Kecam Netanyahu, Ilmuwan Top Barat: Israel-Palestina Dua 'Underdog' yang Diadu Kolonialisme Eropa
Seorang ilmuwan kenamaan AS mengatakan Israel dan Palestina bagaikan dua “underdog” yang diadu oleh kolonialisme Eropa.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM – Seorang ilmuwan kenamaan asal Amerika Serikat (AS) bernama Robert Sapolsky mengatakan Israel dan Palestina bagaikan dua “underdog” yang diadu oleh kolonialisme Eropa.
Awalnya Sapolsky menyebut kepemimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang “destruktif” telah menghancurkan setiap peluang perdamaian di Palestina.
Dia sempat meyakini masalah Israel-Palestina bisa diselesaikan lewat perundingan dan dialog. Namun, dia kini pesimistis akan hal itu.
Menurut dia, keputusan dan tindakan Netanyahu didorong oleh “balas dendam emosional”.
Sapolsky berujar keputusan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) terhadap Netanyahu bisa dibenarkan. Sebelumnya, ICC telah meminta Netanyahu untuk ditangkap.
“Dan fakta strategisnya bahwa ketika perang ini berakhir, dia (Netanyahu) menghadapi dakwaan pidana atas korupsi. Makin lama perang berlangsung, makin lama dia menghindari pengadilannya,” ujar Sapolsky dikutip dari Anadolu Agency.
Sapolsky yang menjadi ilmuwan saraf itu telah mempelajari rasisme interseksional, kesenjangan, dan konflik bekepanjangan melalui sudut pandang psikologi dan biologi perilaku.
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa jalan yang mengarah kepada rekonsiliasi sejati itu panjang dan penuh dengan “keluhan historis yang mendalam”.
Penghancuran yang dilakukan oleh Israel makin mempersulit tantangan rekonsiliasi.
“Kehidupan 2 juta orang di Gaza perlu dibangun kembali. Itulah titik mulanya,” kata dia.
Dia meragukan kemunculan pemimpin visioner yang memulai memulai perubahan transormatif, seperti mantan Presiden Mesir Anwar Sadat.
Baca juga: Hamas: Jika Israel Nekat Serang Gaza, Perundingan Gencatan Senjata Kembali ke Titik Nol
Bahkan jika sosok seperti itu muncul, masih diperlukan waktu yang lama agar rekonsiliasi bisa terjadi.
“Diperlukan satu atau dua generasi bagi dua belah pihak agar sadar bahwa mereka lebih baik hidup berdampingan daripada tidak,” ucapnya.
“Mungkin tiga atau empat atau sepuluh generasi sebelum mereka benar-benar melihat satu sama lain sebagai orang yang nyata.”