pesawat terbang. Di samping itu, ada pengumuman dengan pengeras suara.
Diperkirakan ada 330.000 pengungsi yang berkumpul di zona itu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendirikan tenda-tenda.
Beberapa organisasi kemanusiaan juga menyediakan makanan dan bantuan kesehatan di sana.
Kelompok bersenjata Macan Tamil yang menjadi lawan militer Sri Lanka tampaknya juga mundur ke zona itu.
Militer Sri Lanka mengaku melakukan “operasi kemanusiaan” yang bertujuan untuk “membebaskan warga sipil”.
Namun, hasil analisis satelit dan sejumlah kesaksian memperlihatkan bahwa militer itu terus menggempur zona tanpa tembakan itu dengan mortir dan peluru artileri.
Zona yang seharusnya menjadi tempat aman untuk berlindung itu malah berubah menjadi ladang pembantaian.
Diperkirakan ada 10.000 hingga 40.000 warga sipil yang tewas di dalam zona itu.
Ribuan lainnya terluka parah dan terpaksa berbaring selama berjam-jam hingga berhari-hari tanpa menerima perawatan karena hampir setiap rumah sakit di sana diserang dengan artileri.
Gordon dan Perugina menyebut ada sejumlah kesamaan tentang apa yang terjadi di Sri Lanka dan Gaza.
Pertama, militer Israel dan Sri Lanka sama-sama memerintahkan warga sipil untuk mengungsi di “zona aman”. Di sana mereka diklaim tak akan disakiti.
Baca juga: PRCS Geram, Israel Pakai Truk Bantuan saat Operasi di Nuseirat: Ini Hancurkan Kepercayaan Warga Gaza
Kedua, militer Israel dan Sri Lanka terus mengebom zona. Keduanya menyerang tanpa pandang bulu dan melukai banyak warga sipil.
Ketiga, militer Israel dan Sri Lanka juga mengebom satuan kesehatan yang bertanggung jawab menyelamatkan nyawa warga sipil.
Keempat, militer Israel dan Sri Lanka membenarkan serangan itu. Masing-masing mengklaim Hamas dan Macan Tamil bertanggung jawab atas kematian warga sipil karena mereka diklaim menggunakan warga sipil sebagai tameng.
Kelima, negara-negara Barat mengkritik pembantaian terhadap warga sipil, tetapi terus mengirimkan senjata. Dalam kasus Sri Lanka, Israel adalah salah satu pemasok utama persenjataan.
Keenam, PBB mengklaim kedua belah pihak melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
Terlepas dari persamaan itu, ada pula perbedaan di antara kedua kasus pembantaian itu.
Genosida di Gaza terdokumentasikan atau terlihat dengan jelas, sedangkan dalam kasus di Sri Lanka, dibutuhkan waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran dan melakukan penyelidikan.
Banyak media sudah memperlihatkan bahwa zona aman di Gaza telah digempur dengan bom-bom seberat 2.000 pound dan menewaskan ribuan warga sipil Palestina.
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) telah mengumpulkan bukti dan kini mengupayakan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
(Tribunnews/Febri)